”Drama” Deflasi Beras
Di balik deflasi beras pada April 2024, masih ada sejumlah persoalan dan tantangan. Apa sajakah itu?
Melegakan. Usai sudah ”drama serial” inflasi beras Indonesia. Setelah sepanjang delapan episode mengisahkan inflasi, ”drama serial” tersebut diakhiri dengan deflasi beras. Namun, di balik itu, ”drama” deflasi beras justru bergulir dan setelahnya berpotensi menjadi ”drama” inflasi beras.
Pada 1 Mei 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, beras mengalami deflasi sebesar 2,72 persen secara bulanan pada April 2024. Setelah inflasi selama delapan bulan berturut-turut, Agustus 2023-Maret 2024, komoditas pangan pokok tersebut baru mengalami deflasi.
Deflasi yang mencerminkan penurunan harga itu terjadi lantaran panen raya padi semakin meluas. Produksi beras pun terus meningkat dari 3,38 juta ton pada Maret 2024 menjadi 5,52 juta ton pada April 2024.
Di balik deflasi beras secara bulanan itu, komponen harga bergejolak, termasuk beras, masih mengalami inflasi secara tahunan.
Selain itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) gencar menggelar program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan. Program itu dikombinasi dengan program Bantuan Pangan berupa 10 kilogram beras per bulan per keluarga bagi 22 juta keluarga berpenghasilan rendah.
Hal itu merupakan capaian positif. Namun, perlu diingat, di balik deflasi beras secara bulanan itu, komponen harga bergejolak, termasuk beras, masih mengalami inflasi secara tahunan. Artinya, harga beras masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dan biasanya tidak akan turun senilai harga wajar tahun lalu.
Tingkat inflasi tahunan kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau dan komponen harga bergejolak pada April 2024 memang mulai turun. Namun, tingkat inflasinya masih relatif tinggi. Begitu juga dengan beras.
BPS menunjukkan, secara tahunan, kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau masih mengalami inflasi 7,04 persen. Tingkat inflasi itu turun tipis dibandingkan inflasi tahunan Maret 2024 sebesar 7,34 persen.
Adapun tingkat inflasi tahunan komponen harga bergejolak pada April 2024 sebesar 9,63 persen. Tingkat inflasi itu turun cukup lumayan dibandingkan inflasi tahunan Maret 2024 sebesar 10,33 persen.
Baca juga: Inflasi Tahunan Pangan Masih Relatif Tinggi meski Tekanannya Mulai Mereda
Komoditas yang memberikan andil inflasi tahunan pada komponen tersebut antara lain beras, bawang merah, cabai, serta daging dan telur ayam ras. Dari sinilah mulai bergulir ”drama” deflasi beras. Meskipun secara bulanan deflasi, beras masih mengalami inflasi secara tahunan.
Tingkat inflasi tahunan beras pada April 2024 sebesar 15,9 persen atau turun dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 20,07 persen. Tingkat inflasi tahunan beras tersebut lebih tinggi dibandingkan Januari 2024 dan April 2023 yang masing-masing sebesar 15,65 persen dan 12,44 persen.
Nilai tukar petani
”Drama” deflasi beras pun berlanjut. Di balik deflasi bulanan beras tersurat juga laju penurunan harga beras yang tidak setajam penurunan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani.
Secara bulanan, harga rerata nasional berbagai jenis beras di tingkat eceran per April 2024 turun 2,72 persen menjadi Rp 15.109 per kg, sedangkan GKP di tingkat petani anjlok 15,58 persen menjadi Rp 5.686 per kg. Sementara secara tahunan, harga rerata nasional berbagai jenis beras di tingkat eceran naik 15,9 persen, sedangkan GKP di tingkat petani naik 15,9 persen.
Anjloknya harga GKP itu menyebabkan nilai tukar petani tanaman pangan (NTP TP) turun signifikan sebesar 7,25 persen secara bulanan menjadi 108,92. Per April 2024, harga rerata berbagai jenis beras di tingkat eceran 2,72 persen secara bulanan dan naik 15,31 persen secara tahunan.
Baca juga: Harga Beras Masih Tinggi, Harga Gabah Anjlok
Mengutip pernyataan Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pada Kamis (3/5/2024), faktor yang memengaruhi anjloknya harga GKP petani adalah semakin masifnya panen raya padi pada Maret-April 2024. Sementara itu, harga beras masih mahal dan lambat turun dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Pertama, ada perbedaan pola tanam, panen, konsumsi, dan distribusi di setiap daerah di Indonesia. Pola tanam dan panen padi yang bervariasi di sejumlah daerah membuat rantai pergerakan gabah dan beras dari daerah produsen ke daerah konsumen semakin lama dan panjang. Hal ini berpotensi menyebabkan kenaikan biaya angkut atau distribusi, terutama di daerah-daerah yang bukan produsen beras.
Kedua, pembentukan harga beras juga dipengaruhi preferensi terhadap beras lokal. Misalnya, suku Minang di Riau dan sekitarnya lebih condong memilih beras lokal varietas Solok sehingga pasokan dari luar wilayah tidak serta-merta mampu menekan harga beras lokal tersebut.
Ketiga, harga beras di penggilingan juga dipengaruhi biaya produksi. Di tengah hujan yang masih kerap terjadi dan banjir yang melanda sejumlah daerah, biaya penjemuran gabah pasti meningkat. Hal itu akan berpengaruh juga terhadap upah buruh.
Pedagang beras yang telanjur membeli beras di kala harga beras tinggi tidak mungkin akan menjual beras itu di bawah harga beli.
Terlepas dari versi BPS itu, ada faktor lain yang juga turut memengaruhi harga beras lambat turun. Faktor tersebut terkait erat dengan modal awal dan keuntungan. Pelaku usaha beras yang telanjur membeli GKP petani dengan harga tinggi sebelum panen raya padi tidak serta-merta bisa menjual beras dengan harga yang relatif terjangkau.
Begitu pula dengan pedagang beras yang telanjur membeli beras di kala harga beras tinggi, tidak mungkin akan menjual beras itu di bawah harga beli. Kondisi itulah yang menjadi salah satu penyebab beras premium di ritel modern langka sehingga Bapanas menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras premium.
Baca juga: HET Beras Medium dan HAP Jagung Dinaikkan
Kendati ”drama serial” inflasi beras telah berganti menjadi ”drama” deflasi beras, pemerintah tetap tidak boleh lengah. Kenaikan HET beras medium dan premium, serta harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani, pada tahun ini berpotensi menghambat laju penurunan harga beras.
Bapanas menaikkan HPP GKP di tingkat petani dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 6.000 per kg. HET beras premium juga dinaikkan dari Rp 13.900-Rp 14.800 per kg menjadi Rp 14.900-Rp 15.800 per kg berdasarkan zonasi.
Begitu juga dengan beras medium, HET-nya direlaksasi dari Rp 10.900-Rp 11.800 per kg menjadi Rp 12.500-Rp 13.500 per kg bergantung zonasi. Kebijakan tersebut juga menjadi penegasan bahwa harga beras tidak akan semurah tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, puncak panen raya padi sudah berakhir pada April 2024 kendati masih ada potensi panen dan surplus beras pada Mei 2024. Meskipun begitu, BPS melalui Kerangka Sampel Area memperkirakan neraca produksi dan konsumsi beras pada Juni 2024 defisit sebesar 0,45 juta ton.
BPS juga menunjukkan, pada semester I (Januari-Juni) 2024, Indonesia mengalami tiga kali surplus beras, yakni pada Maret, April, dan Mei. Adapun pada semester II-2023, surplus beras terjadi lima kali, yakni pada Februari, Maret, April, Mei, dan Juni. Surplus beras sepanjang semester I-2024 dibandingkan semester I-2023 juga turun dari 3,36 juta ton menjadi 1,03 juta ton.
Baca juga: Hati-hati, Indonesia Berpotensi Defisit Beras Lagi pada Juni 2024
Di samping itu, dalam kondisi cuaca normal, produksi beras setiap semester kedua dalam setahun biasanya berkurang atau tidak sebanyak semester pertama. Tanpa ada perencanaan aksi dan antisipasi yang baik, ”drama” deflasi beras bisa berlanjut lagi menjadi ”drama” inflasi beras, walaupun tingkat inflasinya tidak akan setinggi sebelumnya.