Federal Reserve AS Mustahil Melakukan ”Tapering” Drastis (2 - Habis)
Sulit menyebut Fed berani mengurangi pasokan uang ke pasar. Ada risiko perekonomian AS terjerembab ke resesi.
Pandemi Covid-19 membuat Federal Reserve kembali membeli obligasi dari pasar. Kini, timbul pertanyaan, kapan bank sentral Amerika Serikat tersebut mulai mengurangi kepemilikan obligasi? Pertanyaan lain, akankah pengurangan atau tapering dilakukan secara drastis?
Pernyataan Ketua Dewan Gubernur The Fed Jerome Powell pada 20 Maret 2024 memicu spekulasi bank sentral AS itu akan mempercepat pengurangan pasokan uang ke pasar atau tapering off. ”Sudah tepat untuk memperlambat laju dalam waktu dekat,” kata Powell selepas pertemuan Dewan Gubernur The Fed, FOMC, edisi Maret 2024.
Baca juga: Ekonomi AS Kecanduan Uang Mudah (1)
Memang, Powell tidak memberi kepastian kapan pengurangan pasokan uang ke pasar akan dimulai. Sejumlah pihak, termasuk Direktur Pengelola PIMCO Tiffany Wilding, menduga The Fed akan mempercepat tapering off. Dengan pernyataan Powell, Wilding menduga The Fed bisa jadi memutuskan tapering dalam sidang FOMC pada akhir April 2024.
Karena tanda-tanda ini, saya tidak melihat perlu terburu-buru mengambil langkah untuk mulai melonggarkan kebijakan moneter.
Awalnya, direktur lembaga manajemen investasi itu termasuk yang meyakini tapering akan dilakukan mulai Juli 2024 dan selesai pada Desember 2024. Setidaknya 66 persen responden jajak pendapat Reuters pada awal Maret 2024 berpendapat senada dengan Wilding. Responden jajak pendapat itu merupakan perumus strategi pasar di berbagai lembaga investasi dan keuangan.
Kebijakan The Fed kembali sulit diraba selepas pernyataan anggota Dewan Gubernur The Fed, Christopher J Waller. Dalam acara di New York pada Rabu (27/3/2024), Waller menyebut tidak perlu buru-buru mengubah kebijakan moneter.
Ia menyebut ekonomi dan pasar tenaga kerja terus membaik. Di sisi lain, inflasi terus terkendali walau belum mencapai target. ”Karena tanda-tanda ini, saya tidak melihat perlu terburu-buru mengambil langkah untuk mulai melonggarkan kebijakan moneter,” ujarnya.
Kecanduan talangan
Pasokan uang ke pasar sudah berulang kali dilakukan The Fed. Sejak era kepemimpinan Alan Greenspan hingga Ben Bernanke sebagai Ketua Dewan Gubernur The Fed, pola yang disebut sebagai uang mudah itu terus dilakukan.
Bernanke memimpin The Fed menjelang, saat, dan selepas krisis 2008. Krisis itu ditandai dengan kebangkrutan Lehman Brothers. Jika bank investasi itu dibiarkan bangkrut, perusahaan lain dapat talangan. Bernanke yang mempelajari malaise 1929 itu menyimpulkan, bank dan perusahaan bangkrut harus ditalangi untuk mencegah resesi ekonomi lebih dalam.
Selama periode 2008 hingga 2014, Fed telah mencetak uang lebih dari tiga kali total jumlah uang yang dicetak dalam 350 tahun pertama keberadaan AS.
Di krisis 2008, Fed memasok uang ke pasar lewat Wall Street. Mantan pejabat Fed yang pindah ke bursa, Andrew Huszar, pernah diminta Fed membeli obligasi pemerintah dan swasta AS bernilai ratusan miliar dollar AS. Fed juga membeli obligasi yang dikaitkan dengan KPR. Padahal, obligasi jenis itu tidak termasuk layak jadi sarana investasi. Apalagi, krisis KPR jadi awal krisis 2008.
Baca juga: Krisis New York Community Bancorp, Sinyal Rapuhnya Sektor Keuangan AS
Pada 2008, Fed berperan aktif sebagai pelaku di bursa saham dengan misi menyuntikkan dana ke pasar. Tindakan Fed tersebut menaikkan indeks-indeks saham dan nilai-nilai perusahaan. Hal ini juga membuat aksi jual beli surat-surat berharga menjadi sangat marak.
Lembaga perbankan yang seharusnya menjalankan fungsi intermediasi malah jadi lupa tugas intinya. Perbankan menjadi sangat sibuk dengan aksi jual beli saham di bursa karena keuntungan melejit pasti didapatkan berkat kenaikan harga-harga saham dan larisnya aksi jual beli surat berharga. Untung dari aksi-aksi ini, menurut Huszar, lebih besar dari pengucuran kredit perbankan ke nasabah.
Kemudian Bernanke dipersalahkan. Ia dinilai terlalu mudah menalangi perusahaan-perusahaan bangkrut tanpa mencegah para penjahat di sektor keuangan, pembangkrut perusahaan. Bernanke berkilah, lebih berisiko lagi bagi perekonomian jika tindakan penalangan dana tidak dilakukan karena akan merugikan seluruh lapisan masyarakat.
Regulator pasar dan keuangan AS sejak lama khawatir pada perusahaan yang dianggap terlalu besar dan bisa menghasilkan efek sistemik jika dibiarkan bangkrut. Ada istilah terlalu berisiko jika membiarkan perusahaan bangkrut.
Baca juga: Suku Bunga Fed Bertahan hingga 2025, Efeknya Relatif Netral
Talangan tetap dikucurkan saat resesi mereda pada 2010. Kepala Fed Kansas Thomas Hoenig mencoba melawan. Dalam 11 kali FOMC, ia menolak tambahan pasokan uang dari Fed ke pasar.
Baginya, uang mudah tanpa disertai aturan main dan pengawasan ketat akan memunculkan persepsi bahwa kebangkrutan usaha akan cenderung diselamatkan (bailed-out) oleh pemerintah. Persepsi seperti itu tidak akan membuat bankir-bankir dan industri keuangan menjalankan sektor keuangan secara berhati-hati.
Hoenig, antara lain, mengingatkan kebangkrutan Penn Square Bank. Menurut dia, bank itu bangkrut karena pengelolaan yang ceroboh. Kecerobohan berpeluang terus terjadi jika uang mudah terus mengalir.
Pada 2010, ia menyarankan kebijakan uang mudah diakhiri dan ada pendisiplinan pasar keuangan. Sayangnya, ia kalah suara. Di masa Bernanke, Fed mengucurkan 3,5 triliun dollar AS ke pasar.
Baca juga: Mengapa Super Konglomerat Dunia Ramai-ramai Jual Saham
”Selama periode 2008 hingga 2014, Fed telah mencetak uang lebih dari tiga kali total jumlah uang yang dicetak dalam 350 tahun pertama keberadaan AS,” kata Christopher Leonard, wartawan investigatif, saat bertutur tentang bukunya yang terbit 11 Januari 2022 berjudul The Lords of Easy Money: How the Federal Reserve Broke the American Economy.
Dalam penelusuran informasi untuk penerbitan bukunya, Leonard banyak menggunakan informasi dari Hoenig. Salah satu alasan Hoenig menolak pencetakan uang baru adalah keputusan itu memicu inflasi. Saat inflasi terjadi, kelas menengah dan kelas bawah serta orang bergaji tetap akan rugi.
Minim pengawasan
Uang mudah juga menyebabkan ketimpangan pendapatan semakin tinggi. Kondisi itu terkait dengan kemunculan bankir nakal, yang tidak menjalankan peran intermediasi bank dengan baik. Mereka, serta spekulan di bursa, hanya memutar-mutar uang mudah di bursa. Uangnya tidak menetes ke masyarakat umum.
Dampaknya, ketimpangan melebar. Koefisien gini pengukur derajat ketimpangan pendapatan meningkat dari 0,43 pada 1992 menjadi 0,47 pada 2022, yang artinya terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan.
Hoenig menyatakan, penolakannya pada pertemuan FOMC 2010 karena ia tidak ingin terlibat pada aksi yang akan memberi bom waktu resesi dan penyebab munculnya bankir-bankir tak beres. Peringatan Hoenig hingga sekarang tidak diindahkan.
Baca juga: Utang Negara AS Menjadi Keprihatinan di Tengah Beban Geopolitik
Bahkan, menurut Hoenig, pengawasan perbankan juga semakin diperlemah. Dodd-Frank Act, peraturan tentang pengawasan lembaga keuangan, dilucuti di era Presiden Donald Trump.
Hoenig juga mengatakan, pengucuran uang mudah, termasuk lewat aksi Fed yang terjun langsung di pasar dengan memberi obligasi, akan sulit dibalikkan. Fakta ini menunjukkan rencana Bernanke melakukan tapering tidak pernah benar-benar berjalan.
Bernanke mengumumkan rencana tapering bertahap pada 2013. Saat Fed mencoba melakukannya, pasar langsung bereaksi negatif dengan kejatuhan indeks-indeks. Bernanke kemudian mendadak membatalkan tapering.
Ekonom Mohamed Al-Erian menyaksikan dari lantai bursa, indeks berubah menjadi stabil setelah Bernanke membatalkan tapering. Ini bukti lain lembaga keuangan AS benar-benar kecanduan uang mudah.
Baca juga: KKN, Bahaya Laten Industri Keuangan Amerika Serikat
Pengganti Bernanke, Janet Yellen, lalu Powell, juga tidak melakukan tapering. Bahkan, karena alasan pandemi, Powell malah mengucurkan 5 triliun dollar AS ke pasar.
Dampaknya, AS dilanda inflasi sejak 2021. Sayangnya, Yellen yang sudah jadi Menteri Keuangan AS dan Powell yang menjadi Ketua Dewan Gubernur The Fed tidak kunjung menerapkan kebijakan uang ketat. Sampai dua tahun lalu, mereka yakin inflasi hanya sementara.
Pernyataan Waller pekan ini menunjukkan inflasi tidak kunjung terkendali. Fed dan Departemen Keuangan AS baru mengakui ada tekanan inflasi pada Maret 2022. Untuk mengendalikannya, Fed menaikkan suku bunga inti dari 0,25 persen menjadi 5,5 persen seperti sekarang.
Sayangnya, kenaikan itu tidak berarti uang benar-benar ditarik dari pasar. Sebab, Pemerintah AS malah terus menerbitkan obligasi baru dan menumpuk utang. Kini, utang Pemerintah AS sudah melebihi 33 triliun dollar AS.
Baca juga: Inflasi di AS Tidak Mereda, Pasar Global Bergolak
Jumlah utang AS lebih banyak lagi jika menghitung utang swasta dan rumah tangga. Padahal, total produk domestik bruto AS hanya 25 triliun dollar AS.
Dilema bunga tinggi
Meski uang dan utang bertambah, kerawanan ekonomi AS tidak kunjung selesai. Saat Fed menaikkan suku bunga inti, bank-bank AS bangkrut. Lagi-lagi, Fed dan regulator AS harus menalangi bank.
Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB), Signature, Silvergate diatasi dengan penalangan dana. Hal terbaru, kebangkrutan New York Community Bank (NYCB) juga diatasi dengan cara serupa.
Pemerintah AS telah terjebak pada efek buruk kebijakan uang mudah yang dicanangkan puluhan tahun. Efek buruk uang mudah tidak teratasi, terutama kelalaian perbankan dengan fungsi intermediasinya. Perbankan tetap terlibat dari aksi jual beli surat-surat berharga, yang membuat perbankan terjebak pada kenaikan suku bunga AS.
Baca juga: Jangan Terlena dengan ”Soft Landing”, Ekonomi AS Bisa Tumbang
Saat aset bank-bank menumpuk dari bentuk obligasi, terjadi kerugian potensial karena nilai obligasi yang dipegang perbankan anjlok drastis. Nilai obligasi berbanding terbalik dengan kenaikan suku bunga. Kerugian potensial perbankan ini memicu penarikan dana-dana oleh nasabah.
Dalam artikel pada 5 Mei 2023 di The Barron’s, Hoenig menyebut kasus kebangkrutan bank yang terbongkar baru sebatas SVB dan beberapa bank lain. Padahal, keadaan keuangan buruk yang kurang lebih serupa sama-sama menimpa perbankan AS secara umumnya.
Dari kasus SVB, Hoenig juga mengamati bahwa kebangkrutan serentetan bank-bank AS termasuk karena mandulnya faktor pengawasan perbankan. Ia melihat, tidak ada kepedulian pengawas keuangan pada kesehatan manajemen perusahaan-perusahaan keuangan.
Misi yang mustahil
Kini, Powell mengindikasikan tapering akan dilakukan. Akan tetapi, Powell sangat berhati-hati saat bicara tentang tapering. Powell malah menyebutkan, tapering akan didahului Departemen Keuangan AS, bukan di lingkungan Fed. Hal ini sekaligus menunjukkan Fed tidak akan berani melakukan tapering.
Baca juga: Biden Jadi Beban bagi G20, RI Pernah Berupaya Melerai
Dengan situasi sekarang, sulit menyebut Fed berani mengurangi pasokan uang ke pasar. Ada risiko perekonomian AS terjerembab ke resesi.
Di sisi lain, kebijakan uang mudah mustahil terus dilakukan. Telah muncul sebuah dilema besar dalam perekonomian AS. Jika Fed melepas obligasinya, siapa yang akan menyerap? Sebab, surat itu pada dasarnya bernilai rendah dan sebagian diterbitkan perusahaan tidak jelas.
Peringatan juga datang dari Larry Fink yang memimpin BlackRock, lembaga manajemen investasi dengan kelolaan terbesar. Ia menyebut AS tidak bisa terus mengandalkan utang.
Tidak selamanya pasar, domestik maupun internasional, percaya pada obligasi Pemerintah AS. Suatu saat surat utang AS bisa minim pembeli internasional. Hoenig juga sejak lama mengingatkan, akan ada titik jenuh keberadaan dollar AS jika terus dicetak.
Baca juga: Sanksi Ekonomi AS Lebih Banyak Keburukannya (1)
Lalu, bagaimana akhir dari kisah ironi lembaga-lembaga keuangan AS yang kecanduan uang mudah ini? Rentetan kebangkrutan korporasi AS, apalagi diiringi dengan penurunan pemakaian dollar AS di pasar internasional, tidak sulit membayangkannya.
Nassim Nicholas Taleb, seorang ahli statistik matematika dan pelaku pasar, sudah memperingatkan bahwa kasus kebangkrutan AS hanya soal waktu. Hanya kebangkrutan pahit yang bisa mendorong koreksi pada buruknya situasi keuangan di AS. (AP/AFP/REUTERS)
SIMON SARAGIH, Wartawan Kompas 1989-2023