Salam Tempel Lebaran, Momen Mengajari Anak Literasi Keuangan
Tradisi salam tempel momen positif mendidik anak soal uang. Orangtua jangan pakai kesempatan ini untuk meminta-minta.
Danik (14), siswi salah satu SMP swasta di Jakarta Selatan sudah menyiapkan cara apabila sanak saudaranya ingin memberi salam tempel ketika Lebaran, Rabu (10/4/2024). Sebuah kode reaksi cepat atau QRIS disiapkan dalam aplikasi pembayaran digitalnya untuk dipindai oleh keluarganya nanti.
Setelah QRIS-nya jadi, sekitar minggu kedua Ramadhan dia menyampaikan kepada om dan tantenya untuk menyiapkan uang untuk ditransfer melalui QRIS tersebut agar tidak repot. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk jajan dan keperluan sehari-hari.
"Sekarang kan semua kios maunya transfer QRIS. Enggak ada lagi yang terima uang tunai. Kalaupun ada, jarang yang ada duit kembalian. Makanya, nanti THR (tunjangan hari raya) ditransfer saja," kata Danik.
Baca juga: Apakah Cara Mengatur Keuangan Seseorang Dipengaruhi oleh Keluarga?
Menurut dia, praktik salam tempel digital ini lumrah di kalangan ia dan teman-teman sekolahnya. Bagi mereka, cara ini menghindari risiko "investasi bodong", yaitu ketika salam tempel berupa uang tunai harus disetor kepada orangtua. Setelah itu, anak tidak akan pernah melihat uang itu selamanya. Entah oleh orangtua memang ditabung untuk masa depan anak atau dipakai untuk berbelanja sayur.
Pernyataan gadis tersebut bisa dibilang mewakili perubahan pola penerimaan salam tempel di generasi muda sekarang yang melek digital sejak usia dini. Dulu, salam tempel diberi di dalam amplop berwarna-warni. Sekarang, salam tempel pun tidak ketinggalan menjadi komoditas daring.
Pemberian salam tempel, baik tunai maupun transfer, tetap merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak, bahkan mahasiswa tingkat akhir, setiap Lebaran. Tradisi ini apabila tidak dikelola dengan baik justru berisiko memunculkan mental negatif yang membuat anak gemar meminta-minta.
Momen pendidikan
Tradisi salam tempel memang tidak terlepas dari tradisi silaturahmi hari raya. Orang yang sudah berpenghasilan biasanya akan memberikan uang kepada anak-anak atau orang yang membutuhkan saat mereka bertemu dalam momen tersebut.
Ini momen orangtua mengajari anak untuk lebih menghargai uang. Harus ditanamkan juga bahwa mendapatkan sesuatu itu biasanya dengan perjuangan atau usaha
Baca juga: Cegah Terjerat Pinjaman Daring, Ratusan Pelajar SMA Ikuti Literasi Keuangan
Tradisi bagi-bagi uang atau salam tempel di hari lebaran telah ada sejak zaman pemerintahan Dinasti Fatimiyah (910-1171 Masehi) di Timur Tengah. Namun pada saat itu bukan hanya uang yang dibagikan, tapi juga bisa berupa kain, pakaian, permen, dan lainnya.
Barulah pada masa kekhalifahan Utsmaniyah atau Ottoman sekitar lima abad kemudian tradisi ini bergeser menjadi pemberian uang tunai karena lebih mudah. Namun, saat ini, tradisi yang menyebar sampai Indonesia ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, khususnya ketika melibatkan anak-anak.
Baca juga: Curi Start Mudik Naik Kereta Api demi Hindari Puncak Arus Mudik
Psikolog anak dari Fakultas Psikologi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang, Endang Widyorini menilai, memberikan salam tempel kepada anak tidak salah. Hal yang harus diperhatikan ialah perlu diberikan selipan edukasi tentang nilai dari uang dan nilai saling berbagi untuk sesama.
Anak harus diajari untuk mengelola uang hadiah hari rayanya selama Lebaran agar ia mulai belajar manajemen finansial. Pengajarannya bisa mengenai pemakaian salam tempel untuk membeli hal-hal yang diinginkan tanpa memboroskan uang tersebut. Jauh lebih baik lagi apabila uangnya ditabung untuk masa depan dengan tujuan yang lebih besar.
"Ini momen orangtua mengajari anak untuk lebih menghargai uang. Harus ditanamkan juga bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu biasanya harus dengan perjuangan atau usaha," kata Endang.
Baca juga: Siasati "FOMO" Tanpa Berutang
Bukan meminta
Salah satu contoh ialah yang dilakukan Ginza Putranto (32) seorang ibu di Bekasi, Jawa Barat yang memiliki anak berusia lima tahun. Ia sudah mengajarkan putri kesayangannya agar tidak meminta-minta THR ketika Lebaran. Dia membelikan celengan tanah liat untuk tempat menabung uang THR anaknya.
"Ini umur-umur dia sudah paham uang dan jajan. Jadi, mulai saya ajari untuk jangan meminta. Walaupun dikasih, saya ajak dia supaya uangnya untuk ditabung. Sebagian untuk jajan ramai-ramai bareng temannya juga," kata Ginza.
Walau begitu, Ginza juga tetap menukarkan uang dalam pecahan kecil untuk diberikan kepada sanak saudara atau tamu yang berkunjung ke rumahnya. Baginya, ini tetaplah tradisi yang membuat momen Lebaran menjadi lebih hangat.
Baca juga: Penularan Flu Singapura Intai Pemudik, Tetap Tenang dengan Pencegahan Berikut
Bukan untuk orangtua
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi menekankan bahwa hal terpenting adalah orangtua jangan pernah menyuruh anak untuk meminta-minta THR kepada sanak saudara atau tamu saat silaturahmi Lebaran. Apalagi jika orangtua memanfaatkan momen itu untuk mencari keuntungan pribadinya.
Berdasarkan pengalamannya mengamati tradisi salam tempel, Seto terkadang menemukan ada orangtua yang sengaja meminta THR terlebih dahulu kepada kolega atau anggota keluarga lainnya dengan alasan untuk anaknya. Anak-anak biasanya menuruti saja omongan orangtua mereka.
Merusak jiwa anak, membuatnya bermental pengemis, seolah-olah bangga ketika tangan di bawah, padahal seharusnya bangga itu ketika tangan di atas.
Baca juga: Agar Anak Tidak Terjerat "Investasi Bodong"
Ia menegaskan, mengajarkan anak untuk meminta-minta THR akan membentuk mental yang buruk bagi anak dan bisa berlanjut hingga dewasa. Dia akan merasa gampang mendapatkan sesuatu tanpa mengerti arti berusaha dan mandiri.
"Sama sekali tidak dibenarkan, itu merusak jiwa anak, membuatnya bermental pengemis, seolah-olah bangga ketika tangan di bawah, padahal seharusnya bangga itu ketika tangan di atas. Justru, saat lebaran nanti kita juga bisa mengajak anak memberi ke teman-teman kaum duafa dan yatim-piatu di panti asuhan," kata Seto.
Baca juga: Digelar Bersamaan dengan Ramadhan, Paskah Jadi Momen Perekat Solidaritas
Dalam perspektif Islam melalui salah satu hadis riwayat Ahmad 4/165 disebutkan bahwa barang siapa yang meminta-minta sedangkan ia berkecukupan, maka seakan-akan ia tengah memakan bara api. Sebab, Islam meyakini, pada dasarnya setiap orang diberikan potensi untuk hidup mandiri dan berusaha mencari kebutuhan hidup melalui akal dan pikiran yang dikaruniai Allah.
Para ulama sepakat bahwa perbuatan meminta-minta adalah haram, sebab orang yang meminta-minta sebenarnya meninggalkan kewajiban berikhtiar yang diperintahkan Allah, kecuali dalam keadaan terpaksa. Misalnya karena buta, lumpuh, sangat lemah, dan sebagainya, sehingga kalau tidak meminta-minta ia tidak dapat mempertahankan hidupnya.
Oleh sebab itu, tradisi salam tempel hendaknya menjadi pintu masuk mengajari anak mengenai penghargaan dan tanggung jawab keuangan. Target mereka selain memenuhi keperluan pribadi ialah agar memiliki kepedulian bahwa harta mereka juga bisa membantu mereka yang membutuhkan.
Baca juga: "Menabung" di Sekolah?