Forum PBB Serukan Penguatan Hak Masyarakat Adat demi Atasi Krisis Iklim
Setiap negara harus beralih dari pendekatan antroposentris ke pendekatan biosentris demi Bumi yang lebih sehat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pertemuan komunitas masyarakat adat global yang berlangsung di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, 15-26 April 2024, menyerukan agar semua negara mengutamakan hak-hak masyarakat adat. Khususnya dalam hal kedaulatan, perlindungan, hingga kebijakan anggaran negara pada masyarakat adat
Forum PBB tentang Isu-Isu Adat (United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues/UNPFII) ini menegaskan, setiap negara harus beralih dari pendekatan antroposentris ke pendekatan biosentris untuk memastikan generasi muda bisa mendapatkan Bumi yang lebih sehat. Untuk itu, diperlukan dukungan pendanaan langsung dari negara kepada masyarakat adat yang merupakan garda terdepan penjaga keanekaragaman hayati.
Forum ini dihadiri lebih dari 2.000 peserta dan perwakilan dari PBB. Indonesia terlibat dan diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Dukungan dari negara pada masyarakat adat memungkinkan mereka untuk lebih menegaskan hak-hak mereka, melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya, serta mendanai struktur pemerintahan mereka. Hal ini sudah diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.
”Penghapusan hambatan terhadap aliran keuangan sangat penting untuk memastikan akses langsung kepada masyarakat adat untuk melaksanakan tindakan dan program kami, untuk mendapatkan cara dan sarana guna membiayai pemerintahan kami sendiri, dan untuk mempertahankan penentuan nasib sendiri,” kata Hindou Oumarou Ibrahim, Ketua UNPFII, dalam keterangannya, Sabtu (27/4/2024).
Namun, pendanaan dari negara untuk masyarakat, khususnya untuk mitigasi perubahan iklim, masih jauh dari kebutuhan mereka. Padahal, masyarakat adat merupakan pemelihara 80 persen keanekaragaman hayati yang tersisa di dunia, pendanaan untuk hak penguasaan dan pengelolaan hutan dari tahun 2011 hingga 2020 kurang dari 1 persen bantuan iklim internasional, dengan penerimaan aktual kemungkinan hanya sebesar 0,13 persen.
Selain itu, perhatian negara-negara pada perempuan dan anak-anak adat masih sangat minim. UNPFII mendesak pemimpin negara untuk memberdayakan mereka, termasuk meningkatkan keterlibatan perempuan dan generasi muda adat dalam penyusunan kebijakan.
”Kontribusi perempuan adat sangat berharga bagi masyarakat kita. Kita harus mengambil tindakan sekarang untuk memastikan mereka memiliki akses yang sama terhadap pendanaan dan dukungan, memberdayakan mereka untuk memimpin dan sukses,” ucap Sonia Guajajara, Menteri Masyarakat Adat Brasil.
Forum ini dihadiri lebih dari 2.000 peserta dan perwakilan dari PBB. Indonesia terlibat dan diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengisi salah satu lokakarya dalam UNPFII yang membahas pelacakan pendanaan bagi masyarakat adat pada 18 April.
”Ada banyak pendanaan global yang dikomitmenkan untuk mendukung masyarakat adat. Namun, studi global membuktikan, pada tahun 2011-2020, kurang dari 1 persen yang diimplementasikan dan dikelola langsung oleh masyarakat adat,” kata Rukka.
Rukka menyatakan, masyarakat adat saat ini merepresentasikan 6,2 persen dari total populasi global. Dengan persentase pendanaan yang sangat kecil tersebut, mereka memiliki beban untuk menjaga 80 persen keanekaragaman hayati dunia yang tersisa.
Pertemuan Brasil
Dari New York, perwakilan AMAN bergeser ke Brasil untuk menghadiri Pertemuan Akbar Masyarakat Adat di Brasil atau Acampamento Terra Livre pada Kamis (25/4/2024). Dalam forum ini, AMAN berbagi cerita perjuangan masyarakat adat di Indonesia di tengah perubahan iklim.
Rukka menceritakan pengalamannya dalam lima tahun terakhir di kampung adatnya di Tanate Kindan, Lembang Madandan, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang menderita akibat perubahan iklim. Salah satu hasil tanam terbaik mereka, yakni kopi, tidak lagi berbunga.
”Tahun ini, komunitas saya tidak akan mendapatkan satu pun biji kopi pertama kami,” ungkap Rukka.
Oleh karena itu, Rukka menegaskan, masyarakat adat harus menjadi pusat solusi iklim untuk melawan perubahan iklim. Sebab, mayoritas ekosistem keanekaragaman hayati termasuk hutan yang kita miliki saat ini masih ada karena peran penjagaan masyarakat adat.
Permasalahan masyarakat adat di Brasil pun tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Pengakuan dan perlindungan dari negara masih menjadi mimpi masyarakat adat yang belum dikabulkan.
Koordinator Articulacao dos Povos Indígenas do Brasil (AIPB) Dinamam Tuxa mengungkapkan, kekerasan dan pembunuhan terhadap pemimpin masyarakat adat di Brasil meningkat. Gangguan kesehatan mental masyarakat adat juga meningkat dengan maraknya kasus bunuh diri di komunitas adat akhir-akhir ini, terutama di daerah konflik agraria yang merampas wilayah adat.
”Kami berharap segala kasus yang terjadi selama ini bisa mereda dan syukur kalau bisa dihentikan,” ujar Tuxa, menagih janji Presiden Brasil Lula da Silva, yang berkomitmen mempercepat proses pengakuan masyarakat adat.