Dongeng tentang Kecantikan Indonesia
Dongeng tentang Indonesia menggema dalam Hong Kong Filmart. Mereka daya tarik Indonesia bagi dunia.
Penguasa pasar adalah para pendongeng ulung. Mereka mendapat tempat di hati lantaran mahir dalam menarasikan atau mendongengkan setiap jengkal komoditas yang mereka jual. Di Hong Kong Filmart, lini sineas berjuang mendongeng tentang daya tarik Indonesia. Mereka meyakinkan bahwa dongeng itu milik semua orang sehingga orang lain silakan ke Indonesia.
Celerina Judisari, Chief Executive Officer (CEO) Mahaka Pictures, berdiri begitu moderator Linda Gizali menyilakan dia untuk presentasi dalam diskusi panel di Hong Kong Filmart bertajuk Capturing Wonderful Indonesia: Film Locations and Production Assets, Rabu (13/3/2024). Forum ini bagian dari Hong Kong Filmart yang digelar oleh Hong Kong Trade Development Council (HKTDC). Ayie adalah salah satu dari sekitar 30 delegasi yang dibiayai Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi.
Ayie, begitu Celerina Judisari disapa, berapi-api menjelaskan sisi-sisi menarik Indonesia, terutama Jakarta, untuk lokasi shooting film. Di luar ratusan gedung pencakar langit, belasan tol, dan ribuan ruang terbuka, Ayie menjelaskan bahwa Jakarta mempunyai kawasan suburban yang tak kalah menarik untuk dijadikan lokasi film. Film kriminal atau laga, misalnya.
Baca juga: Festival Memperpanjang Usia Perfilman
Audiens yang sebagian adalah pelaku rumah produksi dan sineas itu terpaku menyimak paparan Ayie. Apalagi saat di menjelaskan tentang keelokan Kepulauan Seribu. ”Ini Pulau Kelor. Terdapat bangunan peninggalan VOC. Sangat bagus untuk shooting film,” ujarnya saat gambar Pulau Kelor memenuhi big screen. Tampilan berlanjut ke beberapa film yang menggunakan Jakarta sebagai lokasi shooting seperti The Philosophers (2013), Blackhat (2015), Monkey Man (2024). Dia lalu beralih ke daerah-daerah lain yang tak kalah menarik. Pendek kata, Ayie menegaskan, banyak sekali tempat menarik di Indonesia yang layak dijadikan lokasi shooting film. ”Datanglah dan kami siap membantu,” katanya memungkasi dongengnya.
Dongeng di sini bukan omong kosong, melainkan narasi tentang daya tarik Indonesia. Sebab, yang dipaparkan Ayie benar belaka. Nah, paparan tentang lokasi film adalah satu hal dari banyak strategi para pendongeng ini untuk mengenalkan Indonesia lebih jauh. Ibarat film, paparan Ayie baru adegan pembuka. Shierly Kosasih, COO Adhya Pictures, lalu menyambung dengan paparan film-film yang dia garap.
Film-film itu secara khusus mengambil latar tradisi dan lokasi yang belum banyak diketahui publik, termasuk oleh orang Indonesia. Salah satunya adalah film Tulang Belulang Tulang dengan latar tempat Danau Toba. Film ini memperkenalkan tradisi mangongkal holi, yakni upacara menggali tulang-belulang leluhur untuk dipindahkan ke tempat yang lebih baik atau lebih dekat dengan keluarga. Tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga silsilah, serta menunjukkan kelas sosial keluarga tertentu. Tradisi ini juga mengandung arti penguatan identitas budaya. Nilai-nilai universal seperti keramahtamahan, kesopanan, penghormatan kepada leluhur, kekeluargaan, dan cinta kasih tersirat dalam bungkus mangongkal holi. Dengan kata lain, film ini ingin mengatakan bahwa tradisi yang amat lokal itu bisa berlaku global. Di situlah wajah Indonesia mewujud.
Baca juga: Perfilman Indonesia Butuh Banyak Perbaikan
Dari sisi lokasi, Tulang Belulang Tulang shooting di empat lokasi Danau Toba, yakni Bukit Beta di Kecamatan Tuk-tuk Siadong, Kabupaten Samosir; Sipira di Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir; Tipang Mas di Kabupaten Humbang Hasundutan; dan Tulas Kecamatan Sinajur Mula-mula, Kabupaten Samosir. Lokasi itu menjanjikan keindahan Danau Toba dari beberapa lokasi.
Film ini shooting di Danau Toba selama 24 hari. ”Buat saya itu discover Indonesia. Ternyata Danau Toba secantik dan segede itu, udaranya seenaknya itu. Penduduk, yang dikira kasar dan begitu sampai sana, ramah-ramah sekali. Inang dan ito-ito suaranya aja yang kenceng, mereka ramah,” kata Shierly berbagi pengalaman.
Mengalami Indonesia, itu pula yang ingin dia bagi kepada penonton lewat film Tulang Belulang Tulang.
Sisi lain
Dari Danau Toba di Sumatera Utara, Shierly kemudian terbang ke Bali. Di sini dia menggali sudut-sudut lain di luar persepsi orang terhadap Bali yang biasanya berasosiasi dengan tari kecak, selancar, pantai, dan pura. Lewat film Forza, yang berkisah tentang seorang bocah pencinta sepak bola, Shierly mengenalkan kawasan kumuh Denpasar, kemegahan Stadion Kapten I Wayan Dipta, yang jadi pusat latihan Bali United, sampai upacara melasti.
Forza seperti menjadi pelurus persepsi banyak orang tentang Bali. Wajah Indonesia dalam film ini tampil dalam perspektif lain sehingga penonton bisa melihat lebih utuh tentang Bali. Dengan demikian, muncul persepsi yang lebih utuh juga tentang Indonesia.
Di luar itu, Indonesia dikenal juga karena film-film horornya. Beberapa film horor Indonesia laku di luar negeri, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, bahkan China.
Managing Director dari perusahaan produksi dan distribusi film di Malaysia, Suraya Filem, Shures R, mengungkapkan, film-film horor Indonesia laris karena ceritanya nyambung dengan orang-orang Malaysia. Suraya Filem telah mendistribusikan ratusan film horor, antara lain, Iblis dalam Darah, Pengabdi Setan, Perjanjian Gaib, dan Makmum.
Lantas apa yang hendak dikenalkan tentang Indonesia lewat film horor? Banyak film horor Indonesia digarap berdasarkan folklore, urban legend, mitos, atau tradisi lokal. Lewat semuanya itu, nilai-nilai Indonesia tersublimasi lewat film sehingga penonton yang menyimak dengan baik akan tahu sedikit banyak tentang Indonesia.
Dalam bahasa lain, CFO dan Produser Magma Entertainment Linda Gozali menggambarkan bahwa film horor tidak hanya bercerita tentang kengerian. Nilai-nilai Indonesia digambarkan dengan berbagai cara, baik secara sublimatif maupun terang-terangan. Tradisi meruwat anak, misalnya, ritualnya berbeda antara masyarakat Bali, Jawa, Kalimantan, maupun Sumatera. Tatkala difilmkan, penonton akan mengetahui kemajemukan dalam satu bingkai nilai yang sama, yakni meruwat anak.
Horor juga bisa dilihat sebagai subkultur, yakni serpihan wajah lain dari narasi besar tentang Indonesia. ”Dari film horor, penonton bisa lebih mengenal Indonesia,” kata Linda yang antara lain memproduseri film Qodrat dan Qodrat 2 ini.
Secara lebih sublim, Sineas Mandy Marahimin memilih cara mengenalkan Indonesia tidak lewat keindahan alam atau eksotisme tradisi meskipun hal itu juga tidak ada salahnya. Dia cenderung mengenalkan Indonesia lewat cara bercerita sebagai orang Indonesia. ”Ketika ngomongin film atau produk budaya, walau filmnya tidak ada budaya lokal, tetap yang bikin orang Indonesia, maka keindonesiaan tetap ada di sana,” kata Sutradara film Crocodile Tears ini.
Baca juga: Asa Mendobrak Festival Film Dunia
Perspektif atau cara ungkap sineas Indonesia, apa pun filmnya, sudah mewakili sedikit banyak nilai-nilai Indonesia. Sebab, cara ungkap dan perspektif tersebut tidak bisa begitu saja ditukargantikan oleh orang lain. Kegelisahan, impian, angan-angan sebagai orang Indonesia, secara genuine muncul dalam film-film yang mereka buat.
Cara ungkap tersebut amat penting untuk digaungkan di dalam festival atau forum-forum internasional agar Indonesia makin dikenal. Cara lainnya tentu saja dengan kerja bareng dengan negara lain.
P Jayakumar, CEO sebuah perusahaan hiburan di India, Toonz Media Group, menyadari, banyak sekali dongeng dan cerita luar biasa dari India, Thailand, Indonesia, China, dan negara-negara lain di Asia. Sayangnya, sebagian besar cerita itu hanya dikenal di negara masing-masing. Jarang orang luar mengetahui cerita yang hidup di sebuah negeri lain.
Ungkapan Jayakumar mengandung arti bahwa sudah waktunya setiap negeri mengenalkan cerita, identitas, kebiasaan, dan bahkan teritorialnya kepada negeri lain seperti pancingan Ayie dan Shierly di atas. Setidaknya, sutradara Roopak Gogoi dari Shyam Productionz, India, tertarik untuk membuat film di Indonesia. Dia sudah ada di Surabaya dan akan mendatangi beberapa tempat di Indonesia untuk shooting film. ”Prinsipnya, kami siap bantu, termasuk pengurusan izin dan akomodasi,” kata Ayie.
Baca juga: Angin Segar untuk Film Indonesia
Ketika panitia Paviliun Indonesia yang juga pegiat Jakarta Film Week (JFW) tengah berbincang, datang seorang perempuan berbaju biru tersenyum ramah sembari mengenalkan diri sebagai Tomoko Nishizaki, Komisioner Film pada Komisi Film Hiroshima. Dia mengatakan tertarik dengan film-film Indonesia, terutama film feature panjang. ”Tolong pilihkan satu untuk bisa saya ikutkan dalam Hiroshima Film Festival,” katanya.
Direktur Festival JFW Rina Damayanti beserta rekannya, Ridla An-Nuur, kemudian mengajaknya berbincang lebih jauh tentang film Indonesia. Mereka kemudian terlibat perbincangan hangat, masuk juga ke dalam dongeng kecantikan Indonesia.
Dongeng tentang kecantikan Indonesia tidak bisa hanya disampaikan secara verbal. Keikutsertaan Indonesia dengan mendirikan Paviliun Indonesia di Hong Kong Filmart merupakan langkah strategis. Ayie, Shierley, Rina, Ridla, dan para sineas lain tengah berupaya mendongeng dengan banyak cara untuk merebut hati pasar.