Di Balik Kinerja Investasi Cetak Rekor Serapan Tenaga Kerja
Kinerja investasi mencetak rekor serapan tenaga kerja tertinggi. Namun, kualitas dan keberlanjutannya perlu dikawal.
Beberapa tahun terakhir ini, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sering dihadapkan pada satu pertanyaan penting: seperti apa strategi pemerintah menarik investasi padat karya demi menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak?
Selama ini pula Bahlil kelimpungan menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, dalam satu dekade terakhir, serapan tenaga kerja turun signifikan. Pada tahun 2013, setiap Rp 1 triliun investasi yang masuk masih bisa menyerap 4.594 orang tenaga kerja. Sedangkan, pada 2023, Rp 1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.285 tenaga kerja.
Baca juga: Lapangan Kerja Kelas Menengah Menyusut
Realisasi investasi yang jumbo dengan nilai ribuan triliun belum mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk mengimbangi ledakan bonus demografi dan kenaikan jumlah angkatan kerja setiap tahun.
Dalam percakapan sehari-hari dan obrolan di linimasa, keluhan dari masyarakat pun sering berseliweran mengenai semakin sulitnya mencari kerja akhir-akhir ini, terutama selepas pandemi Covid-19.
Pemerintah mengakui kekurangan itu. Balil berkali-kali berdalih pemerintah memang sedang fokus menarik investasi padat teknologi dan padat modal demi mengerek pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih masif. Di sisi lain, investasi padat karya semakin sulit dicari di tengah maraknya tren otomasi di dunia industri.
”Kalau kita hanya berpikir padat karya, sampai ayam tumbuh gigi pun negara ini tidak akan maju karena padat karya itu, mohon maaf, gajinya terukur. Kalau kita hanya ciptakan lapangan kerja dengan gaji Rp 4 juta-Rp 5 juta terus, bagaimana mau naik kelas?” ucap Bahlil dalam konferensi pers kinerja investasi 2023, awal tahun ini.
Kinerja investasi mencetak rekor serapan tenaga kerja tertinggi sepanjang sejarah.
Saat konferensi pers kinerja investasi triwulan I tahun 2024, Senin (29/4/2024), Bahlil akhirnya datang dengan kabar baik. Kinerja investasi mencetak rekor serapan tenaga kerja tertinggi sepanjang sejarah. Investasi senilai Rp 401,5 triliun sepanjang Januari-Maret 2024 itu mampu menyerap 547.419 orang tenaga kerja.
Sebagai perbandingan, secara bulanan, investasi pada triwulan IV-2023 menyerap 457.895 orang. Adapun secara tahunan, investasi pada triwulan I-2023 menyerap lebih sedikit tenaga kerja, yakni 384.892 orang. ”Ini rekor paling tinggi, penciptaan lapangan kerja paling banyak dalam sejarah realisasi investasi kita,” kata Bahlil.
Rasio investasi membaik
Lantas, apakah rekor penciptaan lapangan kerja yang tinggi di awal tahun itu menggambarkan investasi yang semakin berkualitas?
Peneliti Center for Investment, Trade, and Industry di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, setelah sempat turun signifikan, penyerapan tenaga kerja dari investasi memang perlahan mulai membaik.
Hal itu tampak dari indikator rasio realisasi investasi terhadap tenaga kerja yang trennya semakin kecil. Pada triwulan I-2024, rasio investasi per tenaga kerja atau nilai investasi yang dibutuhkan untuk menyerap satu orang pekerja pada periode tersebut senilai Rp 733,44 juta.
Baca juga: Melambat Usai Pandemi, Investasi Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Baru
Dia membandingkan, pada triwulan I-2023, nilai investasi yang dibutuhkan untuk menyerap seorang tenaga kerja adalah Rp 854,5 juta. Sebelumnya, pada triwulan I-2022, investasi yang dibutuhkan untuk menyerap seorang tenaga kerja lebih tinggi, yakni Rp 885,2 juta.
”Besaran rasio itu semakin kecil, semakin bagus. Artinya, semakin padat karya investasi yang masuk dan semakin peka terhadap penyerapan tenaga kerja. Lain halnya kalau untuk menyerap satu orang tenaga kerja saja membutuhkan investasi di atas Rp 1 miliar. Jadi, memang sekilas ada perbaikan kualitas investasi,” ujarnya.
Tantangan ”supply-demand”
Namun, menurut Heri, rekor angka penyerapan tenaga kerja tertinggi sepanjang sejarah itu belum tentu berkesinambungan. Sebab, ada indikasi tenaga kerja yang terserap lebih banyak dipakai untuk proses konstruksi pabrik, serta finalisasi pembangunan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus yang sifatnya sementara.
Belum ada jaminan penyerapan tenaga kerja yang tinggi itu akan berlanjut sampai ketika perusahaan resmi beroperasi. Pada tahap operasional, biasanya ada spesifikasi kebutuhan tertentu yang diminta dari pekerja. Pada tahap ini, ada isu klasik kesenjangan (gap) antara kualifikasi yang dibutuhkan dan tenaga kerja yang tersedia.
Perbaikan kualitas dari sisi supply (pemberi kerja) dan demand (tenaga kerja) di pasar kerja sama-sama dibutuhkan.
Oleh karena itu, Heri menegaskan, perlu strategi jangka panjang untuk memastikan penyerapan tenaga kerja yang banyak di awal masuknya investasi itu bisa benar-benar berkesinambungan.
”Kembali lagi, tantangannya adalah bagaimana ketersediaan tenaga kerja kita yang berlimpah ini bisa sesuai dengan kebutuhan investor. Kalau skill tidak cocok, lagi-lagi pekerja akan disuplai dari daerah lain, bahkan dibawa investor dari negara asalnya,” katanya.
Di sisi lain, tantangan bukan hanya dari sisi meningkatkan kualitas tenaga kerja agar sesuai permintaan industri. Regulasi ketenagakerjaan dan perusahaan juga perlu disesuaikan untuk menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan menyejahterakan pekerja.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto menilai, penciptaan lapangan kerja yang besar dari investasi patut disyukuri. Namun, pemerintah juga perlu memastikan bahwa lapangan kerja yang diciptakan itu benar-benar berkualitas.
Baca juga: Investasi UMK dan Alarm Kerja Layak
Perbaikan kualitas dari sisi supply (pemberi kerja) dan demand (tenaga kerja) di pasar kerja sama-sama dibutuhkan jika Indonesia ingin menjawab tantangan bonus demografi dan cita-cita menjadi negara maju.
”Artinya, apakah lapangan kerja yang tercipta itu memberikan gaji dan jaminan ketenagakerjaan sesuai ketentuan yang berlaku, serta mampu memberikan kesempatan yang luas bagi tenaga kerja untuk mengembangkan diri?” ucap Teguh.
Cukup berat
Lepas dari capaian rekor itu, Bahlil pun mengakui, realisasi investasi yang masuk pada triwulan I-2024 sebenarnya belum sepadan dengan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
Untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja dari proyek investasi, pemerintah mesti meminta investor untuk mengganti sebagian proses produksi dari yang bertumpu pada teknologi menjadi menggunakan tenaga kerja. Permintaan itu hanya diminta ke sebagian investor.
Peningkatan investasi di industri padat karya dinilainya cukup berat dengan iklim investasi saat ini. Apalagi, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia kalah bersaing dalam memberikan insentif untuk investor padat karya.
”Saya tahu itu tidak efisien karena mereka sudah pakai teknologi tinggi, tetapi saya katakan kepada mereka bahwa investor itu tidak boleh hanya memikirkan keuntungan,” kata Bahlil.