Pembangunan Papua, Konflik, dan Kekerasan
Pembangunan Papua yang dilaksanakan di era otonomi khusus masih kental berbalut konflik dan kekerasan.
Pembangunan Papua yang dilaksanakan di era otonomi khusus masih kental berbalut konflik dan kekerasan. Pendekatan keamanan masih lebih dominan dibandingkan pendekatan kesejahteraan. Padahal, pemerintah telah merevisi UU Otonomi Khusus, yakni UU No 21/2001 juncto UU No 2/2021), dengan paket peraturan pelaksanaannya.
Peraturan pelaksanaannya meliputi PP No 106/2022 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua dan PP No 107/2022 tentang Pengelolaan Dana Otsus dan Rencana Induk Papua, serta Perpres No 121/2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dan Perpres No 24/2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan (Renduk) Papua.
UU Otsus Papua merupakan rekonsiliasi dan solusi saling menguntungkan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah Papua secara komprehensif, adil, dan bermartabat. Namun, setelah berlangsung 20 tahun (hingga 2021) dan telah dilakukan perubahan (UU No 2/2021), belum terlihat keseriusan di pihak pemerintah untuk mengakhiri konflik dan kekerasan di Papua.
Baca juga: Kekerasan, Perang Informasi, dan Kerentanan Warga Sipil Papua
Yang terjadi, konflik dan kekerasan bukannya mereda, melainkan malah kian tinggi intensitas dan eskalasinya. Apalagi dengan dikembalikannya sebutan atau cap OPM (Organisasi Papua Merdeka), yang dinilai justru akan melegalkan dan melegitimasi tindakan represif dengan berbagai sandi operasi keamanan. Tak tertutup kemungkinan terulang daerah operasi militer di wilayah konflik.
Tak serius
Sebenarnya perubahan UU Otsus dan berbagai peraturan pelaksanaannya, termasuk Renduk Pembangunan Papua dan BP3OKP, mengisyaratkan pendekatan kesejahteraan lebih diprioritaskan dan segera diimplementasikan karena eksistensi UU tak lagi dirongrong oleh Jakarta.
Namun, realitasnya sejak 2022, berbagai kendala internal birokrasi di pusat turut memengaruhi implementasi dari peraturan pelaksanaannya, termasuk BP3OKP, yang belum menunjukkan kiprah di lapangan.
Padahal, sesuai Renduk Papua (2021-2041), secara eksplisit telah tercantum program percepatan menuju peningkatan kesejahteraan Papua melalui Papua Sehat (kesehatan), Papua Pintar (pendidikan), dan Papua Produktif (ekonomi rakyat).
Program itu didanai dengan Dana Otsus (2,25 persen) yang diturunkan ke kabupaten/kota (1,25 persen) dan provinsi (1 persen) serta dukungan dari program kementerian/lembaga yang mendukung penyelenggaraan program prioritas otsus.
BP3OKP pun belum melakukan tugas, fungsi, dan perannya di lapangan untuk sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi terpadu (SHEK). Adapun Dana Otsus telah digelontorkan ke seluruh Tanah Papua pada tahun anggaran (TA) 2022-2024. Siapa yang mesti mengawal dan mengawasi pelaksanaannya?
Dari berbagai kondisi internal kesiapan birokrasi di pusat hingga ke daerah, belum adanya pelaksanaan riil di lapangan menunjukkan adanya kesan kita tidak ikhlas dan serius mendorong percepatan pembangunan Papua. Jangan sampai ini justru menimbulkan situasi kontraproduktif di lapangan.
Bayangkan saja, perubahan UU Otsus (UU No 2/2021) dan Dana Otsus TA 2022-2024 telah berjalan tiga tahun tanpa adanya pemonitoran, pengawasan, evaluasi, dan koordinasi terpadu di lapangan.
Tujuannya mulia, tetapi terkendala dengan kesiapan birokrasi internal dan kesibukan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) provinsi-provinsi di Papua. Menurut penulis, BP3OKP telah kehilangan momentum, bahkan menimbulkan tanda tanya di masyarakat: seriuskah pemerintah hendak mempercepat pembangunan untuk kitorang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, ataukah akan mengulangi kesalahan masa lalu?
Memang tak gampang membangun Papua dengan komitmen dan kebijakan pemerintah lewat pendekatan kesejahteraan.
Masyarakat tak menuntut muluk-muluk, yang penting hari ini mereka bisa bekerja, ada pendapatan, anak sekolah dengan baik, dan masyarakat sehat dan produktif mengelola potensi sumber daya yang ada sehingga ada penghasilan. Dengan demikian, masyarakat memiliki kekuatan ekonomi bagi pribadi dan keluarganya.
Badan percepatan pembangunan Papua ini jangan sampai mengulangi kesalahan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang lalu. Berbeda dengan UP4B, kelebihannya adalah telah dilegalkan di UU Otsus. Kerja di lapangan mestinya lebih baik dari UP4B.
Ada juga pertanyaan dari kelompok kritis tentang keberadaan badan yang diharapkan tidak hanya fokus pada percepatan pembangunan, tetapi juga percepatan penyelesaian konflik dan kekerasan ini.
Tak mungkin pembangunan dilaksanakan dalam situasi intensitas dan eskalasi konflik serta kekerasan yang tinggi. Dalam deskripsi kerjanya, badan ini hanya berstatus mengarahkan dan melakukan SHEK, tak menyentuh persoalan politik, atau pendekatannya prosperity.
Baca juga: Sepanjang 2023, 79 Orang Tewas akibat Konflik di Papua
Keberadaannya adalah sebagai agen pemerintah pusat. Apalagi ketuanya Wakil Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, dengan anggotanya tiga orang menteri (Mendagri, Menkeu, dan Menteri PPN/Bappenas) dan enam orang Papua yang mewakili provinsi masing-masing. Semestinya mereka dapat menangkap realitas di lapangan untuk diagregasikan dan diartikulasikan kepada pucuk pimpinan negara, agar dapat mendorong adanya proses dialog penyelesaian konflik dan kekerasan.
Ada pendapat di sebagian kalangan yang menyatakan bahwa konflik dan kekerasan hanya terjadi di beberapa wilayah tertentu, terutama di kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah. Opini seperti itu, menurut pendapat penulis, keliru. Jika dianalogikan tubuh manusia, ada organ tubuh yang terluka atau mengalami kesakitan, tentu akan memengaruhi seluruh anatomi tubuh manusia.
Pada konteks itu, konflik dan kekerasan, meskipun terjadi di beberapa daerah, demamnya akan berpengaruh dan terasa pada seluruh pembangunan di Papua meski kadar dan intensitasnya berbeda.
Basis historis
Konflik dan kekerasan yang dialami masyarakat Papua berbasis pada argumentasi. Pertama, ini tidak hanya terjadi satu dekade terakhir, tetapi justru sejak integrasi Papua (1963-1969) ke NKRI.
Kedua, sebagian masyarakat Papua telah tiba pada kesimpulan bahwa pemerintah tak memiliki political will dan goodwill untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan sehingga masih menggunakan pendekatan keamanan. Bahkan, masyarakat secara psiko-politis telah apatis, acuh tak acuh, kecewa, frustrasi terhadap situasi ini, terutama di daerah yang dilanda konflik dan kekerasan.
Ketiga, konflik dan kekerasan yang berlangsung 61 tahun (sejak 1963) telah menimbulkan apa yang disebut Manuel Kaisiepo, trauma yang sangat menakutkan. Jadi, tak elok untuk menyimplikasi persoalan.
Keempat, konflik dan kekerasan di Papua kemunculannya justru tak terlepas dari proses awal kehidupan berbangsa dan bernegara yang tak tuntas di Papua. Jika ditelusuri, akar konflik dan kekerasan di Papua memiliki basis historis politis sejak perdebatan di BPUPKI pada awal persiapan kemerdekaan RI. Basis historis itu ialah perdebatan antara Bung Hatta vs Moh Yamin dan Soekarno pada Juni-Juli 1945, tentang batas wilayah negara Indonesia merdeka yang akan diproklamasikan (Risalah Sidang BPUPKI, Richard Chauvel dan Ikrar Nusabhakti, 2004).
Memang tak gampang membangun Papua dengan komitmen dan kebijakan pemerintah lewat pendekatan kesejahteraan. Mesti disadari pembangunan Papua berbeda dengan membangun orang Papua.
Dibutuhkan akselerasi pembangunan di satu pihak, tapi di lain pihak pada saat yang bersamaan dituntut pula upaya-upaya dan tindakan konkret guna melepaskan Papua dari balutan konflik dan kekerasan. Ini menjadi syarat mutlak agar percepatan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat asli Papua dapat diwujudkan setelah 20 tahun, atau pada 2041.
Frans Maniagasi, Pengamat Politik Lokal Papua