Kekerasan, Perang Informasi, dan Kerentanan Warga Sipil Papua
Kita semua berharap Papua akan lebih damai dan jauh dari kekerasan.
Viralnya sebuah video pada 21 Maret 2024 yang menggambarkan kekerasan delapan anggota TNI terhadap warga asli Papua bernama Defianus Kogoya karena dituduh menjadi anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat mengejutkan publik.
Publik bertambah geram karena pernyataan prematur Pangdam Cendrawasih Papua Mayjen Izak Pangemanan yang menganggap video tersebut hasil edit dan pelaku penyiksaan belum tentu anggota TNI. Tak lama kemudian ia mengakui keasliannya dan meminta maaf atas insiden itu dan berjanji akan menghukum pelakunya.
Kekerasan di Papua cenderung diikuti oleh kompleksitas mengalirnya berbagai macam informasi yang bertujuan mengklarifikasi kronologi kejadian sekaligus membantahnya. Informasi ini biasanya dikeluarkan oleh pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini aparat keamanan dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Informasi ini kemudian diamplifikasi ”pihak-pihak lain” yang sulit diidentifikasi dan memperkeruh situasi.
Baca juga: Kekerasan di Papua Makin Meningkat, Pelabelan OPM Perlu Diperjelas
Dalam situasi konflik, ada wujud persenjataan yang baru, yaitu informasi. Mengalirnya informasi dalam konflik ini juga bukan tanpa tujuan. Pihak-pihak yang bertikai menggunakan informasi sebagai senjata untuk mendiskreditkan dan mencari dukungan atas tindakan mereka sebagai bagian dari operasi pemengaruh (influence operation) untuk memengaruhi persepsi publik dan menguasai narasi dominan.
Sebagai akibatnya, validitas informasi tersebut sering dipertanyakan karena berpotensi mengandung disinformasi yang dapat memperparah konflik dan memperdalam polarisasi di masyarakat. Selain aksi kekerasan di atas, ada kompleksitas yang lain. Publik mempertanyakan bagaimana keefektifan strategi keamanan di Papua dan faktor penghambatnya.
Tulisan ini akan mengulas kedua kompleksitas tersebut.
Informasi sebagai senjata
Setelah insiden kekerasan terhadap Kogoya dan rekannya viral, bermunculan informasi yang saling bertentangan dan kontroversial. Menurut pihak TNI, ketiga tertuduh anggota TPNPB berencana membakar puskesmas di Distrik Gome, Kabupaten Puncak.
Salah satu tertuduh, Alinus Murib, diceritakan mencoba melarikan diri dengan melompat dari mobil polisi dan akhirnya meninggal setelah terjatuh di atas batu dalam keadaan terikat. Versi kejadian di atas dibantah oleh aktivis HAM. Murib diikat kakinya di mobil dan kemudian diseret sejauh satu kilometer sebelum akhirnya meninggal karena penyiksaan.
Publik sulit menilai mana versi yang benar.
Informasi kontroversial lain menyangkut ”status” Kogoya, Murib, dan satu rekannya yang dituduh sebagai anggota TPNPB. Sebby Sambom, juru bicara TPNPB, dan beberapa aktivis HAM membantahnya.
Aparat keamanan sering kali dengan mudah menuduh orang asli Papua sebagai anggota gerakan separatis. Kogoya, sebagai ”warga sipil”, akhirnya dibebaskan karena kurangnya bukti dan ini merupakan contoh salah tangkap.
Melakukan profilling atau membedakan anggota TPNPB dengan warga sipil adalah hal yang sulit karena wajah mereka cenderung identik.
Konflik berkepanjangan memberikan dampak emosional yang negatif dan rasa frustrasi, terutama menghadapi medan yang berat dan ancaman kehilangan nyawa setiap saat.
Informasi kontroversial lain menyangkut peran masyarakat lokal yang menurut TNI membantu mengidentifikasi ketiga tertuduh anggota TPNPB. Pertanyaannya, apakah mudah bagi masyarakat berpihak kepada TNI untuk memberikan informasi? Belum ditemukannya pilot Susi Air, Philips Merthens, yang disandera TPNPB ditengarai juga karena ”sikap bungkam” masyarakat lokal untuk memberikan informasi kepada aparat keamanan.
Jika masyarakat lokal diketahui memberikan informasi, nyawa mereka akan terancam oleh pembalasan TPNPB karena dicap sebagai pengkhianat. Selanjutnya, pada tingkatan tertentu, hubungan antara TPNPB dan masyarakat terikat oleh nilai-nilai kesukuan dan ”misi bersama” (merdeka) yang mereka hormati.
Selain itu, meskipun TNI selalu mengklaim bahwa hubungan antara pasukan keamanan dan masyarakat lokal baik dan harmonis, sulit untuk mengetahui situasi yang sebenarnya. Masyarakat sipil dalam posisi yang dilematis karena berada di tengah dua pihak yang bertikai dengan ancaman kekerasan.
Informasi sebagai senjata dalam situasi konflik memang problematis. Dari studi CSIS (2023), informasi yang berkembang di Papua cenderung bersifat manipulatif, menyebarkan klaim palsu tentang suatu peristiwa, individu, atau organisasi melalui manipulasi visual dan amplifikasi berita di media sosial.
Pesan yang menipu menjadi ciri khasnya dengan menyajikan narasi bias yang mengeksploitasi prasangka dan keluhan dan bertujuan untuk memengaruhi persepsi orang ke arah tertentu. Informasi itu menggunakan bahasa yang penuh emosi untuk memancing perasaan yang kuat, seperti kemarahan, ketakutan, dan simpati.
Menggambarkan kebrutalan TPNPB atau pasukan keamanan dan korban sipil adalah contoh bagaimana informasi dipakai untuk memancing emosi.
Informasi yang manipulatif juga didorong oleh agenda untuk melayani kepentingan politik, sosial, dan ekonomi kelompok atau individu tertentu. Hal ini berkontribusi pada polarisasi sosial dan konflik dengan memperkuat bias terhadap realitas yang ada.
Masyarakat Papua cenderung tidak mudah menerima informasi karena ”bias nalar” akibat trauma kekerasan berkepanjangan sehingga memicu emosi negatif, seperti ketakutan, kebencian, dan kemarahan. Akibat pengalaman traumatis, informasi yang menuduh pihak lain di luar aparat keamanan sebagai pelaku kekerasan tidak akan mudah dipercaya karena persepsi bahwa konflik penuh dengan rekayasa.
Baca juga: Memahami Konflik Papua dari Dalam
Faktor penghambat
Kasus kekerasan yang meningkat juga bersumber dari ”kegagalan” memberantas gerakan separatis. Banyak faktor yang menghambat upaya pemberantasan TPNPB.
Aspek geografis dan cuaca adalah faktor penghambat. Ada juga pengaruh strategi perang. Orang Papua memandang perang sebagai ”perburuan” binatang. Setiap suku memiliki gaya perang yang berbeda. Hal ini belum sepenuhnya dipahami aparat keamanan karena ada nilai antropologisnya.
Penggunaan warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak, sebagai tameng oleh TPNPB merupakan faktor penghambat lainnya. Ada juga aspek ”kekuatan supranatural” yang digunakan TPNPB sebagai strategi perang. Faktor lainnya adalah kegagalan dalam memutus rantai perdagangan senjata yang sering kali melibatkan aparat keamanan dan sumber-sumber pendanaan yang mendukung kegiatan TPNPB.
Meningkatnya jumlah anggota TPNPB berusia muda juga menunjukkan kegagalan pembangunan di Papua. Hal lainnya adalah mengubah ideologi ”merdeka” TPNPB yang didukung aktor-aktor lain, seperti adat, gereja, serta LSM dalam dan luar negeri.
Faktor penghambat lainnya adalah faktor psikologis prajurit di medan konflik. Konflik berkepanjangan memberikan dampak emosional yang negatif dan rasa frustrasi, terutama menghadapi medan yang berat dan ancaman kehilangan nyawa setiap saat. Pendekatan psikologis terhadap para prajurit sangatlah penting.
Meskipun aturan operasional dalam perang sudah jelas, hal itu sering dilanggar karena kurangnya pengawasan dari atasan, lemahnya penegakan hukum, dan faktor pemicu stres lainnya, seperti masalah pribadi terkait kesejahteraan atau upaya membalas dendam atas kematian rekannya saat berkonflik dengan TPNPB.
Proses pembelajaran
Kekerasan terhadap tiga orang asli Papua merupakan situasi yang menyedihkan, tapi ada proses pembelajaran. Jenderal Izak telah berkomitmen untuk mengevaluasi secara menyeluruh strategi keamanan di Papua. Komitmen ini harus dihormati dan dipantau oleh publik secara kontinu.
Kasus-kasus kekerasan dengan dalih apa pun yang melibatkan aparat keamanan di Papua harus diselidiki dan dibawa ke pengadilan agar pelakunya dihukum. Tak boleh ada lagi impunitas. Penegakan hukum yang sama harus berlaku untuk anggota TPNPB atas kejahatan yang mereka lakukan.
Sebagai catatan akhir, agar informasi tidak digunakan sebagai senjata oleh pihak yang bertikai, pihak independen yang kredibel harus melakukan verifikasi terhadap informasi tersebut sebagai bagian dari pengetahuan untuk publik yang bersandar pada bukti. Kita semua berharap Papua akan lebih damai dan jauh dari kekerasan.
Vidhyandika D Perkasa, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS