Baru 40 Persen Kesehatan Calon Pengantin Tercatat di Elsimil
Pemeriksaaan kesehatan sebelum menikah belum dianggap penting walau mencegah banyak masalah kesehatan, termasuk stunting
Menyiapkan kesehatan fisik calon pengantin masih belum dipandang sebagai hal penting. Sebagian calon pengantin lebih sibuk menyiapkan resepsi pernikahan, merasa diri mereka sehat-sehat saja, atau menilainya sebagai privasi. Pemeriksaan kesehatan itu penting untuk mencegah munculnya masalah kesehatan akibat pernikahan, termasuk risiko stunting pada anak.
Dari 1.544.373 pernikahan yang tercatat di Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) Kementerian Agama pada 2023, hanya 613.113 pasangan calon pengantin atau 39,7 persennya yang mengisi Sistem Elektronik Siap Nikah dan Siap Hamil (Elsimil) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Elsimil adalah aplikasi yang dibuat BKKBN untuk mendeteksi risiko anak stunting pada calon pengantin. Aplikasi ini juga bisa menghubungan calon pengantin dengan petugas pendamping di wilayah mereka, serta sebagai sarana edukasi tentang pernikahan dan kehamilan terutama yang terkait dengan stunting.
Berdasarkan data yang masuk di Elsimil, tercatat 23 persen calon pengantin perempuan kekurangan energi kronik yang ditandai dengan lingkar lengan atas yang terlalu kecil. Selain itu, 14 persen calon pengantin terlalu kurus atau memiliki indeks massa tubuh kurang dan 21 persennya justru memiliki berat badan berlebih. Artinya 35 persen calon pengantin memiliki berat badan tidak ideal.
Tak hanya itu, sekitar 20 persen calon pengantin perempuan memiliki anemia dari ringan, sedang, dan berat, serta 11 persen pengantin tidak memeriksakan hemoglobin darahnya. Sebanyak 12 persen calon pengantin berumur kurang dari 20 tahun dan 6 persennya berusia lebih dari 35 tahun.
“Perhatian terhadap prakonsepsi atau persiapan sebelum hamil oleh calon pengantin masih rendah,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Rapat Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, Keluarga Berencana dan Percepatan Penurunan Stunting di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Lemahnya perhatian terhadap kesehatan calon pengantin itu memprihatinkan mengingat 80 persen pengantin akan hamil saat usia pernikahan menginjak satu tahun. Kurang energi kronis pada calon ibu dipicu oleh minimnya asupan energi dari zat gizi makro dan mikro pada wanita usia subur secara berkelanjutan sejak remaja, prakonsepsi, hingga kehamilan.
Kurang energi kronis itu ditandai dengan lingkar lengan atas yang kurang dari 23,5 sentimeter dan indeks massa tubuh pada kehamilan kurang dari 12 minggu atau trimester pertama hanya 18,5 kilogram per meter persegi.
Sebagian calon pengantin menilai pemeriksaan kesehatan itu tidak penting, menganggap kesehatan mereka baik-baik saja, tersangkut masalah biaya, hingga takut pernikahannya dibatalkan jika ketahuan mengidap penyakit tertentu.
Kondisi kurang gizi kronis itu bisa menyebabkan terganggunya proses pembentukan dan pertumbuhan janin yang dikandung ibu, mulai dari stunting, gangguan perkembangan kognitif dan motorik, serta terganggunya sistem kekebalan tubuh anak. Saat dewasa, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit degeneratif, seperti jantung, stroke, diabetes, dan kanker sehingga menurunkan produktivitasnya.
Sebaliknya, ibu hamil yang terlalu gemuk akan meningkatkan komplikasi kehamilannya. Ibu bisa saja mengalami diabetes gestasional, preeklamsia yang mengancam nyawa janin dan ibu, bayi lahir prematur, keguguran, hingga kelainan bawaan bayi. Karena itu, mendorong kenaikan berat badan ibu selama hamil memang penting, tetapi jangan pula berlebih.
Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami anemia rentan mengalami berat badan lahir rendah, memiliki cacat bawaan, mudah infeksi, tingkat kecerdasan rendah, mengalami kondisi gawat janin hingga kematian. Sedangkan bagi ibu hamil, anemia bisa memicu terjadinya keguguran, persalinan prematur, hingga hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim.
Karena itu, lanjut Hasto, jika kondisi kesehatan calon-calon pengantin itu bisa ditapis sejak awal, maka upaya pencegahan stunting bisa dilakukan lebih awal, saat masalah masih berada di hulu. Jika dari data Elsimil ditemukan calon pengantin yang berisiko melahirkan anak stunting, maka tim pendamping keluarga bisa mendampingi mereka agar siap hamil.
Meski demikian, Hasto dalam kesempatan berbeda sering menegaskan, bahwa yang perlu menyiapkan kondisi kesehatan untuk mendukung prakonsepsi bukan hanya calon pengantin perempuan, tetapi juga calon pengantin laki-laki. Sejak 75 hari sebelum menikah, calon pengantin laki-laki diminta sudah menghentikan rokok, minum alkohol, dan tidak berendam air panas agar memiliki sperma yang berkualitas.
Namun dari data Elsimil yang masuk, membangun kesadaran akan pentingnya mengetahui status kesehatan calon pengantin tidaklah mudah. Sembari menunggu meningkatnya kesadaran calon pengantin untuk menggunakan Elsimil, pemerintah juga berusaha menyelesaikan persoalan-persoalan lain, terutama terkait infrastruktur, yang juga memicu stunting.
“Penurunan signifikan rumah tangga dengan kondisi rumah kumuh serta tidak memiliki air bersih dan jamban terstandar diharapkan bisa mempercepat penurunan stunting,” katanya. Data terakhir yaitu Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan prevalensi stunting Indonesia mencapai 21,6 persen, jauh dari target pemerintah sebesar 14 persen pada 2024.
Baca juga: Hasil Aplikasi Elsimil: Erina Gudono Siap Menjadi Ibu
Tantangan lapangan
Pemeriksaan kesehatan sebelum menikah memang menjadi persoalan besar di Indonesia. Tindakan yang seharusnya dilakukan calon pengantin laki-laki dan perempuan 3-6 bulan sebelum pernikahan itu belum dilakukan oleh semua calon pengantin.
Meski Kementerian Agama mensyaratkan sertifikat Elsimil sebagai salah satu pengantar nikah di kantor urusan agama (KUA), dalam banyak kasus, calon pengantin tetap dinikahkan walau tanpa Elsimil dengan berbagai alasan. Umumnya karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan mepetnya waktu pernikahan antara waktu pelaporan dan waktu pernikahan.
Sebagian calon pengantin menilai pemeriksaan kesehatan itu tidak penting, menganggap kesehatan mereka baik-baik saja, tersangkut masalah biaya, hingga takut pernikahannya dibatalkan jika ketahuan mengidap penyakit tertentu. Bahkan sebagian pengantin perempuan khawatir pemeriksaan itu menjadi semacam tes keperawanan yang bisa memalukan mereka.
Secara terpisah, peneliti sosiologi kesehatan yang juga dosen program pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret Solo Argyo Demartoto mengatakan, generasi Z yang sebagian besar saat ini memasuki usia kawin, sebenarnya memiliki informasi dan kesadaran terkait kesehatan mereka, termasuk kesehatan reproduksinya.
Melalui gawai dan internet di genggaman, mereka bisa mengakses informasi kesehatan, belajar dari pengalaman orang lain, hingga mengonsultasikan langsung kesehatannya. Semua itu, umumnya mereka lakukan dengan mandiri. Sebagai masyarakat berisiko (risk society), mereka sangat reflektif, punya inisiasi, dan siap menghadapi kondisi apapun, termasuk dalam urusan kesehatan reproduksinya.
Jika mereka abai dengan kondisi itu, mereka umumnya menyadari bahwa itu akan menjadi bumerang bagi mereka. Jika salah melangkah, maka risikonya adalah kesehatan mereka. Dengan demikian, program pemerintah yang meminta calon pengantin melaporkan mandiri kesehatan mereka melalui Elsimil dinilai Argyo kurang cocok dengan karakter generasi dan kondisi zaman.
“Mereka lebih mengkhawatirkan persoalan privasi jika kondisi kesehatan mereka diketahui orang lain, khususnya di luar tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan,” katanya. Saat menghadapi masalah, mereka akan mengonsultasikan kondisi mereka kepada tenaga profesional, keluarga atau orang terdekat yang mereka kenal.
Karena itu, menurut Argyo, upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk memastikan risiko stunting pada calon pengantin terdeteksi adalah melalui peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini. Dengan demikian, meski mereka belum memiliki sertifikat Elsimil, mereka tetap bisa menjaga kesehatannya secara mandiri.
Penyebarluasan informasi tentang Elsimil juga perlu diperluas. Meski program ini sudah berjalan beberapa tahun, namun belum semua calon pengantin mengetahui dan menyadari manfaatnya. Sebagai program dari pemerintah pusat, belum semua aparat pemerintah di daerah menyadari pentingnya program ini. Akibatnya, mereka menjalankan program ini sebatas sebagai kewajiban dari pemerintah pusat atau lembaga lain.
Baca juga: Aplikasi Pencatatan Status Gizi untuk Cegah Tengkes
Pengenalan Elsimil pun perlu dilakukan secara kolaboratif, bukan hanya dengan KUA atau dinas kesehatan atau dinas kependudukan saja, tetapi juga dengan dinas pendidikan. Bagaimana pun untuk membangun rasa memiliki atas sebuah program membutuhkan waktu dan perlu melibatkan masyarakat secara aktif, bukan hanya sebagai obyek tetapi subyek yang menyadari pentingnya pemeriksaan kesehatan calon pengantin sebelum menikah.