Dampak Jangka Panjang Kampus Merdeka Perlu Dikaji
Dampak jangka panjang Kampus Merdeka dinilai perlu dikaji lebih mendalam dari sisi kompetensi penguasaan keilmuan.
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka diklaim sukses mentransformasi pendidikan tinggi yang menyiapkan lulusan siap kerja. Namun, dampak jangka panjang kebijakan ini pada penguatan identitas dan kompetensi penguasaan keilmuan lulusan perlu dikaji.
Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) Edi Subkhan menyampaikan hal itu pada webinar bertajuk ”Dampak Program MBKM terhadap Tradisi Akademi: Pembebasan atau Pengikisan Identitas?” yang digelar Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes, pada Sabtu (27/4/2024) malam.
Edi menuturkan, ketika membahas kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hal yang menonjol adalah program hak belajar mahasiswa di luar kampus yang dberi pengakuan satuan kredit semester (SKS).
Padahal, MBKM juga meliputi program kemudahan bagi kampus atau program studi (prodi) untuk membuka dan menutup prodi, kemudahan dalam akreditasi, serta kemudahan perguruan tinggi negeri (PTN) berstatus satuan kerja menjadi PTN Badan layanan umum (BLU) , lalu yang BLU jadi PTN Badan Hukum.
Baca juga: Kampus Merdeka Mulai Hasilkan Lulusan yang Lebih Unggul
Menurut Edi, gagasan MBKM yang menonjol adalah memberi hak belajar mahasiswa di luar kampus. Artinya, hal itu sebagai hak mahasiswa, bukan kewajiban mahasiswa.
Jika mahasiswa ingin lebih mengembangkan diri, mahasiswa bisa mengikuti mengikuti kegiatan belajar di luar kampus lewat program unggulan Kemendikbudristek atau yang difasilitasi kampus secara mandiri, seperti magang dan studi independen bersertifikat (MSIB).
Sejumlah program unggulan lainnya adalah Kampus Mengajar, pertukaran mahasiswa di dalam dan luar negeri, hingga kewirausahaan. Mahasiswa juga berhak memilih mendalami bidang keilmuan yang dipilihnya di dalam kampus.
”Secara umum, mahasiswa senang karena mendapat pengalaman belajar di luar kampus. Namun, program MBKM jadi target pemerintah maupun kampus bahwa harus banyak mahasiswa ikut belajar di luar kampus,” tuturnya. Akibatnya, kampus bersaing meloloskan banyak mahasiswa ikut MBKM.
Namun, ada sejumlah potensi ”kehilangan” sebagai dampak jangka panjang. Kegiatan belajar di luar kampus membuat kampus atau dosen harus melakukan ekuivalensi atau menyetarakan sejumlah mata kuliah dalam struktur kurikulum prodi agar selaras dengan kegiatan mahasiswa di luar kampus.
”Masalahnya, apakah ekuivalensi yang dilakukan ini benar-benar selaras dengan kompetensi keilmuan yang harus dikuasai mahasiswa,” ungkapnya.
Sebagai dosen, dia merasakan mulai nampak kelemahan mahasiswa dalam metodologi penelitian, berpikir logis, dan menganalisis data. Hal ini salah satunya karena ada sejumlah mata kuliah yang diganti sebagai kegiatan di luar kampus agar memenuhi pengakuan hingga 20 SKS.
Masalahnya, apakah ekuivalensi yang dilakukan ini benar-benar selaras dengan kompetensi keilmuan yang harus dikuasai mahasiswa.
”Ada potensi beberapa hal esensial tidak sempat dipelajari mahasiswa karena selama 1-2 semester belajar di luar kampus. Hal ini perlu dikritisi dan dikaji juga dengan obyektif,” kata Edi.
Merasa hilang identitas
Novia Kurniasari, mahasiswa Prodi Bimbingan dan Konseling (BK) Unnes, menuturkan, tawaran program Kampus Merdeka yang membebaskan mahasiswa ikut program belajar di luar kampus tentu menyenangkan.
Dia pernah ikut pertukaran mahasiswa lewat Program Mahasiswa Merdeka (PMM) di salah satu perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan. ”Saya bertemu banyak teman dari berbagai kampus, bisa mengambil mata kuliah di luar Prodi BK, dan bisa mempelajari kebudayaan daerah lain,” kata Novia.
Ketika belajar di kampus lain, dia juga menemukan pilihannya untuk sejumlah mata kuliah prodi pendidikan luar sekolah tidak relevan karena pengajaran dari dosen tidak memberi nilai tambah pada dirinya. Ada sejumlah mata kuliah BK yang diambil, tetapi berbeda dengan yang di kampusnya.
Novia juga memanfaatkan pilihan belajar di luar kampus dengan ikut MSIB. Awalnya, dia ingin memilih magang di bidang konselor, sesuai prodinya dan rencananya ketika lulus menjadi guru atau konselor. Sayangnya, saat tes, dia justru lulus di perusahaan terkait mengelola media sosial dan inventarisasi.
”Di satu sisi, aku senang mendapat pengalaman belajar di luar kampus. Belajar dan bekerja di perusahaan yang berbeda dengan bidang ilmu aku. Tapi, aku dan teman-teman yang mengalami hal sama, merasa kehilangan identitas sebagai mahasiswa BK karena belajar jauh dari sisi identitas akademik,” kata Novia.
Baca juga: Jaga Kualitas Belajar di Luar Kampus lewat Kampus Merdeka
Kini timbul kegamangan dalam dirinya. Pengalaman di luar kampus membuka wawasan tentang pilihan karier. ”Aku jadi berpikir apakah mungkin untuk menukar karier yang tadinya aku bayangin jadi konselor kini ke bidang lain,” kata Novia.
Hal senada disampaikan mahasiswa lainnya, Rifki, yang mendalami pendidikan bahasa Jepang di Unnes. Dia lolos program Kampus Merdeka studi independen terkait pengembangan aplikasi Android. Sebenarnya hal ini tidak asing karena dia lulusan SMK bidang rekayasa perangkat lunak.
”Aku milih prodi bahasa Jepang karena orangtua ingin aku jadi guru dan peluang kuliah di PTN lebih besar. Melihat masalah guru dan kesejahteraannya rendah, pas ada pilihan belajar di luar kampus, jadi terpikir kembali mendalami teknologi informasi yang lebih prospektif. Saya berpikir beralih karier,” kata Rifki.
Menurut Edi, dari berbagai kasus, terkait pelaksanaan hak belajar mahasiswa di luar kampus, dalam pendaftaran program, juga perlu ada perbaikan dan evaluasi agar sejalan dengan kebutuhan mahasiswa.
Ada mahasiswa yang ingin semakin profesional di bidangnya, ada yang masih membuka diri mencari peluang karier yang cocok dengan dirinya.
”Kampus bukan hanya untuk menghasilkan tenaga kerja siap pakai. Kampus juga menjadi media mendewasakan diri mahasiswa ke depannya mau ke mana dan menjadi apa,” ucap Edi.
Sementara dosen Unnes, Dhoni Zustiyantoro, mengatakan, MBKM bagai dua sisi mata uang. Niatan secara struktur kurikulum bagus dan progresif. Jika dibandingkan kurikulum pendidikan negara maju, mirip dengan liberal arts di Amerika Serikat dan Eropa.
Namun, dalam perjalanan MBKM ditemukan sejumlah paradoks. Mahasiswa senang belajar di luar prodi, tetapi ada yang mulai bimbang. ”Dalam perspektif kritis, perlu menelaah, apakah lewat MBKM ini ada niatan pemerintah untuk menggembosi gerakan mahasiswa,” ungkapnya.
Agar mahasiwa tidak membuat berbagai gerakan, mengorganisasi diri, dan kritis pada pemerintah, mereka dibuat sibuk dengan Kampus Merdeka melalui persiapan kerja. Ada suara kritis bahwa ini bisa berdampak pada peran mahasiswa, yakni mengawal demokrasi dan perubahan sosial di masyarakat.