Fotomodel Ciptaan AI, Menuju Mode Inklusif atau Sebaliknya
Teknologi AI merambah dunia mode. Akankah AI membuat industri ini lebih inklusif?
Alexsandrah, model asal London, Inggris, di kehidupan nyata tidak memiliki saudara kembar. Namun, dalam kehidupan profesionalnya sekarang, ia memilikinya. Kembarannya itu bukan terbentuk dari darah dan daging, melainkan tersusun dari piksel.
Alexsandrah menyebut dirinya dan kembarannya benar-benar identik, sampai ke hal-hal kecil. Kembarannya ini bahkan sudah mulai melakukan tugasnya, menggantikan Alexsandrah dalam beberapa sesi pemotretan. Walau begitu, Alexsandrah tetap menerima kompensasi dan kredit ketika alter ego-nya muncul dalam berbagai produk atau sekadar jadwal pemotretan.
Inilah salah satu hal yang muncul dari kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan. Avatarmanusia, yang sebelumnya masih berbentuk sangat kaku, cenderung seperti boneka, kini bentuknya sudah hampir menyerupai manusia.
Baca juga: Hari-hari Hidup Bersama AI
Dengan tingkat kesempurnaan yang mendekati 100 persen, para pendukung kemunculan ”model alter ego” seperti kembaran Alexsandrah menilai, dunia mode (fashion) menjadi sangat terbuka, memperlihatkan keberagaman segala bentuk dan ukuran. Selama ini dunia fashion dinilai masih sangat eksklusif milik para model yang memiliki ukuran tubuh dan kulit warna tertentu, khususnya kulit putih.
Sekarang, dengan teknologi, hal itu akan berubah dan membuat konsumen mampu memutuskan yang lebih sesuai dengan dirinya. Avatar pada gilirannya akan membantu perusahaan berhemat serta menciptakan peluang bagi orang-orang yang ingin bekerja di dunia fashion sekaligus teknologi.
Akan tetapi, sejumlah kritikus berpandangan sebaliknya. Mereka khawatir keberadaan model digital akan merampas kehidupan, tidak hanya para model, tetapi bahkan ekosistem pendukung industri ini. Penata rias, penata rambut, hingga fotografer terancam kehilangan mata pencariannya.
Kami tidak melihat uji coba (AI) ini sebagai sarana untuk memajukan keberagaman, atau untuk mengganti tindakan sesungguhnya yang harus dilakukan untuk memperluas tujuan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi.
Sara Ziff, mantan model dan pendiri Model Alliance, mengatakan, dunia yang pernah digelutinya belum sepenuhnya terbuka dengan keberagaman. ”Peluang bagi orang-orang kulit berwarna masih sangat terbatas,” katanya.
Dia khawatir penggunaan teknologi kecerdasan buatan akan mendistorsi representasi rasial dan semakin meminggirkan model kulit berwarna.
Pro kontra
Penggunaan model yang dilahirkan oleh kecerdasan buatan sudah mulai marak. Pada Maret 2023, produsen denim legendaris, Levi Strauss & Co. mengumumkan mulai menguji model yang dibuat oleh AI untuk beberapa produk mereka. Model itu dibuat oleh Lalaland.ai, perusahaan rintisan teknologi kecerdasan buatan yang berbasis di Thailand. Menurut kedua perusahaan, penggunaan teknologi ini untuk menambah tipe tubuh dan kelompok demografi yang tidak terwakili dalam berbagai produk mereka.
Baca juga: Kecerdasan Artifisial: Alat atau Ancaman?
Alih-alih mendapat dukungan, rencana itu menuai reaksi negatif dari publik. Meski begitu, Levi’s bergeming. Pada saat yang sama, perusahaan ini masih mengadakan pemotretan langsung, penggunaan model manusia, dan tetap berkomitmen untuk bekerja dengan beragam model.
”Kami tidak melihat uji coba (AI) ini sebagai sarana untuk memajukan keberagaman atau untuk mengganti tindakan sesungguhnya yang harus dilakukan untuk memperluas tujuan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi. Tindakan ini tidak seharusnya digambarkan seperti itu,” tutur Levi’s dalam pernyataannya.
Bulan lalu perusahaan menyatakan tidak memiliki rencana untuk memperluas program AI. Kohl, Target, Shein, dan beberapa perusahaan ritel menolak berkomentar. Temu, perusahaan loka pasar fashion dari China, juga menolak berkomentar.
Juru bicara Nieman Marcus, H&M, Walmart, dan Macy’s mengatakan, perusahaan mereka tidak menggunakan model AI. Walau demikian, Walmart menyebutkan, ada potensi perusahaan pemasok barang yang mereka pasarkan memiliki kebijakan yang berbeda mengenai hal ini.
Baca juga: Berpaling ke Mesin Saat Tak Bisa Bercerita ke Manusia
Pendiri Lalaland, Michael Musandu, mengatakan, ”replika model digital” diciptakan bukan untuk menggantikan, melainkan untuk melengkapi. Musandu menyebutkan, salah satu alasan penciptaan model berdasarkan kecerdasan buatan adalah pengalamannya yang tidak pernah menemukan model pakaian yang mirip dengannya.
”Satu model tidak mewakili semua orang yang berbelanja atau membeli suatu produk. Sebagai orang kulit berwarna, saya sendiri merasakan hal ini dengan menyakitkan,” ucapnya.
Musandu mengatakan, dengan model yang diciptakan oleh AI, konsumen akan melihat mereka mengenakan 9-12 produk dengan filter ukuran berbeda. Hal ini akan memperkaya pengalaman belanja calon pembeli dan membantu mengurangi pengembalian produk serta pemborosan lainnya.
Selain itu, ia menyebut teknologi AI juga menciptakan lapangan kerja baru karena manusia yang akan mengontrol penggunaan algoritmanya. Jika perusahaan-perusahaan fashion ternama serius dengan upaya ini, mereka akan terus mempertahankan penggunaan avatarkulit berwarna.
Bagi Alexsandrah, replika digital dirinya telah membuatnya menjadi menonjol dalam industri fashion. Dia bahkan membela keberadaan Shudu, replika model digital berkulit hitam yang diciptakan sahabatnya, Cameron Wilson, mantan fotografer fashion dan kini menjadi CEO The Diigitals, agensi model digital Inggris.
Saat pertama kali muncul, Shudu sempat membuat Wilson dituding merampas budaya orang-orang kulit hitam secara digital. Akan tetapi, kini Shudu telah diterima banyak pihak. Louis Vuitton, perusahaan mode terkemuka Perancis, dan BMW, perusahaan otomotif Jerman, telah menggunakannya. Shudu dan Alexsandrah pernah tampil sebagai sampul muka di majalah Vogue Australia.
Alexsandrah merasa ”sangat bangga” dengan karyanya bersama The Digitals. ”Ini sesuatu yang bahkan ketika kita tidak lagi berada di sini, generasi mendatang dapat melihat ke belakang dan berkata, ’Ini pionirnya’,” katanya.
Tak semuanya sepakat dengan Alexsandrah. Yve Edmond, seorang model, menyebut penggunaan AI dalam pemodelan fashion dinilai lebih berbahaya dibandingkan manfaatnya. Edmond khawatir agensi dan perusahaan model akan mengambil keuntungan dari para model, menggunakan foto mereka untuk melatih sistem AI tanpa persetujuan atau kompensasi bagi mereka.
Baca juga: 28 Negara Sepakat "Atur" Kecerdasan Buatan
Edmond pernah mengalaminya. Pada sebuah sesi pemotretan, seorang klien meminta dirinya melakukan berbagai gerakan, mulai dari jongkok hingga berjalan, dengan alasan tengah mengadakan penelitian. Dia menolak karena dia datang ke lokasi untuk mencoba pakaian yang akan dipasarkan, bukan untuk membuat avatar.
”Ini pelanggaran. Itu sungguh mengecewakan,” katanya.
Ziff menyebutkan, bagi pekerja di industri fashion, situasi sekarang ini bak ”wild wild west”, lingkungan di mana aturan hanya berlaku bagi orang-orang yang memiliki alat dan kekuasaan. Hukum hanya berpihak pada kelompok yang kuat.
Ziff dan lembaganya, Model Alliance, tengah berupaya mendorong adanya peraturan yang mengharuskan perusahaan fashion memperoleh persetujuan tertulis dari model untuk membuat atau menggunakan avatar. Aturan itu juga menentukan besaran dan durasi kompensasi hingga melarang manipulasi replika digital tanpa izin. Negara Bagian New York, Amerika Serikat, menjadi ujian pertama proses penyusunan peraturan semacam itu.
Alexsandrah sepakat dengan aturan seperti itu. Dia teguh menilai bahwa AI membuka banyak kesempatan bagi model kulit berwarna di industri fashion. Dia juga memberi tahu kliennya bahwa dia memiliki replika AI. Jika calon klien bertanya soal kembaran digitalnya itu, Alexsandrah akan menyodorkan Wilson untuk berbicara mewakilinya. Wilson memastikan kompensasi apa pun untuk avatarAlexsandrah sebanding dengan yang akan diberikan secara langsung.
Sebaliknya, Edmond juga berpegang teguh pada keyakinannya soal tingkat bahaya replika AI ini. Dia meyakini, dengan penduduk Bumi yang jumlahnya miliaran jiwa, dunia fashion bisa menemukan sosok yang cocok untuk setiap produk yang akan dibuat dan dipasarkan.
”Kita punya Bumi menakjubkan yang kita tinggali. Anda memiliki individu dengan berbagai warna kulit, tinggi badan, setiap ukuran. Mengapa tidak menemukan orang itu dan memberikan kompensasi padanya?” (AP)