Penurunan Tengkes Melambat, Angka Tengkes Hanya Turun 0,1 Persen
Angka tengkes cenderung stagnan hanya menurun sekitar 0,1 persen dari tahun sebelumnya. Identifikasi masalah diperlukan.
JAKARTA, KOMPAS — Angka stunting atau tengkes cenderung stagnan. Dari data terbaru menunjukkan angka tengkes hanya turun 0,1 persen selama satu tahun. Faktor penyebab perlambatan penurunan tersebut harus segera diidentifikasi. Selain itu, intervensi pun didorong agar difokuskan pada kelompok superprioritas.
Pemerintah telah menargetkan angka tengkes bisa turun menjadi 14 persen pada 2024. Untuk mencapai target itu, idealnya setiap tahun angka tengkes harus turun sekitar 3,8 persen. Namun, dari data Survei Kesehatan Indonesia Tahun 2023, angka stunting masih 21,5 persen. Itu artinya, hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya jika merujuk pada data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, penurunan tengkes mengalami perlambatan dalam dua tahun terakhir. Karena itu, identifikasi harus dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab dari perlambatan penurunan tengkes tersebut.
”Saya minta faktor-faktor yang menyebabkan capaian penurunan stunting semakin melambat dalam dua tahun terakhir ini agar diidentifikasi dan dinavigasi,” katanya dalam acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting 2024 di Kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Faktor-faktor yang menyebabkan capaian penurunan stunting semakin melambat dalam dua tahun terakhir ini agar diidentifikasi dan dinavigasi,
Selain itu, Wapres juga mendorong agar intervensi kebijakan bisa difokuskan pada hal-hal yang memiliki daya ungkit dalam percepatan penurunan tengkes. Komitmen dan visi pimpinan terhadap program penurunan tengkes harus tetap terjaga, terutama di masa transisi dan pergantian kepemimpinan pada tahun ini.
Menurut dia, program yang sudah dilaksanakan selama ini perlu dievaluasi, baik terkait capaian, pembelajaran, maupun rekomendasi. Evaluasi tersebut amat penting agar program yang sudah dilakukan bisa dipastikan tetap berlanjut dan tetap menjadi prioritas bagi pemerintah selanjutnya.
Tengkes harus bisa dicegah sejak dini dengan memastikan pemenuhan gizi setiap anggota keluarga, pemberian ASI eksklusif bagi bayi usia 0-6 bulan, akses sanitasi dan air minum yang aman, perilaku hidup bersih dan sehat, serta pengasuhan yang layak. Keluarga juga perlu didorong agar lebih proaktif untuk menjangkau layanan kesehatan, seperti pemeriksaan ibu hamil secara rutin, imunisasi, dan pemantauan tumbuh kembang anak secara berkala.
Baca juga: Berlari Mengejar Target Penurunan Tengkes
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo di sela-sela acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2024 mengatakan, target penurunan tengkes hingga 14 persen memang tidak mudah untuk dicapai. Upaya penurunan tengkes harus dilakukan secara terintegrasi semua pihak.
”Memang target 14 persen itu sangat ambisius. Tetapi, kalau tidak, kita tidak akan kerja keras untuk mencapai itu.” katanya.
Mengutip data tengkes dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang dipaparkan dalam Rapat Kerja Nasional Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting 2024, angka tengkes sebesar 21,5 persen. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka tengkes hanya turun 0,1 persen.
Dari data tersebut, disebutkan pula penurunan prevalensi tengkes paling tinggi terjadi di Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Selatan. Namun, kenaikan prevalensi tengkes justru terjadi di daerah lain dengan kenaikan prevalensi lebih dari 5 persen, yaitu di DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Tenggara.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, pemadanan data tengkes masih harus dilakukan antara data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dan data dari elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (E-PPGBM). Karena itu, pengukuran berat badan dan pengukuran tinggi badan pada setiap anak yang dilakukan dalam E-PPGBM harus dimaksimalkan sampai 100 persen.
”E-PPGBM itu seperti real count, sedangkan SKI itu seperti quick count karena survei. Kalau E-PPGBM diverifikasi, saya yakin angka (stunting)-nya akan jauh di bawah 20 persen sehingga saya yakin kalau menggunakan E-PPGBM datanya bahkan bisa di bawah 14 persen,” tuturnya.
Hasto mengatakan, pendataan yang dilakukan terkait keluarga berisiko tengkes dilaporkan telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada 2021, jumlah keluarga berisiko tengkes sebesar 21,9 juta keluarga, turun menjadi 11,9 juta pada 2023.
Namun, pada indikator terkait tengkes, seperti rumah yang tidak layak huni masih besar, mencapai 8 juta rumah. Sanitasi tidak layak pun tidak mengalami perubahan masih sekitar 6,3 juta titik. Itu juga pada sumber air minum yang tidak layak masih sekitar 2,6 juta.
Baca juga: Pengurangan Tengkes Mesti Berkelanjutan
Kondisi tersebut perlu diperhatikan karena studi di 137 negara menunjukkan, faktor lingkungan, termasuk kondisi air dan sanitasi yang buruk, berkontribusi besar sampai 21,7 persen terhadap angka tengkes. Itu paling besar setelah faktor dari kesehatan ibu saat hamil.
Hasto berpendapat, perubahan perilaku di masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam penurunan angka tengkes di Indonesia. Perubahan perilaku tersebut termasuk pada budaya makan yang rendah gizi dan kesadaran akan kesehatan reproduksi. Selain itu, sulitnya untuk mengubah perilaku sanitasi masyarakat juga menjadi tantangan yang dihadapi.
Sasaran superprioritas
Program Manajer Sekretariat Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional 2024 Sudibyo Alimoeso, sekaligus Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia, menyampaikan, target penurunan angka tengkes di Indonesia semakin berat untuk dicapai. Pasalnya, dari pengalaman sejumlah negara, penurunan tengkes yang dicapai sekitar 1,5 persen per tahun. Jika Indonesia menargetkan angka tengkes bisa menurun menjadi 14 persen pada 2024, penurunan harus mencapai 7,5 persen pada tahun ini.
”Kalau hanya business as usual, angka stunting kita hanya 19 persen pada 2024. Kalau mau 14 persen, kita harus berani untuk mencegah terjadinya stunting baru. Kuncinya cegah stunting baru. Hulu harus dicegat duluan,” katanya.
Menurut Sudibyo, sasaran dalam penurunan tengkes harus lebih fokus pada kelompok superprioritas, yakni pada ibu hamil dan bayi usia di bawah dua tahun. Lompatan prevalensi tengkes terjadi pada kelompok usia 0-5 bulan dan 6-23 bulan. Pada kelompok tersebut perlu diwaspadai jika ditemukan adanya malanutrisi.
Kondisi penurunan tengkes yang lambat juga bisa dievaluasi berdasarkan indikator spesifik dalam intervensi tengkes. Dari sembilan indikator intervensi spesifik tengkes, hanya tiga indikator yang mencapai target, yakni persentase ibu hamil yang mengonsumsi tablet tambah darah, remaja putri yang mengonsumsi tablet tambah darah, serta anak balita gizi buruk yang mendapatkan tata laksana.
Sementara enam indikator lain masih belum mencapai target. Itu, antara lain, ibu hamil dengan kurang energi kronis yang mendapatkan tambahan gizi, bayi usia kurang dari 6 bulan diberikan ASI eksklusif, anak usia 6-23 bulan mendapatkan MPASI, dan anak balita gizi kurang mendapatkan tambahan asupan gizi.
Sudibyo menambahkan, intervensi penurunan tengkes saat ini pun diharapkan bisa dilakukan dengan aksi nyata yang lebih konvergen, holistik, dan terintegrasi. Intervensi dari pemangku kepentingan, baik dari pusat maupun daerah, serta pemangku kepentingan lain harus menyasar target sasaran yang sama di tempat yang sama pula. Jika masih dilakukan secara sporadis, intervensi tidak akan tepat sasaran. Selain itu, konvergensi pada level keluarga menjadi prioritas.
Baca juga: Tengkes, Antara Definisi dan Angka
”Anggaran juga sangat besar sampai Rp 30 triliun dengan Rp 20 triliun lewat PKH (Program Keluarga Harapan) dan bansos (bantuan sosial). Saya pikir ke depan ini perlu adanya tagging anggaran yang khusus stunting dan memastikan kepatuhan dalam implementasi,” ujarnya.