Film ”The Architecture of Love” menunjukkan bahwa trauma bisa diatasi dengan cinta asal kita berani membuka hati.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Jika ditanya apa elemen paling absurd di dunia, tak salah rasanya jika menjawab ”cinta”. Kalau tak bikin bungah, ya, cinta mendatangkan luka batin. Anehnya, cinta pula yang mampu menyembuhkan luka tersebut. Cinta memang aneh dan hanya pemberani yang mampu merengkuh keabsurdan cinta.
Raia Risjad boleh diacungi jempol dalam hal keberanian untuk mencintai. Tokoh utama perempuan dalam novel dan filmThe Architecture of Loveini tak ragu jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Perasaannya yang besar dirangkai menjadi kata, lantas diterbitkan menjadi buku yang kemudian populer dan dijadikan film.
Raia (diperankan Putri Marino) dibawa terbang oleh cinta dan pencapaiannya sebagai penulis. Tapi ia hanya terbang sebentar sebelum jatuh terjerembap.
Hilang sudah kemampuan Raia untuk menulis. Trauma menyumbat hati dan pikirannya. Ia kabur ke New York—yang disebut-sebut sebagai city of dreams—agar bisa kembali menulis. Siapa tahu ia bisa menemukan inspirasi di tengah dinamika hidup New Yorkers. Syukur-syukur jika hati Raia bisa ikutan pulih.
Rencana Raia ternyata kurang mulus saat dieksekusi. Pikirannya masih macet dan hatinya masih sakit. Namun, pertemuan dengan River (Nicholas Saputra) mengurai sedikit kepala Raia yang ruwet.
River yang seorang arsitek mengajak Raia mengenal New York lewat bangunan serta sejarahnya. Bangunan ibarat manusia yang punya jejak hidup di dunia. Jejak itu berisi bab-bab kehidupan yang punya musimnya sendiri-sendiri, sama seperti bangunan yang ada kalanya mengalami alih fungsi.
Pertemuan dengan River membuka keran inspirasi Raia. Hati Raia pun menghangat di tengah dinginnya udara New York. Dengan berani, Raia mengubur trauma dan membuka lagi hatinya untuk River. Tetapi, River sulit dipahami. Ia datang lalu pergi, senang lalu marah, dan tahu-tahu dingin.
Keberanian Raia membuat River merasa kecil. River belum seberani Raia. Masa lalu masih menghantui River dan luka batinnya masih menganga. Dalam kamusnya, cinta itu rumit dan bangunan lebih mudah dipahami.
Seperti bangunan
Sebaliknya, penulis novel The Architecture of Love, Ika Natassa, beranggapan bahwa cinta itu seperti bangunan. Cinta juga sederhana. Manusia saja yang membuatnya rumit. Bisa saja manusia yang justru tidak memberi ruang bagi cinta untuk tumbuh.
”Cinta itu seperti membangun bangunan. Butuh proses, butuh perencanaan, dan mesti dikerjakan brick by brick (bata demi bata). Ini enggak bisa dikerjakan sendiri dan mesti secara kolektif,” tutur Ika di Jakarta, Kamis (25/4/2024). Film ini tayang di bioskop per 30 April 2024.
Bila elemen bangunan diuraikan, fondasi mungkin adalah representasi dari kepercayaan. Kolom dan balok adalah keterbukaan dan kesetiaan, sementara atapnya adalah komitmen. Modal diperlukan untuk membangun semua ini. Tak salah jika modal diibaratkan sebagai keberanian untuk membuka hati pada orang yang baru.
Film The Architecture of Love yang diarahkan sutradara Teddy Soeriaatmadja merangkum ”pembangunan” cinta ini secara sederhana. Emosi dan misteri semua tokoh dibangun perlahan hingga akhirnya meletus. Ada letusan yang sudah bisa diprediksi, tapi ada pula yang membuat audiens kaget.
Cinta rumit yang dibalut secara ringan membuat film ini nyaman ditonton sambil santai. Ika menyebut ini sebagai comfort film. Kisah di film ini sedikit banyak menghibur mereka yang sedang mencari keberanian untuk mencintai, serta mereka yang percaya pada takdir.
Ada pesan yang jelas disampaikan lewat film produksi Starvision, Karuna Pictures, dan Legacy Pictures ini: cinta dapat menyembuhkan luka batin. Walakin, cinta tak digambarkan hanya sebagai adegan manis penuh kupu-kupu di perut.
Cinta diceritakan secara realistis, lengkap dengan ketakutan untuk membuka lembaran baru. Orang yang pernah sakit hati pasti pernah ingin jomblo selamanya saja daripada jatuh cinta lagi. Lain lagi ceritanya jika sakit hatinya bercampur trauma, rasa bersalah, dan beragam emosi negatif lain: kasusnya lebih parah.
Menurut Teddy, trauma bersifat universal karena pernah dialami banyak orang. Trauma pula yang menjadi benang merah film ini. Setiap tokoh memiliki traumanya masing-masing, diolah sendiri-sendiri, dan melahirkan hasil yang berbeda-beda pula.
Ada yang setelah dipukul trauma malah menjadi setegar batu karang, tapi ada pula yang layu seperti putri malu dan baru bisa mekar lagi setelah diberi waktu. Ada lagi yang babak belur dihajar trauma, lalu kabur tanpa menghadapi traumanya. Tokoh-tokoh ini adalah representasi respons manusia terhadap trauma di dunia nyata.
Ketakutan, keraguan, harapan, dan rasa bungah karena cinta ini disampaikan dengan tenang. Mungkin ini adalah representasi kematangan emosi manusia. Kebetulan juga film ini mengangkat romansa pasangan dewasa. Dinamika manusia dewasa ini membuat audiens sedikit banyak belajar mengolah rasa dan menyampaikannya secara tepat, tidak berlebihan.
”Otentisitas para karakter dalam deliver emosi dijaga karena ibarat kelebihan gula, kalau kebanyakan jadi enggak enak. Intinya bagaimana agar komunikasi trauma ini membuat audiens relate,” ucap Teddy.
The Architecture of Love pada akhirnya mengajak audiens untuk menengok traumanya kembali. Sudahkah trauma itu diselesaikan? Apa rencana Anda untuk hidup berdampingan dengan trauma? Dan, yang terpenting, apa Anda berani menghadapi dan menyelesaikan trauma?