Gempa M 6,2 Menjadi Alarm Bahaya Lebih Besar dari Selatan Jawa
Gempa M 6,2 menjadi alarm untuk mengantisipasi ancaman gempa lebih besar dari Zona Megathrust di selatan Jawa.
Gempa bumi berkekuatan M 6,2 yang berpusat di Samudra Hindia, sebelah barat daya Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Sabtu (27/4/2024) pukul 23.29 WIB, dipicu oleh pecahnya batuan di dalam lempeng.
Guncangan gempa bumi yang dirasakan hingga Jakarta ini memicu kerusakan di sekitar Garut dan Sukabumi. Ancaman gempa lebih besar dari selatan Jawa bisa berasal dari Zona Megathrust.
Informasi awal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, gempa ini berkekuatan M 6,5 dengan kedalaman 10 kilometer (km).
Namun, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, berdasar pemutakhiran data, gempa ini terukur berkekuatan M 6,2 dengan pusat di koordinat 8,39 Lintang Selatan-107,11 Bujur Timur dengan kedalaman 70 km.
”Dengan memperhatikan lokasi episentrum dan kedalaman hiposentrumnya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi menengah,” kata Daryono.
Gempa bumi ini terjadi akibat aktivitas deformasi batuan dalam lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia di selatan Jawa barat atau populer disebut sebagai gempa dalam lempeng (intra-slab earthquake).
Baca juga: Gempa Garut M 6,5, Kerusakan di 10 Daerah Jawa Barat
Data penampang melintang hiposentrum (cross-section) yang disajikan BMKG telah menunjukkan hiposentrum gempa bumi di selatan Jawa Barat ini terletak di dalam lengan (slab) lempeng. Hal ini berarti, gempa ini tidak bersumber dari bidang tumbukan lempeng atau dikenal sebagai megathrust.
Dampak guncangan gempa
Meski berkekuatan menengah, guncangan gempa ini dirasakan cukup luas. Data BMKG menunjukkan, daerah Tegalbulued, Pamulihan, Sukanagara, Cempaka, Langkaplancar, dan Lembang mengalami guncangan dengan skala intensitas V MMI (Modified Mercalli Intensity).
Dengan memperhatikan lokasi episentrum dan kedalaman hiposentrumnya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi menengah.
Dengan skala ini, artinya guncangan dirasakan oleh semua penduduk, barang-barang terpelanting, dan tiang tampak bergoyang.
Daerah Sukabumi dan Tasikmalaya memiliki skala intensitas IV MMI atau dirasakan orang banyak dalam rumah. Sementara daerah Bandung dan Garut mengalami guncangan dengan skala intensitas III-IV MMI.
Adapun daerah Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, DKI Jakarta, Kebumen, Banyumas, Cilacap, dan Purwokerto mengalami guncangan dengan skala intensitas III MMI, yang artinya getaran dirasakan nyata dalam rumah.
Gempa juga dirasakan hingga Bantul, Sleman, Kulonprogo, Trenggalek, dan Malang dengan skala intensitas II MMI, yang bisa menyebabkan benda-benda ringan yang digantung bergoyang.
Luasnya dampak guncangan ini dipicu karakteristik mekanisme gempa. ”Gempa intra-slab atau gempa akibat pecahnya batuan dalam slab (lengan) lempeng memiliki karakteristik pancaran groundmotion (guncangan) yang jauh lebih kuat dari gempa dengan magnitudo yang sama dari sumber lain,” tuturnya.
Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan kerusakan bangunan telah terjadi di sejumlah daerah. ”Akibat gempa yang mengguncang ini, sedikitnya empat orang terluka,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari.
Berdasarkan Data BNPB, hingga Minggu (28/4/2024) pukul 05.45 WIB, tercatat 27 keluarga terdampak dari gempa ini. Dari jumlah ini, warga terdampak paling banyak berada di Kabupaten Garut dengan rincian tiga orang mengalami luka-luka dan empat keluarga terdampak.
Baca juga: Gempa Garut: Korban Luka dan Bangunan Rusak Bertambah
Sementara di Kabupaten Tasikmalaya, satu orang mengalami luka-luka dan delapan keluarga terdampak, serta di Kota Tasikmalaya lima keluarga terdampak.
Laporan juga menyebut total rumah yang rusak akibat gempa bumi ini berjumlah 27 unit, meliputi 4 unit rumah rusak berat, 11 unit rumah rusak ringan, 5 unit rumah rusak ringan, serta 7 unit rumah terdampak.
Dari total jumlah tersebut, kerusakan sebagian besar berada di Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut.
Ancaman dari Selatan Jawa
Gempa kali ini mengingatkan pada gempa M 6,6 di Selat Sunda pada Jumat (14/1/2022) pukul 16.05 WIB. Gempa bumi saat itu juga bersumber dari intra-slab dengan kedalaman 40 km.
Gempa-gempa ini berbeda sumbernya dengan gempa dari zona subduksi berkekuatan M 7,7 diikuti tsunami yang melanda Pangandaran pada 17 Juli 2006 pukul 15.19 WIB. Masalahnya, gempa-gempa bumi yang terjadi di pinggiran zona subduksi ini dikhawatirkan bisa memicu gempa lebih besar.
Beberapa gempa besar yang terjadi di zona subduksi kerap didahului oleh gempa-gempa lebih kecil di pinggiran segmen.
Ahli gempa bumi yang juga Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano mengatakan, gempa disusul tsunami di Tohoku, Jepang, pada September 2011 yang gempa lebih kecil di bagian bawah subduksi.
Sebelum gempa pada 2018 di Palu ada beberapa gempa lebih kecil. Juga sebelum tsunami Aceh 2004, setahun sebelumnya ada gempa-gempa lebih kecil (Kompas, 15 Januari 2022).
Padahal, sejumlah kajian telah menunjukkan bahwa zona subduksi di selata Jawa menyimpan potensi gempa sangat besar.
Kajian S Widiantoro dari Global Geophysics Research Group ITB dan tim di jurnal Nature pada 2019 menyebut, gempa kuat di selatan Jawa Barat dan Selat Sunda bisa memicu tsunami besar. Ketinggian tsunami akibat gempa di zona ini bisa mencapai 20 meter dan rata-rata 4,5 meter di sepanjang pantai selatan Jawa.
Peneliti menggunakan data relokasi gempa bumi yang dicatat oleh BMKG serta inversi data sistem penentuan posisi global (GPS) untuk menyelidiki celah seismik di selatan Pulau Jawa.
Hasil relokasi gempa itu menunjukkan zona memanjang di antara pantai selatan Jawa dan Palung Jawa yang tidak memiliki kegempaan. Zona diidentifikasi sebagai celah seismik, yaitu zona kegempaan aktif yang tengah menyimpan tenaga dan berpotensi terjadi gempa besar pada masa depan.
Celah seismik yang memanjang ini disebut bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa. Jika segmen di selatan Jawa Barat yang lepas, gempa bumi bisa berkekuatan M 8,9 dengan periode ulang 400 tahun.
Untuk periode ulang yang sama, segmen di Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa memicu gempa M 8,8. Jika kedua segmen pecah dalam satu gempa, akan berkekuatan M 9,1 atau setara gempa Aceh pada 2004.
Riset yang diterbitkan Pepen Supendi dari BMKG dan tim di jurnal Natural Hazards pada 2022 menunjukkan, zona kegempaan di selatan Jawa bagian barat hingga tenggara Sumatera menyimpan sumber potensial gempa megathrust di masa depan dengan kekuatan hingga M 8,9. Dengan gempa sebesar ini, potensi ketinggian tsunami maksimum mencapai 34 meter.
Baca juga: Gempa M 6,5 di Garut Terasa Hingga Jakarta dan Yogyakarta
Pepen mengatakan, daerah yang berpotensi dilanda tsunami dengan ketinggian maksimum itu adalah Ujung Kulon, Banten. Sementara ketinggian tsunami rata-rata di sepanjang pantai Sumatera dan pantai Jawa masing-masing 11,8 meter dan 10,6 meter.
Berdasarkan survei lapangan yang dilaporkan Jose C. Borrero dalam Seismological Research Letters (2005), ketinggian tsunami akibat gempa bumi berkekuatan M 9,1 di Aceh pada 2004 dan menewaskan lebih dari 150.000 orang saat itu berkisar 20-30 meter.
Hal ini berarti potensi tinggi tsunami maksimum yang disebabkan gempa di selatan Jawa bagian barat bisa lebih tinggi dari Aceh, sekalipun kekuatan gempanya sedikit lebih kecil.
Hingga saat ini, ilmu pengetahuan belum bisa memprediksi secara akurat kapan gempa-gempa kuat akan terjadi.
Meski demikian, gempa-gempa berskala lebih kecil di lengan lempeng—tapi memicu kerusakan— seharusnya jadi alarm untuk membangunkan kita agar bersiap menghadapi bahaya lebih besar dari zona kegempaan di selatan Jawa. Apalagi, saat ini kawasan pesisir selatan Jawa tumbuh pesat dan padat.