Kantor PBB di Indonesia dan Dukungan Data untuk Pembangunan Inklusif
Target SDGs 2030 tinggal 6 tahun lagi. Salah satu tantangan terberat: kekurangan data. PBB hadir mengatasi hal itu.
Dunia secara keseluruhan mengalami kemajuan pesat dalam pembangunan selama 30 tahun terakhir. Hanya saja, kemajuan pesat itu tidak hanya menghasilkan kesejahteraan, tetapi juga kesenjangan dan ketidakadilan. Banyak individu, komunitas, dan negara hanya mencapai sedikit kemajuan, tertinggal, dan tidak terpantau.
Prinsip ”jangan meninggalkan siapa pun” atau no one left behind kemudian menjadi ”mantra” dan komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu negara-negara anggotanya agar berhasil menerapkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tahun 2030.
Prinsip tidak meninggalkan siapa pun ini pada intinya menekankan tiga hal, yakni mengakhiri segala bentuk kemiskinan ekstrem, mengurangi kesenjangan, dan mengatasi hambatan diskriminatif. Tujuannya, semua orang—tanpa kecuali—akan bisa memperoleh manfaat dari pembangunan berkelanjutan.
Prinsip itu juga berarti memprioritaskan upaya pembangunan global pada negara-negara termiskin dan memperjuangkan inklusi kelompok marginal di mana pun.
Baca juga: Pencapaian Target SDGs di Kawasan Asia Pasifik Melambat
Terkait dengan upaya tersebut, PBB bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan mitra pembangunan meluncurkan buku berjudul Those Not Left Behind pada 21 Maret 2024 di Jakarta. Buku ini menceritakan 22 kisah nyata dan pengalaman mereka yang memperoleh manfaat dari program-program PBB di Indonesia.
Buku itu menjadi pengingat bahwa pembangunan harus memberi manfaat bagi seluruh rakyat, terutama mereka yang paling membutuhkan, seperti orang-orang yang terabaikan, tinggal di daerah terpencil, dan terlupakan.
Baca juga: Sidang Umum PBB Dimulai, Dunia Diingatkan Agenda SDGs Bisa Molor 42 Tahun
Kepala Perwakilan PBB di Indonesia Valerie Julliand mengatakan, ada sebagian masyarakat tertinggal dan tidak terpantau karena alasan yang berbeda-beda. Ada yang karena alasan geografis lantaran mereka tinggal di daerah terpencil. Ada pula yang tertinggal karena terbatasnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, seperti dialami para penyandang disabilitas.
”Dengan buku ini, kami ingin mendengarkan cerita dan pengalaman secara langsung dari mereka yang sudah terbantu dengan program-program PBB di Indonesia. Mendengarkan cerita mereka secara langsung memberi kami motivasi untuk melanjutkan kerja-kerja PBB di sini,” ujar Julliand.
Buku tersebut merangkum kisah kehidupan 22 orang di Indonesia, mulai dari petugas pemadam kebakaran di lahan gambut di Riau, guru di sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Jawa Barat, hingga pengungsi yang bergerak di bidang pendidikan.
”Inti dari pembangunan berkelanjutan terletak pada janji kolektif kita untuk tidak meninggalkan siapa pun. Buku ini menghidupkan kisah-kisah individu yang hidupnya telah berubah menjadi lebih baik melalui upaya bersama kita,” kata Julliand.
Deputi Menteri di Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, Vivi Yulaswati, menambahkan, kerja sama strategis antara PBB dan Pemerintah Indonesia dilandaskan pada Kerangka Kerja Sama Pembangunan Berkelanjutan tingkat Negara. Kerja sama ini dikembangkan untuk mendukung agenda pembangunan Indonesia.
Vivi mengingatkan, sebagai negara kepulauan dengan populasi terbanyak keempat di dunia, Indonesia tidak mudah menerapkan prinsip ”jangan meninggalkan siapa pun”.
Baca juga: Kemitraan Indonesia dan PBB Perkuat Agenda Pengelolaan Laut Berkelanjutan
Meski sulit, pemerintah sudah menetapkan tiga strategi untuk mengatasinya, yakni mengurangi kemiskinan, menghentikan diskriminasi, dan menjangkau mereka yang paling sulit dijangkau.
”Sumber daya kita serba terbatas. Oleh karena itu, dukungan dari lembaga-lembaga internasional seperti PBB ini penting. PBB bergerak di banyak bidang, seperti perempuan, anak, budaya, pembangunan, dan lain-lain. Banyak kerja sama selama ini bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat,” kata Vivi.
Data kurang
Julliand juga mengakui, tantangan terberat dalam mencapai SDGs itu ada pada kurangnya informasi dan data. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Kurangnya data tentang mereka yang tertinggal itu bisa menghambat. Pasalnya, data demografi penting bagi para pembuat kebijakan untuk mengembangkan serta menilai kebijakan sosial dan ekonomi.
Julliand menekankan belum banyak perhatian yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertinggal. ”Yang dilakukan PBB adalah memperkuat data itu. Data yang terkumpul bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakan. Pemerintah harus memiliki data akurat dan rinci tentang kondisi rakyatnya agar bisa menjangkau semuanya,” ujar perempuan asal Perancis tersebut.
Pemerintah harus memiliki data akurat dan rinci tentang kondisi rakyatnya agar bisa menjangkau semuanya.
Untuk mendapatkan data lengkap, rinci, dan akurat itu, PBB sudah melakukan studi kedua yang bisa mengidentifikasi siapa saja yang termarjinalisasi. Setidaknya ada 10 kelompok masyarakat tertinggal, antara lain perempuan, penyandang disabilitas, orang lanjut usia, masyarakat pesisir, orang dari kelompok seks minoritas, masyarakat pribumi atau penduduk asli, dan anak-anak.
Studi kedua yang dilakukan PBB di Indonesia lebih spesifik melihat apa yang membuat warga tertinggal, hambatan apa saja yang membatasi mereka untuk mendapatkan akses terhadap pembangunan, dan tantangan-tantangan yang dihadapi.
Baca juga: Rapor Pembangunan Berkelanjutan Indonesia
”Pada studi kedua ini tidak hanya diidentifikasi kelompok penyandang disabilitas secara umum, misalnya. Tetapi, sampai pada penyandang disabilitas di daerah terpencil, seperti di Nusa Tenggara, Sumba, dan Papua. Ada peneliti yang dilibatkan untuk mencari datanya,” tutur Julliand.
Dengan studi kedua ini diharapkan bisa memberikan informasi lebih lengkap yang bisa membantu pemerintah, masyarakat sipil, dan semua pemangku kepentingan. Tanpa data yang lengkap, kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak akan efektif mengingat tidak akan bisa diketahui siapa saja yang tertinggal, berada di daerah mana, dan apa saja kebutuhannya.
Baca juga: Mewujudkan Kota Inklusif bagi Penyandang Disabilitas
Kelompok disabilitas, misalnya. Karena tidak tahu mereka ada di mana atau tidak tahu apa saja kebutuhan mereka, kelompok itu tidak bisa mengakses pendidikan dan pekerjaan. Namun, jika lingkungan dan sistemnya mendukung dan kebutuhannya diketahui, semua hal itu disiapkan.
”Mereka yang menyandang disabilitas juga memiliki kemampuan. Kalau kita fokus pada kemampuan mereka saja, kehidupan mereka juga bisa berubah menjadi lebih baik,” ujar Julliand.
Temuan dalam laporan tersebut menyoroti tantangan spesifik yang dihadapi oleh kelompok difabel dan menguraikan wawasan strategis untuk mendorong pembangunan inklusif.
Tidak ketinggalan, studi itu menawarkan panduan operasional untuk tidak meninggalkan siapa pun, yang menekankan pentingnya mengadopsi pendekatan berbasis hak, mengembangkan solusi dengan konteks yang spesifik, dan mendorong kolaborasi antar-pemangku kepentingan.
Baca juga: Akses Kerja Sulit, Anak Muda Disabilitas Hidup Miskin
Vivi menambahkan, dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diadakan Badan Pusat Statistik dua kali dalam setahun sudah ditambahkan sembilan pertanyaan terkait dengan disabilitas. Kini, pemerintah sudah bisa mengetahui lebih rinci tentang kondisi disabilitas di berbagai daerah.
Hanya saja, Vivi mengakui, definisi dan pemahaman tentang difabel di masyarakat belum semuanya sama. Akibatnya, untuk menghitung jumlah orang dengan disabilitas tidak mudah.
”Kita masih terus belajar dari pengalaman negara-negara lain agar bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, termasuk orang dengan disabilitas, agar mereka mendapatkan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan,” ujar Vivi.