Internal KPK Bermasalah Lagi, Nurul Ghufron Berkomunikasi dengan Kementan
›
Internal KPK Bermasalah Lagi, ...
Iklan
Internal KPK Bermasalah Lagi, Nurul Ghufron Berkomunikasi dengan Kementan
Nurul Ghufron akan disidang etik pada 2 Mei 2024. Dewas KPK sudah mengantongi bukti untuk menyidangkan kasus Ghufron.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Internal Komisi Pemberantasan Korupsi kembali bermasalah, bahkan terjadi polemik. Setelah pegawainya tersangkut kasus dugaan pemerasan terhadap tahanan KPK, kali ini Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron harus berhadapan dengan Dewan Pengawas KPK. Pasalnya, Ghufron berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk memindahkan salah satu pegawainya di kantor pusat ke Malang, Jawa Timur.
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengatakan, Ghufron akan disidang etik pada Kamis (2/5/2024). Albertina menjelaskan, Dewas sudah mendapatkan bukti yang cukup terkait perkara ini untuk dilanjutkan ke sidang. Ghufron diduga berkomunikasi dengan pejabat di Kementan.
”Yang kami klarifikasi sekitar 10 orang. Dari internal kami, dari Kementerian Pertanian, dari pihak luar,” kata Albertina di Jakarta, Jumat (26/4/2024). Bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo merupakan salah satu orang yang sudah diklarifikasi Dewas KPK.
Dewas baru periksa Ghufron
Dihubungi secara terpisah, anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, mengatakan, agenda sidang pada 2 Mei berupa pemeriksaan para saksi. Ghufron akan diperiksa setelah sidang pertama.
Sebelumnya, Ghufron menyampaikan bahwa ada orang yang sudah meminta mutasi selama dua tahun, tetapi tidak dikabulkan. Orang tersebut ingin ikut dengan suaminya. Ghufron menyampaikan keinginan orang tersebut ke pejabat di Kementan. Menurut Ghufron, sesuai ketentuan, orang tersebut memiliki hak untuk memohon mutasi ikut dengan suaminya.
Ghufron mengaku bahwa dirinya sekadar memberikan bantuan dan tidak ada titip-menitip. ”Itu, kan, kejadiannya Maret 2022. Secara hukum, kedaluwarsanya itu satu tahun. Jadi, kalau Maret 2022, itu mestinya expired di Maret 2023. Maka, mestinya namanya sudah expired, kasus ini tidak jalan. Nah, itu yang saya kemudian (menggugat ke) PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” katanya.
Ia menjelaskan, gugatannya ke PTUN merupakan proses yang sama seperti yang dilakukan Dewas KPK dalam memproses hukum terhadapnya. Menurut Ghufron, ia melawan sesuai dengan mekanisme hukum. Ia menegaskan, penegakan etik pun seharusnya taat hukum.
Dianggap sudah kedaluwarsa
Ghufron menjelaskan, ia baru dilaporkan ke Dewas KPK pada 8 Desember 2023 dan baru diklarifikasi pada 28 Februari 2024. Padahal, peristiwa itu terjadi pada 15 Maret 2022 sehingga mestinya sudah kedaluwarsa pada 16 Maret 2023. Alhasil, menurut Ghufron, Dewas KPK sudah tidak berwenang lagi untuk memeriksa perkara tersebut.
Persoalan ini pun berbuntut panjang. Ghufron justru melaporkan Albertina ke Dewas KPK atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Ia mempersoalkan anggota Dewas KPK yang meminta hasil analisis transaksi keuangan pegawai KPK.
Terkait dengan laporan Ghufron terhadap Albertina tersebut, Syamsuddin menjelaskan, Dewas KPK sudah memeriksa Albertina. Albertina sudah memberikan klarifikasi dan kronologi kegiatan koordinasi yang dilakukan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
”Dewas berkesimpulan tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Bu AH (Albertina) karena koordinasi dengan PPATK untuk memperoleh hasil analisis transaksi keuangan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas. Ada surat tugas resmi dari Dewas untuk kegiatan koordinasi yang dilakukan Bu AH,” kata Syamsuddin.
Ia menjelaskan, Dewas KPK sudah berkali-kali berkoordinasi dengan PPATK, di antaranya saat mengungkap kasus bekas Ketua KPK Firli Bahuri dan pungutan liar yang dilakukan pegawai KPK di rumah tahanan KPK.
Kapasitas pribadi
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, mengatakan, laporan Ghufron terhadap Albertina ke Dewas KPK dalam kapasitas sebagai pribadi. ”Kami mengonfirmasi juga kepada pimpinan bahwa itu bukan keputusan pimpinan kolektif kolegial. Jadi, bukan keputusan lembaga,” kata Ali.
Selaku insan KPK, kata Ali, ketika Ghufron menganggap ada dugaan etik, wajib melaporkan ke Dewas KPK. Ali berharap publik menghormati seluruh proses yang ada sebagai dinamika di internal KPK.
Ia meyakini, Dewas KPK akan menindaklanjuti persoalan ini secara profesional. Dewas KPK berwenang memproses laporan pengaduan, baik dari masyarakat maupun internal KPK.
Ali memastikan, seluruh kegiatan di KPK tetap berjalan meskipun ada dinamika ini. Sebab, KPK merupakan sebuah sistem yang terus berjalan.
Diadukan ke Dewas KPK
Laporan Ghufron terhadap Albertina ke Dewas KPK akhirnya diadukan oleh mantan pegawai KPK yang tergabung dalam Indonesia Memanggil 57+ Institute ke Dewas KPK. Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha, menjelaskan, Ghufron diduga melanggar kode etik karena laporannya terhadap Albertina tanpa dasar.
Ia menjelaskan, Albertina berkoordinasi dengan PPATK dalam rangka mengonfirmasi adanya dugaan pemerasan terhadap saksi yang dilakukan oleh Jaksa KPK berinisial TI sebesar Rp 3 miliar. Keputusan tersebut diambil secara kolegial oleh Dewas KPK.
”Pengajuan laporan tanpa dasar dan mengada-ada yang diajukan oleh Nurul Ghufron tersebut merupakan tindakan yang tidak layak. Sebab, sebagai pimpinan KPK, dirinya justru malah menghambat dan menghalang-halangi proses penegakan hukum terhadap dugaan kasus tindak pidana korupsi,” kata Praswad.
Selain itu, pelaporan yang diajukan oleh Ghufron, kata Praswad, juga bertepatan dengan momentum dirinya yang akan disidangkan oleh Dewas KPK terkait pelanggaran kode etik penyalahgunaan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK di Kementan.
Dalam laporan yang diajukan, Indonesia Memanggil 57+ Institute meminta Dewas untuk menyatakan Ghufron melanggar etik dan memberhentikannya sebagai pimpinan KPK secara sementara selama proses investigasi. Di samping itu, memerintahkan Ghufron mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK secara tidak hormat sebagai sanksi berat.
”Merekomendasikan kepada penegak hukum untuk menindaklanjuti potensi dugaan pidana mengenai penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Nurul Ghufron,” kata Praswad.
Tidak hanya dilaporkan ke Dewas KPK, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman menyurati Ghufron yang berisi permohonan bantuan mutasi rekannya pegawai negeri sipil (PNS) di Papua ke DKI Jakarta untuk mengikuti suaminya.
Setelah menyampaikan surat tersebut ke KPK, Boyamin mengatakan bahwa dirinya sudah tidak memiliki harapan lagi ke pimpinan KPK saat ini. Untuk mengembalikan harapan itu, maka revisi Undang-Undang KPK harus dicabut dan segera disahkan UU Perampasan Aset.
Menurut dia, dengan UU KPK yang berlaku saat ini, pimpinan KPK hanya menjadi koordinator dan mengontrol saja. Akibatnya, pimpinan KPK justru mengurusi urusan orang lain seperti yang dilakukan Ghufron.
Ia menegaskan, kunci pemberantasan korupsi ada di KPK. Sebab, KPK merupakan lembaga khusus untuk memberantas korupsi. Karena itu, KPK harus berbenah dan itu berpulang pada kebijakan presiden, termasuk dalam memilih calon pimpinan KPK untuk periode selanjutnya.
Menurut Boyamin, tugas pimpinan KPK saat ini hanya perlu mempertahankan KPK agar tidak bubar, apalagi digabung dengan Ombudsman seperti isu yang saat ini banyak dibicarakan. Ia berharap, Dewas KPK segera menyelesaikan polemik ini secepatnya.