Bunyikan Alarm, 26 April Simulasi Bencana Serentak di Sekolah
Semua sekolah membunyikan suara penanda bencana pada Jumat (26/4/2024), tepat pukul 10.00 WIB, untuk simulasi bencana.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada Hari Kesiapsiagaan Bencana 26 April nanti semua sekolah harus melakukan simulasi bencana yang diikuti semua warga sekolah. Hal ini untuk menanamkan pencegahan dan penanggulangan bencana sejak dini melalui sekolah yang berperan besar melatih anak agar siap bencana.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),Letnan Jenderal TNI Suharyanto menjelaskan, Indonesia termasuk dalam wilayah yang rawan berbagai macam bencana. Oleh karena itu setiap masyarakat harus mengenali, memahami, dan membudayakan kesadaran akan bencana sebab penanggulangan bencana adalah urusan bersama.
BNPB mengajak semua sekolah membunyikan lonceng, alarm, kentungan, atau suara penanda bencana lainnya pada Jumat (26/4/2024), tepat pukul 10.00 WIB untuk simulasi bencana di sekolah-sekolah. Setelah suara tanda bencana berbunyi, warga sekolah harus segera mengevakuasi diri ke titik kumpul yang sudah ditentukan hingga simulasi dinyatakan selesai.
”Masyarakat harus memiliki kemampuan bertahan dan membangun kembali kehidupan setelah terkena bencana,” kata Suharyanto dalam diskusi bertajuk ”Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Siap untuk Selamat yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Selasa (23/4/2024).
Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo menambahkan, kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana harus ditanamkan sedini mungkin. Simulasi ini menyasar anak sekolah dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak (TK), hingga ke tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Sebanyak 57 persen dari 500.000 lebih sekolah di Indonesia berpotensi terpapar lebih dari satu ancaman bencana.
Dia menegaskan, simulasi dalam Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) bukan sekadar seremoni. Sekolah harus mampu mengenali ancaman dan memprediksi potensi bencana, mencegah bencana, dan jika mungkin atau setidaknya mampu mengurangi dampak dari bencana tersebut.
”Kita harus menanamkan ini dari tingkat yang terkecil, yaitu mulai dari keluarga yang memiliki anak sekolah lalu diajarkan oleh guru dan kepala sekolahnya di sekolah,” kata Pangarso.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan pengurus sekolah untuk menanamkan budaya sadar bencana kepada anak antara lain analisis risiko bencana, penyusun perencanaan sekolah, kegiatan mitigasi, penyediaan dan penyiapan kebutuhan pendidikan bencana, penyiapan lokasi evakuasi, dan pengembangan sistem peringatan dini bencana.
Berdasarkan kajian Pusat Data dan Informasi Kemendikbudristek dan BNPB pada September 2022 menunjukkan 57 persen dari 500.000 lebih sekolah di Indonesia berpotensi terpapar lebih dari satu ancaman bencana. Rinciannya, 413.000 sekolah berisiko gempa bumi, 202.000 sekolah berisiko banjir, 49.000 sekolah berisiko tanah longsor, 8.000 sekolah berisiko tsunami, 8.000 sekolah berisiko letusan gunung api, dan 17.000 sekolah berisiko banjir bandang.
Dalam 15 tahun terakhir, 15.358 satuan pendidikan telah rusak terdampak bencana yang merusak bangunan. Selain itu, 49.997 satuan pendidikan terdampak bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan walau tidak merusak bangunan. Dan yang terakhir, bencana non-alam seperti pandemi Covid-19.
Tim siaga bencana
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Praptono menjelaskan, setiap satuan pendidikan harus membentuk tim siaga bencana. Tim ini akan menganalisis risiko bencana, menyusun perencanaan pencegahan, melatih siswa dan guru agar sadar bencana, hingga memasukkan materi dalam intra dan ekstrakurikuler.
”Saya sangat mendorong dinas pendidikan pemerintah daerah, khususnya di daerah dengan tingkat risiko bencana yang tinggi harus menyelenggarakan program SPAB dan diperkuat. Dengan begitu, risiko yang muncul misalnya adanya korban dan tingkat kerusakan bisa kita minimalkan,” kata Praptono.
Kemendikbudristek, kata Praptono, sudah membuat standar dan acuan bagi pendidik untuk membuat warga sekolah sadar bencana. Mulai dari buku modul jilid 1 sampai 3, peta jalan program SPAB, petunjuk teknis penerapan sekolah aman bencana yang inklusif, hingga buku, poster, gim dan lainnya yang bisa digunakan sebagai materi ajar di sekolah.