Tiap Pekan Terjadi Pembunuhan pada Perempuan
Hampir tiap pekan terungkap kasus pembunuhan pada perempuan. Hal ini mencerminkan lemahnya perlindungan pada perempuan.
Misteri pembunuhan RM (50), perempuan yang jenazahnya ditemukan di dalam koper di Jalan Inspeksi Kalimalang Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (25/4/2024) pekan lalu, belum terungkap. Polisi terus menyelidiki kematian tersebut.
Penemuan jenazah perempuan tersebut mengundang tanda tanya. Saat ditemukan, di tubuh korban ditemukan sejumlah luka dan cedera di kepala serta memar di bibir. Cincin masih melingkar dan terdapat sejumlah uang tunai bersama jenazah korban di dalam koper.
Sebelum hilang, aktivitas terakhir korban adalah menyetor uang perusahaan tempatnya bekerja ke bank tak jauh dari kantornya pada Rabu (24/4/2024). Kepada media, pihak kepolisian menyatakan, setelah ke bank, korban tak pernah kembali ke kantor.
Hingga Minggu (28/4/2024), polisi terus menyelidiki kasus tersebut. Pihak keluarga menduga korban dibunuh orang dekat. Saat ini korban dalam proses perceraian dengan suaminya di pengadilan agama.
Korban selama ini tinggal bersama kedua anaknya. Bahkan, pada hari Rabu pagi sebelum ke kantor, korban sempat mengantarkan anaknya ke sekolah.
Pembunuhan terhadap RM, seorang perempuan yang sekaligus ibu/istri, mengundang keprihatinan sekaligus pertanyaan. Karena itu, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, mendorong pengungkapan kasus tersebut.
”Walau terlalu dini mengategorikan kasus ini sebagai femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena ada motivasi jender, kami merekomendasikan, jika kasus ini terungkap, motivasi atau alasan yang didasarkan kepada peran dan relasi jender korban diungkap,” papar Siti Aminah.
Selain mengungkap motivasi pembunuhan, kepolisian didorong untuk mendata lebih rinci kasus-kasus tindak pidana, termasuk pembunuhan, dengan memilah kasusnya berdasarkan jenis kelamin korban.
”Hal ini mengingat dalam statistik kriminal pendekatan, datanya berdasarkan tersangka atau pelaku. Dengan memiliki data berapa jumlah perempuan terbunuh dan penyebabnya, kita akan mampu membangun sistem pencegahannya,” lanjutnya.
Dengan lebih mengetahui penyebab-penyebab dan motivasi jendernya, para perempuan di Tanah Air juga akan lebih mewaspadai potensi ancaman kekerasan di sekitarnya, baik di ruang privat maupun publik.
Baca juga: Perempuan di Cirebon Diduga Dibunuh Mantan Suami, Polisi Kejar Pelaku
Mamik Sri Supatmi, pengajar Kriminologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, menilai kasus-kasus pembunuhan tersebut merupakan bagian dari femisida.
Kasus tersebut terus terjadi karena perlakuan dan cara pandang terhadap perempuan dalam masyarakat dan negara masih merendahkan, sexist terhadap perempuan dan misogyny, bahkan normalisasi kekerasan terhadap perempuan.
”Sepanjang itu, hidup perempuan (terlebih perempuan miskin, anak, masyarakat adat, dan minoritas seksual dan identitas jender) rentan jadi sasaran kekerasan atau kejahatan, seperti femisida, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan eksploitasi seksual (dilacurkan dan pornografi),” papar Mamik.
Kasus RM merupakan satu dari sekian kasus pembunuhan pada perempuan. Sepekan terakhir, sejumlah kasus pembunuhan terhadap perempuan terungkap di media daring.
Awal pekan lalu, Senin (22/4/2024), seorang perempuan remaja, FA (16), diduga meninggal setelah dipaksa mengonsumsi narkotika di sebuah hotel di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. FA dan perempuan remaja lain, APS (16), juga diduga menjadi obyek seksual oleh pelaku.
Berdasarkan keterangan pihak Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, korban diduga tewas karena dicekoki pil ekstasi dan dipaksa mengonsumsi sabu cair oleh dua pria, yakni BAS (48) dan BH (46).
Sepanjang itu, hidup perempuan (terlebih perempuan miskin, anak, masyarakat adat, dan minoritas seksual dan identitas jender) rentan jadi sasaran kekerasan atau kejahatan.
Korban FA yang mengalami kejang-kejang sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi ketika sampai di rumah sakit korban sudah tidak bernyawa sehingga ditinggalkan oleh dua pria yang membawanya. Para pelaku sudah ditangkap.
Sebelumnya, pada Sabtu (20/4/2024), publik dikejutkan dengan berita kematian RN (34), perempuan yang meninggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara, setelah dipaksa melakukan aborsi tidak aman oleh Agustami (27), pacarnya tiga tahun terakhir.
Korban dipaksa minum obat penggugur kandungan hingga mengalami pendarahan, lalu ditinggalkan pelaku. Jenazah RN ditemukan di salah satu ruko di Jalan Boulevard Raya, Kelapa Gading. Pelaku akhirnya ditangkap polisi.
Baca juga: Memahami Pembunuhan Perempuan
Kasus-kasus pembunuhan perempuan dengan berbagai modus terus terjadi. Sebelum nyawa melayang, perempuan mengalami kekerasan fisik, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, hingga tubuhnya diperlakukan secara tak manusiawi, bahkan dibakar hidup-hidup.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati menyampaikan keprihatinan atas kasus-kasus tersebut dan mendorong pihak aparat kepolisian segera melakukan pengusutan tuntas.
Belajar dari kasus tersebut, para perempuan pun diimbau untuk senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai bentuk ancaman dan kekerasan. Bahkan, jangan takut untuk berbicara ketika ada kekerasannya yang mengintai.
Femisida belum dikenal
Kendati sejumlah kasus kematian atau pembunuhan terhadap perempuan sering terjadi, dan alasan pembunuhan erat terkait dengan jender korban, masyarakat belum mengenal hal itu sebagai femisida.
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau jendernya.
Kejahatan itu didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, ataupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistik.
Selain merendahkan martabat perempuan dan anak perempuan, femisida ialah kejahatan kemanusiaan yang sistematik terhadap perempuan yang merefleksikan ketimpangan jender dalam masyarakat.
Namun, hingga kini istilah femisida (femicide) tidak dikenal dengan baik di Indonesia. Penghilangan nyawa berbasis jender terhadap perempuan diperlakukan seperti halnya pembunuhan biasa (homicide).
Baca juga: Pembunuhan Berbasis Jender Belum Banyak Diungkap
Komnas Perempuan mulai mencatat kasus-kasus femisida sejak tahun 2017 berdasarkan hasil pemantauan pemberitaan media daring. Pantauan terbaru Komnas Perempuan pada periode November 2022-Oktober 2023 menemukan 159 pemberitaan mengenai kematian perempuan terindikasi kuat sebagai femisida.
Dari berbagai kasus yang terjadi, Komnas Perempuan membagi femisida dalam beberapa kategori, di antaranya femisida intim, femisida non-intim (pembunuhan sistematis), femisida budaya, dan femisida dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang.
Sejumlah kategori lain adalah femisida dalam konteks industri seks komersial, femisida terhadap perempuan penyandang disabilitas, femisida dalam konteks orientasi seksual dan identitas jender, femisida di penjara, dan femisida terhadap perempuan pembela HAM.
Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan atas pemberitaan media daring periode November-Oktober 2023 dengan memakai alat bantu media monitoring, ada 388 pemberitaan yang memakai kata kunci ”wanita tewas”, ”KDRT”, ”bunuh diri”, ”dianiaya”, dan ”pacar tewas”.
Dari proses penyaringan terdapat 159 pemberitaan dengan indikasi femisida kuat, yang terjadi hampir di semua provinsi di Indonesia.
Dari 159 kasus diberitakan terdapat 162 jenis femisida karena satu kasus memuat dua jenis femisida, seperti pembunuhan terhadap ibu dan anak.
Dari semua kasus tersebut, femisida intim menempati pemberitaan tertinggi (109 kasus), yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi, mencapai 67 persen dari keseluruhan kasus femisida yang diberitakan.
Femisida intim ini terbagi dalam jenis kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 64 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 33 kasus, kekerasan mantan pacar (KMP) sebanyak 11 kasus, dan kekerasan mantan suami (KMS) sebanyak 1 kasus.
Seperti halnya kekerasan yang tidak berakhir dengan kematian, kondisi ini menunjukkan relasi perkawinan dan relasi pacaran menjadi relasi tak aman bagi perempuan.
Tingginya femisida intim ini juga sekaligus mengingatkan negara untuk membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian.
Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai perempuan terus menjadi korban kekerasan, mengalami penyiksaan hingga berujung pada kehilangan nyawa. Hal itu menunjukkan betapa negara belum hadir dalam perlindungan perempuan.
Kehadiran peraturan perundang-undangan yang seharusnya semakin meningkatkan perlindungan pada perempuan yang mengalami kekerasan justru tidak mengakomodasi realitas dan pengalaman perempuan sehingga menyulitkan perempuan mendapat keadilan.