Menimbang Masa Depan Buruh di Antara Bonus atau Beban Demografi
Masih banyak problem tenaga kerja, seperti tingginya pengangguran tenaga muda, buruh anak, dan rendahnya produktivitas.
JAKARTA, KOMPAS — Sektor ketenagakerjaan masih menghadapi setumpuk masalah yang perlu ditemukan solusinya. Apabila kualitas, produktivitas, kesejahteraan, dan beragam masalah buruh lainnya tidak segera diselesaikan, dominasi penduduk usia produktif di Indonesia beberapa tahun ke depan hanya akan menjadi beban demografi.
Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin mengatakan, sektor ketenagakerjaan masih harus menghadapi segudang persoalan di tengah optimisme pemerintah dalam memanfaatkan bonus demografi yang puncaknya dapat dinikmati pada tahun 2032.
Pada tahun tersebut diproyeksikan sebanyak 64 persen dari total penduduk Indonesia berada pada rentang usia produktif. Agar besarnya porsi masyarakat produktif bisa berkontribusi optimal terhadap lompatan pertumbuhan ekonomi nasional, dibutuhkan tenaga kerja berkualitas yang terindikasi dari tingginya produktivitas.
Sektor ketenagakerjaan di Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, di antaranya soal peningkatan kapasitas dan keahlian buruh serta shifting dunia kerja yang mengalami disrupsi digital.
Padahal, berkaca dari situasi saat ini, Irham melanjutkan, pengangguran tenaga kerja muda kita termasuk paling tinggi di Asia. Mengacu pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2023, terdapat 7,86 juta orang penganggur, yang 42,55 persennya ada dalam rentang usia 15-24 tahun.
Beririsan dengan data tersebut, terdapat masalah lain berupa tingginya angka pekerja anak yang hingga 2025 jumlahnya diproyeksi mencapai 293.000 anak.
”Sampai 2045 akan ada ratusan ribu generasi yang tidak mengalami pertumbuhan optimal karena pekerja anak biasanya tidak mendapatkan akses pendidikan,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Sarbumusi di Jakarta, Rabu (1/5/2024).
Baca juga: Kebijakan untuk Cegah Gelombang PHK Dinilai Mendesak
Selain masalah pengangguran dan isu pekerja anak, sektor ketenagakerjaan di Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, di antaranya soal peningkatan kapasitas dan keahlian buruh serta shifting dunia kerja yang mengalami disrupsi digital. Sektor ketenagakerjaan di Indonesia juga terpengaruh kondisi eksternal berupa ketegangan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah, Eropa Timur, dan kawasan Laut China Selatan.
”Persoalan-persoalan ini jika tidak segera dicari jalan keluarnya malah akan menjadi bumerang bagi bonus demografi di Indonesia,” kata Irham.
Dari sisi produktivitas pekerja Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO), setiap satu orang pekerja di Indonesia tiap jam kerja menyumbang 12,96 dollar AS terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021.
Produktivitas pekerja Tanah Air masih berada di bawah Singapura (74,15 dollar AS/orang/jam), Brunei Darussalam (55,92 dollar AS/orang/jam), Malaysia (25,59 dollar AS/orang/jam), dan Thailand (15,06 dollar AS/orang/jam).
Peningkatan produktivitas erat kaitannya dengan tingkat kompetensi dan kualitas tenaga kerja. Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir fokus mereformasi sistem pendidikan, terutama pendidikan vokasi, untuk menemukan keselarasan pasokan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan industri.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rudy Salahuddin memastikan, dari sisi regulasi, pemerintah akan menggawangi agar bonus demografi Indonesia ditopang oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia dan produktivitas tenaga kerja.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pelatihan dan Pendidikan Vokasi, reformasi dilakukan dengan lebih banyak melibatkan industri untuk menyusun kurikulum pendidikan vokasi, bahkan hingga melebur atau menutup sekolah-sekolah yang dianggap sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan industri.
”Jadi, tenaga kerja kita tetap akan siap dengan kondisi 23 persen pekerjaan yang akan berubah dalam lima tahun ke depan, di mana banyak pekerjaan yang hilang karena otomatisasi dan digitalisasi, tetapi banyak juga pekerjaan baru yang muncul,” kata Rudy.
Pun payung hukum terkait pengupahan yang saat ini berlaku, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan, masih akan terus berubah. Pasalnya, pemerintah menyadari upah minimum esensinya untuk pekerja lajang dan bekerja di bawah satu tahun, tetapi malah digunakan oknum pengusaha secara serampangan untuk menekan ongkos produksi.
Baca juga: Industrilisasi Jadi Kunci Mendongkrak Upah Buruh
”Sebenarnya kalau industri sudah menetapkan struktur skala upah masing-masing dengan melihat kompetensi dan keahlian tenaga kerja, sebenarnya sudah bisa. Namun, kondisi saat ini industri maunya ada standar yang bisa dipakai seminimum mungkin untuk menekan ongkos produksi. Makanya upah minimum malah menjadi upah efektif,” ujarnya.
Terkait persoalan upah minimum di Indonesia, Senior Program Officer Organisasi Buruh Internasional (ILO) Lusiani Julia dalam diskusi bersama Sarbumusi menjelaskan, Pemerintah Indonesia baru mulai memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan kebijakan upah minimum pada akhir 1980-an.
”Langkah ini terutama disebabkan adanya tekanan dari dunia internasional sehubungan dengan isu-isu tentang pelanggaran standar ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Pada masa itu, sebuah organisasi perdagangan Amerika Serikat (AFL-CIO) dan beberapa aktivis hak asasi manusia mengajukan keberatan terhadap sebuah perusahaan multinasional AS yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan itu diduga memberikan upah yang sangat rendah dengan kondisi lingkungan kerja di bawah standar.
”Sebagai hasilnya, Pemerintah Indonesia pada waktu itu dipaksa untuk memberikan perhatian lebih terhadap kebijakan upah minimumnya dengan menaikkan upah minimum sampai tiga kali lipat dalam nilai nominalnya atau dua kali lipat dalam nilai riil,” ujarnya.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, secara otomatis akan terjadi penyesuaian peningkatan upah tenaga kerja sejalan dengan meningkatnya kontribusi sektor industri terhadap PDB.
Kemampuan tenaga kerja ke depan pasti akan bergeser ke arah yang tidak bisa digantikan oleh mesin dan membutuhkan keterampilan otak manusia.
”Dapat dipastikan sektor industri bisa berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional apabila produktivitas dan keterampilan tenaga kerja tinggi,” ujarnya.
Berkaca dari perusahaan Korea Selatan atau yang industrinya sedang tumbuh, lanjutnya, 50 persen karyawannya bergerak di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) agar inovasi tidak berhenti. Pekerjaan reguler seperti mengangkut, membungkus, bahkan menyolder bisa digantikan mesin agar lebih efisien.
”Kemampuan tenaga kerja ke depan pasti akan bergeser ke arah yang tidak bisa digantikan oleh mesin dan membutuhkan keterampilan otak manusia. Tentu besaran upah tenaga kerja meningkat selaras dengan keterampilan yang dimiliki,” kata Amalia.