Mayoritas Wilayah Indonesia Berisiko Tinggi Polio, Tiga Kasus Polio Dilaporkan
Sebanyak 32 provinsi dan 399 kota/kabupaten di Indonesia masuk daerah berisiko tinggi penularan polio.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar wilayah di Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi penularan polio. Pada tahun 2024, setidaknya sudah ada tiga kasus polio yang dilaporkan. Rendahnya cakupan dan disparitas cakupan imunisasi menjadi penyebabnya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 29 Februari 2024, sebanyak 32 provinsi atau 84 persen provinsi dan 399 kota atau kabupaten atau 78 persen kabupaten atau kota di Indonesia masuk dalam kategori berisiko tinggi polio. Sementara itu, enam provinsi lain berisiko sedang, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Namun, kita tahu bahwa PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) ini tidak ada batas administrasi. Jadi, walaupun satu daerah ada yang hijau, yang rendah risiko, tetapi kalau terjadi penularan dan transmisi di daerah sekitarnya, transmisi ini bisa terjadi di daerah tersebut,” ujar Ketua Tim Kerja Imunisasi Wanita Usia Subur, Surveilans PD3I dan Kejadian Ikutan Pascaimunisasi Kementerian Kesehatan, Endang Budi Hastuti, di Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Endang mengungkapkan, tingginya risiko penularan polio di Indonesia menyebabkan masih adanya kejadian luar biasa polio di masyarakat. Pada tahun 2024, setidaknya sudah ada tiga kasus kejadian luar biasa (KLB) polio yang dilaporkan.
Secara rinci, satu kasus VDPV2-n atau kasus dengan virus polio yang diturunkan dari vaksin polio tipe 2 ditemukan di Nduga, Papua, pada anak laki-laki berusia 6 tahun pada 20 Februari 2024. Kasus VDPV2-n juga ditemukan pada anak laki-laki berusia 8 tahun di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Februari dan satu kasus lain di Asmat, Papua.
Surveilans
Saat ini, upaya surveilans telah dilakukan dalam upaya pemantauan risiko KLB PD3I. Petugas kesehatan pun diminta untuk segera melaporkan dalam 24 jam jika ditemukan kasus suspek polio atau kasus yang terindikasi polio di fasilitas kesehatan ataupun masyarakat. Hal itu terutama pada kasus lumpuh layu. Kebersihan dan sanitasi diminta untuk ditingkatkan.
Kita tahu bahwa PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) ini tidak ada batas administrasi. Jadi, walaupun satu daerah ada yang hijau, yang rendah risiko, tetapi kalau terjadi penularan dan transmisi di daerah sekitarnya, transmisi ini bisa terjadi di daerah tersebut.
Bersamaan dengan itu, edukasi dan informasi juga terus dilakukan terkait surveilans polio dan penyakit lainnya yang bisa dicegah dengan imunisasi. Pelaksanaan imunisasi akan diperkuat dengan imunisasi rutin yang dilanjutkan dengan imunisasi kejar.
Menurut Endang, ancaman kasus KLB PD3I yang masih terjadi, termasuk kasus polio, disebabkan rendahnya cakupan imunisasi di masyarakat. Selain itu, cakupan imunisasi tidak merata di seluruh wilayah.
”Rendahnya cakupan imunisasi dan kesenjangan cakupan imunisasi di tiap wilayah masih banyak ditemukan. Itu menyebabkan adanya kantong-kantong wilayah rendah cakupan imunisasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya KLB,” tuturnya.
Komisi Ahli Tim Surveilans AFP Pusat yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Irawan Mangunatmadja memaparkan, selain karena cakupan imunisasi rendah, kasus polio yang masih ditemukan di masyarakat juga bisa disebabkan surveilans AFP (acute flaccid paralysis) atau lumpuh layu akut.
Padahal, surveilans yang tepat membuat kasus bisa semakin cepat ditemukan sehingga cepat ditangani. Rantai penularan pun bisa dicegah. Rendahnya surveilans AFP dapat disebabkan kurangnya pengertian mengenai surveilans AFP pada tenaga kesehatan. Sebagian tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan ditemukan takut melaporkan kasus AFP karena khawatir akan dinilai buruk.
”Petugas kesehatan sangat berperan untuk bisa meningkatkan surveilans AFP. Jika memenuhi syarat, segera laporkan adanya AFP,” tutur Irawan.
Kriteria dari kasus lumpuh layu mendadak meliputi kasus yang ditemukan pada anak usia di bawah 15 tahun, kelumpuhan yang sifatnya lemas atau layu (flaccid), terjadi secara mendadak dalam 1-14 hari, dan kelumpuhan yang bukan disebabkan oleh trauma. Jika ada keraguan dalam identifikasi kasus AFP, sebaiknya tetap laporkan sebagai kasus AFP.
Dalam pemeriksaan kelumpuhan terdapat lima derajat kelumpuhan yang bisa diidentifikasi. Derajat 0 apabila tidak dapat bergerak sama sekali. Derajat 1 jika hanya bisa menggerakkan atau kontraksi otot. Derajat 2 apabila tidak dapat mengangkat kaki dari tempat tidur atau hanya bisa menggeser saja.
Derajat 3 jika masih bisa mengangkat tungkai tetapi tidak dapat melawan tahanan. Sementara derajat 4 jika masih bisa melawan tahanan dan derajat 5 jika ternyata tidak ditemukan adanya kelumpuhan.
”Kalau kita curiga itu ada lumpuh layu akut, sebaiknya dilaporkan saja. Apalagi dengan kondisi sekarang yang kasus polio muncul di mana-mana membuat kita harus lebih berhati-hati dan melakukan surveilans dengan lebih baik lagi,” tutur Irawan.