Kasus Penusukan di Australia dan Sulitnya Mencari Pasangan Romantis
Lebih dari 57 persen orang sulit membangun dan mempertahankan hubungan romantis. Itu membuat jumlah lajang terus naik.
Motif penikaman massal di sebuah pusat perbelanjaan di Sydney, Australia, Senin (15/4/2024), mulai terkuak. Pelaku penusukan tersebut, Joel Cauchi, diduga menyasar target perempuan. Selain karena sebagian besar korban adalah perempuan, pelaku yang menderita skizofrenia diduga mengalami frustrasi berkepanjangan terhadap perempuan.
Sebanyak lima dari enam korban tewas adalah perempuan, sedangkan mayoritas dari 12 korban luka juga perempuan. Polisi tengah menyelidiki apakah serangan tersebut memang menargetkan perempuan. Namun, sang ayah, Andrew Cauchi (76), tahu mengapa anaknya yang menderita skizofrenia itu menargetkan perempuan.
”Karena dia menginginkan seorang pacar dan dia tidak punya keterampilan sosial. Dia sangat frustrasi,” kata Andrew Cauchi di rumahnya di Toowoomba, Australia, seperti dikutip Kompas.id, 15 April 2024. Motif ini sekaligus membantah dugaan bahwa penyerangan ini terkait dengan ideologi tertentu.
Bagi sebagian orang, kesulitan mencari dan mempertahankan pasangan romantis mungkin terdengar aneh. Padahal, bagi mereka yang melajang secara tidak sengaja alias involuntary singlehood, mencari pacar atau suami atau istri itu benar-benar persoalan besar.
Baca juga: Asia dan Fenomena Lajang
Mereka bukannya tidak ingin mencari pasangan, kegagalan berulang dalam membangun relasi dengan orang baru benar-benar membuat mereka lelah dan frustrasi. Memulai menjalin kontak di aplikasi kencan, bertemu dan berkenalan, baik dilakukan sendiri maupun lewat perantara orang lain; membangun harapan baru dan mencari kecocokan, tetapi ujung-ujungnya putus di tengah jalan.
Dalam istilah pergaulan, tanpa bermaksud merendahkan, mereka sering disebut sebagai ”single karena nasib, bukan karena prinsip”. Karena itu, wajar jika mereka mengalami tekanan emosional yang lebih besar dalam menghadapi status mereka. Apalagi, di sejumlah negara, termasuk Indonesia, pandangan miring dan tekanan sosial terhadap kaum lajang sangatlah besar.
Studi Menelaois Apostolou dan rekan terhadap 7.181 responden di 14 negara, tidak ada Australia atau Indonesia, menemukan 57,5 persen orang kesulitan memulai atau mempertahankan hubungan romantis. Angka ini bervariasi antarnegara dengan yang terendah ada di China sebanyak 24,2 persen dan yang tertinggi ada di Jepang sebesar 79,3 persen, Brasil (74,4), dan Turki (70,2).
Namun, responden studi yang dipublikasikan di jurnal Evolutionary Psychology, Januari-Maret 2023, itu tidak semuanya lajang, ada juga yang menikah. Mereka yang bujang pun terbagi dalam tiga kelompok, yaitu 12,9 persen adalah para involuntary singlehood, 15,2 persen adalah orang yang secara sadar memilih hidup melajang (voluntary singlehood), dan 10 persen membujang karena baru selesai menjalin sebuah hubungan dan belum membangun hubungan romantis yang baru.
Jika hasil tersebut diuraikan lebih dalam, ditemukan 48,2 persen responden kesulitan untuk memulai sebuah hubungan romantis baru. Namun, sebanyak 38,4 persen mereka yang sudah menjalin hubungan romantis pun mengaku kesulitan mempertahankan hubungan tersebut. Artinya, menemukan calon pasangan jauh lebih sulit dibandingkan dengan mempertahankan relasi yang sudah ada.
Kemampuan evolusioner
Dari sudut pandang evolusi, keterampilan menjalin hubungan romantis atau menemukan pasangan kawin itu bersifat universal. Bagaimanapun, kelangsungan hidup spesies manusia sangat bergantung pada kinerja kawin (mating performance) manusia, yaitu kemampuan manusia untuk menemukan dan mengamankan pasangannya.
Keberhasilan nenek moyang kita menarik pasangan dan mendapat akses seksual membuat manusia saat ini menerima warisan genetika mereka. Para pendahulu kita yang memiliki keterampilan dalam menjaga hubungan serta mengembangkan pola pengasuhan bersama memiliki potensi lebih besar untuk menjaga keturunannya hingga dewasa dan mewariskan genetika mereka lebih lanjut.
Kemampuan seseorang untuk membangun dan mempertahankan hubungan romatis mereka sangat ditentukan oleh gaya kemelekatan mereka.
Kinerja kawin sebagai kemampuan evolusi itu tertanam dalam otak manusia dan diwariskan dari generasi ke generasi. Masalahnya, manusia modern hidup dengan cara berbeda seperti yang dijalani nenek moyangnya sehingga otak mereka pun beradaptasi. Dengan demikian, proses adaptasi yang dulu dilakukan nenek moyang dulu, termasuk soal kinerja kawin, mungkin tidak akan berhasil jika diterapkan pada manusia sekarang.
Kesulitan yang dialami manusia modern dalam mencari pasangan dan mempertahankan hubungan romantis itu diperkirakan mulai terjadi sejak Revolusi Industri dimulai.
Dalam sebagian besar proses evolusi manusia, bukti antropologis, sejarah, dan filogenetik menunjukkan bahwa keputusan kawin anak lebih banyak ditentukan orangtua melalui perjodohan. Selain itu, laki-laki cenderung menggunakan kekerasan untuk memonopoli akses terhadap perempuan. Meski demikian, masih ada ruang sempit bagi manusia di masa lalu untuk memilih pasangannya sendiri, baik lewat perkawinan berikutnya, perceraian, atau memiliki pasangan ekstra.
Situasi itu menjadi tidak kompatibel dengan kehidupan manusia modern yang memiliki kebebasan jauh lebih besar dalam memilih pasangan. Kapasitas otak mereka tidak mampu memenuhi tuntutan kebebasan dalam memilih pasangan sehingga memicu tingginya kasus lajang yang sulit mencari pasangan atau kinerja kawin yang buruk.
Manusia modern saat ini, menurut profesor psikologi sosial di Universitas Loyola, Maryland, Amerika Serikat, Theresa E DiDonato, seperti ditulis di Psychology Today, 15 Februari 2023, mengalami defisit kinerja kawin sehingga mereka masih melajang meski usia biologis reproduksi mereka hampir habis.
Kinerja kawin yang dimiliki setiap orang umumnya berubah seiring waktu. Orang muda cenderung memiliki kinerja kawin yang buruk, lebih sering gagal dalam menemukan pasangan dan mempertahankan hubungan romantis. Namun, seiring bertambahnya usia, manusia memiliki cara untuk menyesuaikan diri dengan dengan tantangan yang dihadapi.
Baca juga: Kelas Menengah Lajang dan Menikah di Ibu Kota. Adakah Perbedaan?
Seiring bertambahnya usia, manusia cenderung tidak mengajukan syarat yang ketat dalam memilih pasangan kawin. Beragam tuntutan yang sejatinya hanyalah pelengkap dalam mencari pasangan akan dikesampingkan dan lebih fokus pada tujuan utama dalam mencari pasangan dan kawin. Di sinilah, apa yang telah tertanam dari proses evolusi dan proses adaptasi manusia modern mencari pasangan kawin akan saling menyesuaikan.
Pemicu bujang
Studi Menelaos Apostolou dan Elli Michaelidou terhadap 1.432 orang berbahasa Yunani di Siprus yang diunggah di jurnal Personality and Individual Differences, Januari 2024, menemukan 17 prediktor yang diduga memicu sebagian bujang yang ingin mencari pasangan kesulitan mendapatkan pasangan.
Bagi lajang perempuan, kesulitan mereka mendapat pasangan umumnya disebabkan oleh buruknya kemampuan menggoda, fungsi seksual yang buruk, standar pilihan yang terlalu tinggi, dan rendahnya tingkat kecocokan. Adapun penyebab tidak langsungnya umumnya terkait dengan buruknya kemampuan mereka menggoda, yaitu besarnya rasa malu, kurang ramah, dan kesulitan memahami sinyal-sinyal ketertarikan romantis.
Sementara itu, pada lajang laki-laki, pemicu sulitnya mencari jodoh disebabkan oleh buruknya kemampuan menggoda dan neurotisisme tinggi yang membuat seseorang lebih mudah stres, cemas, tersinggung, merasa tidak aman, dan sangat dipengaruhi suasana hati. Penyebab melajang pada laki-laki juga dipicu oleh rendahnya kepercayaan diri, anggapan dirinya tidak menarik, dan tidak memiliki anak dari hubungan sebelumnya.
Adapun penyebab tidak langsung melajang pada laki-laki adalah rendahnya conscientiousness yang membuat seseorang cenderung bersikap impulsif, kurang terstruktur, dan sulit fokus pada tujuan. Pemicu lainnya adalah tingginya indeks massa tubuh atau kegendutan serta rendahnya penerimaan atas diri sendiri.
Dari studi tersebut, psikolog Kanada, Arash Emamzadeh, di Psychology Today, 2 Februari 2024, menilai faktor terbesar yang menyebabkan seseorang melajang meski menginginkan adanya pasangan adalah buruknya kemampuan mereka dalam menarik atau menggoda pasangan. Dampak persoalan ini cukup besar karena peningkatan kemampuan menggoda satu tingkat saja akan meningkatkan kemungkinan mendapatkan pasangan intim hingga tiga kali lebih besar.
Meski demikian, prediktor tersebut tidak bisa menjelaskan hubungan sebab akibat yang bisa menjelaskan mengapa sebagian orang pandai menggoda dan menarik pasangan, sedangkan yang lain justru kesulitan melakukannya.
Baca juga: Pernikahan Menjadi Beban dan Bukan Lagi Prioritas Orang Muda Indonesia
Namun, pengalaman terapi yang dilakukan Pusat Psikologi Terapan London (LCAP), lembaga psikologi di London, Inggris, menemukan bahwa kemampuan seseorang untuk membangun dan mempertahankan hubungan romantis mereka sangat ditentukan oleh gaya kemelekatan mereka saat membangun sebuah hubungan dan harapan mereka terhadap pasangan.
Orang dengan gaya kemelekatan yang aman akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan untuk dekat dan akrab pada orang lain dengan kebutuhan untuk mengambil risiko atas hubungan yang diinginkan. Saat mereka kesal atau disakiti, mereka mampu mengungkapkan kepada pasangannya. Individu dengan gaya keterikatan ini cenderung bisa memilih pasangan dan membangun relasi yang sehat.
Namun, individu dengan gaya kemelekatan penghindaran, kecemasan, dan tidak terorganisasi cenderung akan mengalami banyak tantangan dalam membangun dan mempertahankan hubungan.
Orang dengan gaya kemelekatan penghindaran cenderung memandang kebutuhannya akan keintiman bisa menjadi masalah bagi orang lain. Individu dengan tipe ini bukan hanya menghindari hubungan romantis sebisa mungkin, melainkan juga cenderung menarik diri saat muncul konflik, atau menjadi pemarah dan merasa benar sendiri.
Sementara itu, orang dengan gaya kemelekatan kecemasan cenderung senantiasa waswas dengan kekecewaan orang lain. Individu model ini cenderung sulit mengungkapkan perasannya karena fokusnya hanya untuk menyenangkan pasangannya saja. Orang tipe ini umumnya lebih mudah masuk ke hubungan romantis untuk memenuhi kebutuhan keterikatannya tanpa menimbang apakah pasangannya itu cocok untuk diri mereka atau tidak.
Sementara orang dengan gaya kemelekatan tidak terorganisasi lebih memandang pasangannya sebagai sumber keamanan dan ketakutan pada saat bersamaan. Orang tipe ini umumnya diasuh secara kasar dan menakutkan di masa kanak-kanak. Perilaku mereka cenderung kontradiktif. Mereka akan bergantung pada pasangan jika merasa aman. Namun, saat keintiman sudah terbina, mereka justru merasa terkekang.
Baca juga: Perempuan yang Menunggu
Oleh karena itu, sebelum menjalin hubungan, coba kenali kepribadian atau gaya kemelekatan yang dimiliki masing-masing individu. Dengan memahami karakter diri dan pasangan, setiap pasangan mampu mengantisipasi apa yang diperlukan agar mereka tetap merasa aman dan nyaman dalam sebuah hubungan serta merespons setiap hal yang menyakitkan dengan tepat.