Dianggap Ancam Martabat Manusia, Vatikan Menolak Operasi Ganti Kelamin dan Surogasi
Gereja melarang kriminalisasi pasangan sesama jenis. Namun, operasi ganti kelamin dan surogasi dianggap kejahatan berat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
VATIKAN, SELASA — Vatikan, lewat deklarasi Dignitas Infinita atau martabat yang tak terbatas, menegaskan kembali sikap Gereja Katolik yang menolak operasi ganti kelamin dan surogasi. Dua hal itu dikategorikan sebagai kejahatan berat, sama dengan aborsi dan eutanasia. Meski demikian, Vatikan juga meminta agar pasangan sesama jenis tidak dikriminalisasi.
Deklarasi Dignitas Infinita diumumkan ke publik oleh Dikasteri untuk Ajaran Iman pada Senin (8/4/2024). Penyusunan dokumen sepanjang 20 halaman itu memakan waktu lima tahun. Deklarasi itu akhirnya disetujui Paus Fransiskus pada 25 Maret, setelah dalam beberapa bulan terakhir dilakukan sejumlah revisi mendasar.
Dalam deklarasi itu, Vatikan kembali menegaskan sikapnya yang menolak "gender theory", sebuah ide yang beranggapan jenis kelamin manusia bisa diubah. Vatikan menyatakan Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dengan sejumlah perbedaan biologis yang membuat mereka menjadi dua mahluk berbeda. Orang tidak boleh berpura-pura menjadi Tuhan dan mencoba mengubah hal itu.
"Oleh karena itu, intervensi untuk mengubah jenis kelamin akan mengancam martabat unik yang diterima setiap manusia pada saat penciptaan," hal itu tercantum dalam Dignitas Infinita.
Deklarasi itu membedakan antara operasi untuk mengganti jenis kelamin dan operasi untuk memperbaiki kelainan alat kelamin. Gereja Katolik mengizinkan operasi untuk orang dengan kelainan kelamin demi kesembuhan yang dilakukan oleh tenaga medis profesional.
Lewat Dignitas Infinita, Vatikan juga menegaskan sikap Gereja Katolik yang menolak surogasi atau sewa rahim yang disebut melukai martabat perempuan dan anak. Surogasi yang legal dilakukan di AS dan Kanada, tetapi dilarang di banyak negara, menjadi salah satu cara bagi pasangan tidak subur dan pasangan sesama jenis untuk memiliki anak.
Surogasi disebut mengeskpoitasi perempuan miskin. Dalam praktek ini, seorang ibu dipisahkan dari anak kandungnya demi memenuhi keinginan orang lain. Dignitas Infinita juga menyatakan, anak adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa dikomersialkan.
"Menimbang hal tersebut, keinginan memiliki anak tidak bisa dijadikan dasar menciptakan sesuatu yang kemudian disebut sebagai 'hak atas anak'. Hal itu tidak menghormati martabat anak sebagai penerima anugerah kehidupan," dokumen itu menyatakan.
Menolak kriminalisasi
Dignitas Infinita juga mengutip dokumen edukasi yang dikeluarkan Vatikan pada 2019 yang menyebut pasangan sesama jenis berhak mendapat perlakuan hormat dan bermartabat. Namun, Dignitas Infinita tidak menggunakan lagi istilah dalam dokumen lama yang menyebut tindakan homoseksual sebagai "intrinsically disordered".
Perfek Dikasteri untuk Ajaran Iman Kardinal Víctor Manuel Fernández membenarkan bahwa istilah "intrinsically disordered" terlalu keras. Menurut dia, ada istilah lain yang bisa digunakan untuk menerjemahkan pandangan Gereja Katolik secara lebih baik mengenai relasi seksual suami dan istri yang menciptakan kehidupan baru.
Di bawah Paus Fransiskus, Gereja menjadi "lebih terbuka" terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender, queer, dan lain-lain (LGBTQ+).
Pada Desember 2023, Dikasteri untuk Ajaran Iman mengeluarkan Deklarasi Fiducia Supplicans tentang makna pastoral dari pemberkatan. Deklarasi itu memicu reaksi keras dari uskup-uskup konservatif, utamanya di Afrika, karena dalam dokumen itu disebutkan pasangan sesama jenis boleh menerima berkat dari imam.
Padahal, deklarasi ini sama sekali tidak menyamakan ’berkat’ kepada pasangan dalam situasi irregular atau pasangan sesama jenis dengan pemberkatan dalam sakramen perkawinan.
Dignitas Infinita menyatakan dengan tegas bahwa kriminalisasi terhadap pasangan sesama jenis berlawanan dengan semangat menghormati martabat manusia. Di sejumlah tempat, masih ada orang-orang dipenjara, disiksa, dan bahkan kehilangan mata pencarian semata-mata karena memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Fernández, yang merupakan seorang teolog liberal dan sama-sama berasal dari Argentina seperti Paus Fransiskus, membela langkah Paus yang memperbarui sikap Gereja Katolik sesuai zaman. Ia mencontohkan, di masa lalu Gereja pernah mendukung perbudakan, tetapi kini hal itu berubah menjadi sebaliknya.
Dignitas Infinita juga membahas kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di lingkungan Gereja Katolik, disebut mengancam martabat manusia. Selain itu, deklarasi tersebut menyoroti kemiskinan, situasi migran, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan orang, dan perang.
Menurut Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat Joe Biden, yang merupakan seorang Katolik taat, menyambut baik Dignitas Infinita melanjutkan seruan Vatikan yang menolak kekerasan dan kriminaliasi terhadap komunitas LGBTQ+.
Adapun mengenai isi Dignitas Infinita yang menyorot "gender theory", Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre menyatakan, bukan kewenangan Biden untuk menyoal kebijakan internal Gereja Katolik. (AP/REUTERS)