Mooryati Soedibyo sudah lebih dari satu bulan sakit dan dirawat di RS MMC, Jakarta. Belakangan kondisinya terus melemah.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO, ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Pendiri PT Mustika Ratu BRA Mooryati Soedibyo berpulang dalam usia 96 tahun, Rabu (24/4/2024), sekitar pukul 01.00 WIB, di Rumah Sakit MMC, Jakarta Selatan, karena sakit komplikasi di usia tuanya. Bu Moor, demikian ia disapa, dikenang sebagai perempuan yang hebat.
Kusuma Anggraini atau Ninik, cucu tertua almarhumah, mengatakan, Bu Moor sudah lebih dari satu bulan sakit dan dirawat di rumah sakit tersebut. Belakangan kondisi Bu Moor melemah sehingga harus dirawat di ruang ICU.
Sebelum wafat, Ninik sempat menjenguk eyangnya di rumah sakit. ”Kami sudah tak bisa berkomunikasi dengan eyang karena beliau sudah seperti kurang sadar,” ujarnya sambil menundukkan kepala untuk menekan rasa sedihnya.
Menurut Ninik, seluruh keluarga besarnya terakhir berkumpul pada saat perayaan ulang tahun ke-96. Waktu itu Bu Moor menciumi semua cucu dan cicit, tetapi tak sempat ada obrolan karena, menurut Ninik, eyangnya sudah terlihat capek.
Satu hal yang terus Ninik kenang akan eyangnya adalah pesan kepadanya agar selalu sabar dan kuat menjadi perempuan.
”Sabar, ya, Nik, harus sabar dan kuat menjadi perempuan. Tetapi juga jangan lupa akan kodrat perempuan,” tutur Ninik menirukan pesan eyangnya itu, yang akan terus ia ingat dan lakukan.
Kesedihan juga melingkupi Kusuma Dewi (86), yang sampai sekarang masih berkarya di Mustika Ratu. Kusuma bersama-sama Mooryati mencetuskan ide untuk membuat pemilihan Puteri Indonesia. ”Saya sedih sekali. Ibu Moor itu panutan saya. Terakhir bertemu beliau saat ulang tahun ke-96 pada Januari lalu,” tutur Kusuma dengan suara bergetar.
Bagi Kusuma, almarhumah adalah perempuan hebat yang menginspirasi dirinya. ”Saya sekolah lagi S-3 karena terinspirasi Ibu Moor yang meraih gelar doktor pada usia 70-an tahun. Saya kemudian ikut kuliah S-3,” katanya.
Aktif dan rendah hati
Bu Moor dikenal sebagai perempuan aktif. Selain mendirikan Mustika Ratu yang memproduksi banyak produk kecantikan, ia juga mendirikan Taman Sari Royal Heritage Spa Jakarta, semacam pusat perawatan kesehatan dan kecantikan berbasis tradisi Jawa.
Sumiati, karyawan Taman Sari, menceritakan, Bu Moor adalah tipe pengusaha yang langsung terjun ke lapangan dan ikut menangani Taman Sari secara langsung. Sumiati yang sudah 19 tahun bekerja di Taman Sari ingat betul, saat pertama bergabung dengan Taman Sari, ia mesti mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Tidak tanggung-tanggung, Bu Moor sendiri yang melatihnya.
”Ibu Moor melatih bermacam jenis pemijatan yang menjadi dasar javanese massage, layanan utama di Taman Sari. Sebelumnya kami harus belajar ilmu anatomi dan titik mana yang boleh dan tidak boleh dipijat, 15 minyak buat memijat, etika dan cara melayani tamu dengan baik. Pokoknya kami belajar jiwa, raga, dan sukma,” jelas Sumi, panggilan akrab Sumiati.
Setelah kursus selesai, ia harus ikut masa uji coba selama satu bulan dengan mempraktikkan apa yang ia pelajari kepada sesama kawan peserta kursus. Setelah lulus, baru diterjunkan untuk menerima tamu di spa. Kini, Sumiati telah menjadi pelatih bagi terapis baru, baik di kalangan internal Taman Sari maupun di Lembaga Pendidikan & Pelatihan Mooryati Soedibyo di Jakarta.
Idi Subandy, pakar komunikasi massa dan gaya hidup yang pernah menjadi editor untuk buku Mooryati Soedibyo, Transforming Woman's Voice, mengenang Bu Moor sebagai seorang bangsawan, ningrat, pengusaha sukses, tetapi tetap menunjukkan kerendahan hati dan kesantunan. Idi mengaku mendapat banyak pelajaran hidup dari perkenalannya dengan Bu Moor.
Salah satu wejangan yang masih Idi ingat adalah saat Bu Moor mengatakan, ”Jangan pernah merasa pintar dan hebat, karena hal itu membuat kita sombong. Kesombongan itu sesungguhnya adalah kelemahan kita. Bekerjalah bersungguh-sungguh dalam melakukan apa pun, seperti kita sedang mengerjakan sesuatu yang menurut kita itulah hal terbaik dalam hidup kita.”
Karena ia memiliki pandangan seperti itu, suatu hari ketika Idi bertemu dengan Bu Moor untuk membicarakan naskah akhir buku, Bu Moor bertanya dengan sangat serius dan sungguh-sungguh. ”Menurut Pak Idi, apakah bahasa dan kata-kata saya dalam buku ini terlihat sombong. Tolong baca dengan teliti Pak dan tunjukkan nanti kepada saya.”
Setelah buku selesai, lanjut Idi, Bu Moor kadang-kadang masih mengirim pesan singkat menanyakan kabar Idi dan keluarga dan tak lupa mendoakan kebaikan. ”Dari hal-hal kecil seperti itu, untuk tokoh perempuan hebat seperti Bu Moor, mungkin kita bisa belajar banyak hal,” ujar Idi.