Korvet Tuo Chiang, Wajah Kemandirian Industri Pertahanan Taiwan
Setidaknya 200 perusahaan Taiwan bergerak di industri pertahanan. Sebagian awalnya memproduksi peralatan sipil.
TAIPEI, KAMIS — Hanya dalam enam bulan, Taiwan kembali meluncurkan persenjataan buatan dalam negeri. Kali ini, Taiwan meluncurkan dua kapal perang. Taiwan terus menguatkan industri pertahanan domestik meski ada dukungan besar dari Amerika Serikat.
Dukungan terbaru AS pada pertahanan AS diungkap pada Rabu (27/3/2024). Washington menjanjikan bantuan 300 juta dollar AS bagi Taipei. ”Kami akan terus memastikan kolega kami bahwa hubungan strategis adalah kunci keamanan masa depan kawasan. Hal ini termasuk strategi maritim Taiwan yang kuat serta kerja sama pada tujuan bersama untuk menghadang China,” kata Ketua Komite Intelijen DPR AS Jack Bergman di Taipei, Kamis (26/3/2024).
Baca juga: Taiwan Luncurkan Kapal Selam Buatan Dalam Negeri Pertama
Politikus Republikan itu datang bersama sejumlah anggota DPR dari Republikan ataupun Demokrat. Lawatan mereka berselang dua hari setelah Presiden Taiwan Tsai Ing-wen meluncurkan dua korvet terbaru. Pada Selasa (26/3/2024) di Suao, Tsai mengungkap dua kapal kelas Tuo Chiang.
Dalam peluncuran itu, ia menegaskan komitmen menghidupkan industri pertahanan Taiwan. Ia juga mendorong percepatan produksi jet latih tempur dan kapal selam buatan dalam negeri.
Di sisi lain, menurut Tsai, Taiwan akan terus membeli persenjataan dari AS. Meski tidak mengakui kedaulatan Taiwan, AS terus mendukung penuh Taiwan. Penjualan dan hibah senjata bagian dari dukungan itu.
Semua itu dilakukan karena Taiwan senantiasa merasa terancam dengan upaya China menyatukan lagi pulau itu. Dalam berbagai kesempatan, Beijing menyatakan penyatuan kembali China-Taiwan hanya soal waktu. Sementara Taiwan berkeras tidak mau bergabung dengan China.
Baca juga: Tingkatkan Pertahanan, Taiwan Belanja Rudal dan Ranjau
Beijing terus meningkatkan tekanan pada Taipei. Jet tempur dan kapal perang China semakin kerap mendekati Taiwan. Dalam kondisi itu, banyak persenjataan yang dijanjikan AS ke Taiwan tidak kunjung datang. Makanya Taiwan gelisah.
Persetujuan lama
Apalagi, proses persetujuan ekspor persenjataan AS bisa membutuhkan bertahun-tahun. Hal itu tetap berlaku pada negara yang dianggap sekutu AS sekalipun.
Masalah lain, produsen pertahanan AS enggan bekerja sama dengan perusahaan Taiwan karena setidaknya dua alasan. Pertama, perusahaan akan mendapat untung lebih besar jika menjual persenjataan lengkap. Berbeda jika hanya menjual suku cadang atau sebagian dari sistem persenjataan.
Alasan kedua, perusahaan AS khawatir ada mata-mata China di Taiwan. Bisa saja mata-mata itu menyusup lalu mencuri informasi rahasia soal persenjataan AS. Karena itu, mereka enggan membawa sebagian proses produksi ke Taiwan.
Baca juga: Taiwan Redam Spekulasi Kematian Petinggi Proyek Senjatanya
Apa pun alasan itu, Taiwan sadar harus mempunyai industri pertahanan nasional yang memadai. Kesadaran itu sudah diwujudkan sejak 1969. Kal itu, Taiwan membentuk National Chung-Shan Institute of Science and Technology (NCSIST), Aerospace Industrial Development Corporation (AIDC), dan The China Shipbuilding Corporation (CSBC).
Sampai sekarang, tiga lembaga itu menjadi tulang punggung pengembangan persenjataan Taiwan. Pada 2002, Taiwan juga membentuk Komando Logistik Terpadu (CLC) yang melengkapi sektor tersebut.
Taiwan memulai industri pertahanan dengan memproduksi suku cadang untuk aneka persenjataan impor. Setelah itu, Taipei mulai membeli lisensi untuk membuat persenjataan utuh.
Beberapa tahun setelah dibentuk, NCSIST mengembangkan rudal antikapal Hsiung-feng. Selama 41 tahun terakhir, rudal itu jadi andalan pertahanan laut Taiwan.
Baca juga: Gentarkan China, AS Gelontorkan Lagi Bantuan Militer untuk Taiwan
Dengan membeli lisensi rudal Gabriel dari Israel, Taiwan menyempurnakan Hsiung-feng pada versi-versi selanjutnya. Taiwan juga mengembangkan penangkis rudal balistik, Tien-kung. Kini, Tien-kung telah memasuki generasi ketiga.
Adapun AIDC sukses menghasilkan jet tempur F-CK-1 Ching-kuo. Dalam 30 tahun terakhir, sudah 130 jet Ching-kuo diproduksi dan dipakai Taiwan. Fungsi utamanya untuk patroli. Dengan lisensi dari AS, AIDC juga membuat total 300 jet tempur F5E. Selain itu, dibuat pula heli UH-1H.
Sementara NCSIST-CLC bersama membuat teropong malam, rompi antipeluru, hingga panser. Kongsi itu juga menghasilkan peluncur roket multilaras (MLRS) RT-2000, peluncur granat T-85, hingga senapan.
”Tidak kalah penting tentu saja perang CSBC. Sejak 2018, CSBC membangun kapal kelas Chiayi, kapal patroli pesisir, hingga kapal selam. Sejumlah galangan kapal Taiwan juga membantu pembuatan badan kapal patroli.
Taiwan juga membuat wahana nirawak seperti Chung Shyang II, Flying Fish, Tengyun, dan Albatros. Chung Syang untuk mengintai, Flying Fish untuk mengangkut peledak, dan Tengyun untuk menyerang. Taiwan melengkapi Tengyun dan Albatros dengan rudal Sky Sword II.
Setidaknya 200 perusahaan Taiwan bergerak di industri pertahanan. Pada 2018, omzet perusahaan-perusahaan itu mencapai 2,3 miliar dollar AS.
Baca juga: Selat Taiwan Selalu Tegang, Akankah Berujung dengan Perang?
Sebagian perusahaan itu awalnya memproduksi peralatan untuk keperluan sipil. Hwa Mei awalnya membuat kacamata hitam hingga kacamata ski. Kini, perusahaan itu membuat kacamata antipeluru untuk militer.
Geosat yang membuat pesawat nirawak untuk menyebar pupuk juga mulai membuat pesawat untuk keperluan militer. Pada 2024, Geosat menargetkan produksi 3.000 pesawat nirawak untuk keperluan militer. ”Perang Ukraina menunjukkan, pesawat nirawak sipil bisa dipakai dalam perang,” kata pemimpin Geosat, Lo Cheng-fang.
Taiwan juga mengucurkan rata-rata 1 miliar dollar AS per tahun untuk penelitian dan pengembangan industri pertahanan. Meski demikian, sampai sekarang industri pertahanan Taiwan masih terus bergantung pada teknologi dan hak cipta asing.
Kondisi itu menghantui Taiwan. Apalagi, meski menjanjikan dukungan penuh, AS masih terus membatasi teknologi persenjataan yang bisa diakses Taiwan. Karena itu, Taiwan ingin memandirikan industri pertahanan.
(AFP/AP)