Utopia Demokrasi Agama
Dari perspektif keagamaan, Pemilu 2024 adalah salah satu pesta demokrasi yang paling pragmatis, kapitalistis, ”sekuler”.
Perhelatan demokrasi elektoral lima tahunan baru saja usai. Niscaya ada banyak catatan evaluatif menyangkut akuntabilitas proses dan legitimasi penetapan hasil akhir yang tak lepas dari kontroversi.
Namun, berbagai kontroversi tersebut kiranya dapat diselesaikan secara elegan, bermartabat, dan konstitusional melalui jalur hukum (baca: Mahkamah Konstitusi/MK). Apa pun yang diputuskan oleh MK harus diterima sebagai putusan terbaik yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Salah satu catatan penting dari perhelatan Pemilu 2024 adalah lemahnya legitimasi etik-moral. Selain itu, praktik politik uang menjadi lubang hitam demokrasi kita yang paling parah.
Dari perspektif keagamaan, Pemilu 2024 adalah salah satu pesta demokrasi yang paling pragmatis, kapitalistis, sekaligus ”sekuler”. Betapa tidak! Dengan berbagai fenomena deprivasi dan anomali politik yang dipertontonkan secara telanjang oleh banyak pihak, kita sulit menjustifikasi aspek mana dari penyelenggaraan pemilu yang merepresentasikan penerapan nilai-nilai ajaran agama yang dianut bangsa ini.
Baca juga: Politik Bunglon, Tidak Ada Musuh Abadi
Sebagai bangsa yang sering mengklaim diri sebagai paling agamis di dunia, rasanya sulit menarik benang merah antara aspek normativitas ajaran agama dan pemilu yang kita selenggarakan. Tentu saja agamis tidaknya sebuah perhelatan politik tidak bisa dilihat dari kacamata simbolisnya saja.
Ada banyak aspek dari ajaran agama yang secara substantif dapat diatribusikan untuk melihat dan menakar keterwakilan nilai-nilai agama (seperti akuntabilitas, integritas, dan tata kelola) dalam sebuah perhelatan politik bangsa.
Menunggu Godot
Pada awal pergantian milenium, kita sebenarnya telah dibuai oleh sebuah prediksi teoretis yang cukup prospektif tentang kemunculan demokrasi (berbasis) agama. Adalah Vali Nasr, seorang profesor di Johns Hopkins School of Advanced International Studies, AS, yang membuat pernyataan mengejutkan bahwa apa yang dia sebut sebagai ”Muslim Democracy” sedang terjadi.
Melalui artikelnya yang cukup menggugah, ”The Rise of Muslim Democracy” yang dimuat di sebuah jurnal bergengsi, Journal of Democracy (2005), dia menegaskan bahwa entitas Demokrasi Muslim akan lahir bukan dari rahim kaum intelektual Muslim, melainkan dari politisi Muslim, seperti Recep Tayyip Erdogan (Turki), Nawaz Sharif (Pakistan), serta Anwar Ibrahim dan Mahatir Mohamad (Malaysia).
Dalam artikel tersebut, Nasr secara khusus juga menyoroti perkembangan Demokrasi Muslim di Indonesia. Menurut dia, entitas Demokrasi Muslim di negeri ini tidak bekerja di atas sebuah platform politik yang mapan. Ia lebih merupakan sebuah ruang dialektis ketika sejumlah parpol berjuang memenangi keseimbangan antara politik sekuler dan nilai-nilai Muslim (Ibid, 17).
Selanjutnya, kompetisi elektoral yang digelar secara reguler akan menekan parpol berbasis agama ke arah pragmatisme dan mendorong parpol non-agama untuk merepresentasikan kepentingan kaum Muslim. Efek dari kontestasi elektoral semacam ini adalah bagaimana setiap parpol memenangi ceruk tengah elektoral atau pemilih median (Ibid, 19).
Meski demikian, sejak dilontarkan hampir dua dekade lalu, apa yang diprediksi Vali Nasr itu tak kunjung tiba.
Salah satu catatan penting dari perhelatan Pemilu 2024 adalah lemahnya legitimasi etik-moral.
Gelombang ketiga demokratisasi dan fenomena ”Musim Semi Arab” (Arab Spring) yang menyapu mayoritas negara Muslim tidak menunjukkan gejala ke arah terciptanya Demokrasi Muslim. Yang terjadi justru sebaliknya: terjadi resesi, regresi, dan dekonsolidasi demokrasi, bukan saja di negara-negara Muslim, melainkan juga terjadi secara global. Kondisi semacam ini diafirmasi oleh Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa demokrasi sedang berada di titik terendah sejak 2006 (The State of Global Democracy, 2022).
Muramnya gambar demokrasi global telah menjadi pusat perhatian banyak ilmuwan. Rizal Sukma telah mengulasnya dengan sangat gamblang (”Kemunduran Demokrasi”, Kompas, 22/12/2023). Di skala regional, fenomena dekonsolidasi demokrasi di tiga negara Asia Tenggara (Indonesia, Filipina, Thailand) juga telah menjadi fokus amatan Marcus Mietzner (Democratic Deconsolidation in Southeast Asia, 2021).
Menurut dia, munculnya dekonsolidasi di ketiga negara tersebut memiliki kemiripan dalam hal menguatnya politik klientilisme (patron-client politics), populisme dan oligarki politik, kesejahteraan ekonomi yang tidak merata, dan kelas menengah ambisius yang cenderung memilih jalan nondemokratis untuk mengamankan cengkeraman kepentingan materialnya.
Dalam waktu hampir bersamaan, gerakan masyarakat sipil yang diharapkan mampu mengakselerasi proses konsolidasi demokrasi justru cenderung larut dalam langgam politik kartel dan cengkeraman politik oligarki yang menggurita. Gerakan masyarakat sipil (terutama berbasis platform keagamaan) tak menunjukkan komitmen yang lebih progresif ketimbang politisi Muslim dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi.
Sebagai akibatnya, menunggu terwujudnya Demokrasi Muslim sebagaimana prediksi Vali Nasr ibarat menunggu Godot: tidak akan pernah terwujud!
Melihat kecenderungan dekonsolidasi demokrasi di segala lini, tampak jelas bahwa bangsa ini lebih tertarik dengan dimensi ekonomi-politik demokrasi sebagai pertarungan meraih sumber daya.
Tidak ada ruang tersisa bagi eksperimentasi dan internalisasi normativitas ajaran agama dalam memperkuat basis substansial demokrasi, seperti akuntabilitas, integritas, tata kelola, dan semacamnya. Anehnya, nalar ekonomi-politik demokrasi yang demikian berhasil mengerdilkan aktualisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam kondisi semacam ini, kepada siapa lagi bangsa ini akan bersandar untuk mengakselerasi konsolidasi demokrasi?
Baca juga: Kemunduran Demokrasi
Infrastruktur nilai
Sepuluh tahun lalu ketika hendak mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan M Jusuf Kalla (2014), Presiden Joko Widodo sebenarnya menggebrak kesadaran politik bangsa melalui jargon kampanyenya yang sangat melegenda: gerakan Revolusi Mental. Gagasan ini, diakui atau tidak, berhasil memenangi hati dan pikiran rakyat hingga keduanya terpilih memimpin untuk periode 2014-2019.
Bahkan, Jokowi terpilih kembali menjadi presiden RI untuk periode berikutnya, 2019-2024. Segera setelah presiden dilantik, semua kementerian dan lembaga sibuk menerjemahkan gerakan Revolusi Mental ke dalam program kerja yang lebih operasional, terstruktur, dan sistemik.
Jika yang dimaksudkan sebagai gerakan Revolusi Mental adalah pengarusutamaan nilai-nilai keagamaan seperti tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance), akuntabilitas dan integritas politik, tentu saja gerakan ini sangat sejalan dengan konsep demokrasi (berbasis) agama sebagaimana prediksi Nasr di atas.
Sayangnya, gerakan Revolusi Mental dimaksud tenggelam oleh dominasi pembangunan infrastruktur fisik (dan infrastruktur kekuasaan!). Akibatnya, demokrasi kita berada dalam cengkeraman nalar ekonomi-politik yang lebih pragmatis dan industrialistis itu.
Persoalan paling mendasar penerapan demokrasi di negeri ini, menurut Edward Aspinall dan Ward Berenschot (Democracy For Sale, 2019), adalah ketidakmampuan negeri ini mengurai isu-isu struktural di politik, seperti korupsi, politik uang, kualitas pelayanan publik yang rendah, ketimpangan sosial, dan distribusi pembangunan yang tak merata.
Di sisi lain, normativitas ajaran agama hanya berhenti di tataran ujaran lisan dan tulisan. Begitu hendak diobyektivikasi ke dalam aksi nyata, para elite pun segera berhadapan dengan tembok besar nalar ekonomi-politik demokrasi. Terlalu sulit bagi kita menghindar dari sergapan politik standar ganda dalam penerapan demokrasi (berbasis) agama.
Untuk mencegah terjadinya dekonsolidasi dan regresi demokrasi, penguatan infrastruktur nilai-nilai demokrasi menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa ini. Pembangunan infrastruktur fisik selama satu dasawarsa terakhir harus diimbangi dengan pengembangan infrastruktur nilai (value infrastructure).
Saatnya parpol beserta elite politik bangsa ini, yang disebut oleh Nasr sebagai ”bidan” kelahiran demokrasi berbasis agama, harus dibantu oleh semua elemen bangsa—para akademisi, pegiat masyarakat sipil, dan tokoh agamawan—dalam merumuskan peta jalan untuk membangun infrastruktur nilai dimaksud ke dalam langkah-langkah operasional yang lebih konkret dan terukur.
Jika langkah semacam ini dilakukan secara simultan, bukan tidak mungkin lahirnya ”bayi” demokrasi (berbasis) agama bukan sekadar utopia belaka!
Masdar Hilmy, Guru Besar, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Dewan Penasihat ISNU Jawa Timur