Tim Khusus Kemenkes Akan Tangani Calon Dokter Spesialis Bergejala Depresi Berat
Kementerian Kesehatan membentuk tim untuk menangani peserta program pendidikan dokter spesialis dengan gejala depresi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Temuan adanya gejala depresi pada peserta program pendidikan dokter spesialis segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan. Tim khusus akan dibentuk untuk penanganan selanjutnya. Intervensi akan difokuskan pada peserta yang bergejala depresi berat.
Hasil penapisan yang dilakukan pada 21.121 peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 22,4 persen peserta mengalami gejala depresi. Sebanyak 0,6 persen mengalami gejala depresi berat, 1,5 persen dengan depresi sedang-berat, 4 persen depresi sedang, dan 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.
Dalam penapisan itu ditemukan pula sebanyak 3,3 persen PPDS atau 399 peserta merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun. Sebanyak 2,7 persen merasakannya dalam beberapa hari, 0,4 persen merasakannya lebih dari separuh waktu, dan 0,2 persen di antaranya merasa ingin mengakhiri hidup atau melukai diri sendiri hampir setiap hari.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya dihubungi di Jakarta, Selasa (16/4/2024), mengatakan, tindak lanjut atas hasil penapisan tersebut akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan membentuk tim khusus, Selain itu, metode terapi juga akan disiapkan sebagai intervensi yang akan diberikan.
”Kita akan fokus untuk yang depresi berat karena ini yang perlu diterapi segera. RSJ MM (Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi Bogor) sebagai Pusat Kesehatan Jiwa Nasional yang akan membentuk tim dan metode terapi yang akan dilakukan,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RSJ dr H Marzoeki Mahdi Bogor Nova Riyanti Yusuf menuturkan, penegakan diagnosis akan dilakukan terlebih dahulu terhadap hasil skrining peserta PPDS yang dilakukan melalui pengisian kuesioner Patient Health Questionnaire -9 (PHQ-9). Penegakan diagnosis akan dilakukan oleh psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa yang telah ditunjuk melalui tahap wawancara.
Penegakan diagnosis akan dilakukan terlebih dahulu terhadap hasil skrining peserta PPDS yang dilakukan melalui pengisian kuesioner Patient Health Questionnaire -9 (PHQ-9).
Ia memastikan, data dari para peserta PPDS akan terjamin kerahasiaannya. Data hasil penapisan tersebut tidak akan dikembalikan ke pusat pendidikan atau rumah sakit vertikal tempat peserta PPDS bertugas. Evaluasi pada rumah sakit vertikal dan fakultas kedokteran terkait akan dilakukan dengan melihat data keseluruhan, bukan data individu.
”Jadi dari hasil ini akan dilanjutkan dengan wawancara. Data tetap akan dimiliki kita (Kementerian Kesehatan) dan data mereka (peserta PPDS) akan dijaga privasinya. Direncanakan wawancara oleh psikiater untuk diagnosis awal akan dilakukan secara daring melalui telemedicine,” kata Nova.
Ia menambahkan, wawancara dilakukan secara daring agar tidak mengganggu proses pendidikan dari peserta PPDS. Meski begitu, diagnosis lebih lanjut dapat dilakukan secara tatap muka jika diperlukan. Hal itu termasuk pada peserta yang membutuhkan terapi dan pengobatan lebih lanjut.
Nova menuturkan, penanganan lebih lanjut akan difokuskan pada peserta yang diduga dengan gejala depresi berat, terlebih dengan kecenderungan untuk mengakhiri hidup. Pada kelompok tersebut penanganan dan pertolongan segera sangat diperlukan.
Namun, itu bukan berarti pada kelompok dengan gejala ringan dan sedang tidak mendapatkan perhatian. Koordinasi dengan rumah sakit jejaring lainnya akan dilakukan untuk mengevaluasi hasil penapisan tersebut. Saat ini terdapat tiga rumah sakit utama yang berada di bawah koordinasi RSJ dr H Marzoeki Bogor, yakni RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta, Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soerojo Magelang, dan Rumah Sakit Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Jawa Timur.
Dari hasil penapisan kesehatan jiwa pada peserta PPDS, ditunjukkan pula gejala depresi paling banyak dinyatakan oleh peserta PPDS yang sedang menjalani pendidikan spesialis ilmu kesehatan anak (14 persen), pendidikan spesialis ilmu penyakit dalam (12,9 persen), dan anestesiologi (9,1 persen). Selain itu, gejala depresi juga paling banyak dinyatakan pada peserta PPDS yang berasal dari RS Cipto Mangunkusumo (22,4 persen), RS Hasan Sadikin (12,9 persen), dan RS Sardjito (12 persen).
Perbaikan
Direktur Utama Moh Hoesin Palembang yang juga terlibat dalam tim untuk penapisan kesehatan jiwa peserta PPDS, Siti Khalimah, menuturkan, penapisan yang dilakukan melalui pengisian kuesioner PHQ-9 merupakan penapisan awal adanya gejala depresi, bukan sebagai diagnosis. Penapisan dengan skala besar di 28 rumah sakit vertikal ini baru pertama kali dilakukan sehingga evaluasi lebih lanjut masih diperlukan.
Menurut dia, penggunaan kuesioner PHQ-9 merupakan standar yang sudah sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam penapisan gejala depresi. Hasil penapisan tersebut kemudian bisa menjadi acuan untuk tindak lanjut berikutnya dalam diagnosis melalui wawancara dengan psikiater.
”Penapisan ini menjadi langkah awal yang baik untuk menemukan adanya gejala depresi. Dengan menemukan kondisi depresi sejak dini, kita bisa memberikan intervensi lebih awal. Depresi merupakan kondisi yang bisa terjadi pada siapa pun. Depresi juga bisa disembuhkan sampai remisi total,” kata Siti.
Itu sebabnya, adanya penapisan awal pada peserta PPDS perlu dilihat sebagai upaya yang baik dalam aspek kesehatan jiwa. Hal ini menunjukkan perhatian pemerintah terkait kesehatan jiwa sudah lebih baik.
Selama ini, stigma terkait kesehatan jiwa masih tinggi di masyarakat, bahkan di bidang kedokteran. Padahal jika dibiarkan, kondisi depresi bisa memburuk dan berakibat fatal. Sebaliknya, jika ditangani sejak dini, dapat diatasi dan disembuhkan.
Produktivitas dan kualitas dari sumber daya kesehatan, termasuk dokter spesialis pun bisa lebih baik. Stigma tersebut yang membuat orang dengan depresi atau gangguan kesehatan jiwa lainnya enggan untuk mendapatkan pertolongan.
Data Kementerian Kesehatan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada 2018 menunjukkan, prevalensi orang dengan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,18 persen atau sekitar 2 dari 1.000 orang. Prevalensi depresi pada kelompok usia di atas 15 tahun sebesar 6,1 persen.
Namun, dari sekitar 84,9 persen orang dengan gangguan jiwa berat, hanya 48,9 persen yang rutin berobat. Bahkan, pada kasus depresi hanya 9 persen yang menerima pengobatan.
”Penapisan (kesehatan jiwa) seperti ini bisa dilakukan pada semua bidang. Depresi bisa terjadi pada siapa saja. Khusus pada PPDS, ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebabnya. Perubahan yang dialami sangat mungkin menimbulkan depresi. Karena itu, harus disadari dan ditangani dengan baik,” ujar Siti.