Berbagai Sektor Industri Tertekan Depresiasi Rupiah
Sektor industri ini harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk bahan baku karena menggunakan mata uang dollar AS.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena depresiasi rupiah memukul sejumlah sektor ekonomi yang masih harus mengandalkan bahan baku impor, tetapi menjualnya untuk pasar dalam negeri dengan mata uang rupiah. Para pelaku di industri ini harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk bahan baku karena transaksi pembelian bahan baku menggunakan mata uang dollar AS.
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani mengatakan, ada sejumlah sektor ekonomi yang tertekan secara langsung atas depresiasi rupiah. Mereka adalah sektor ekonomi yang ongkos produksi dari belanja bahan bakunya terkerek naik karena masih harus impor. Di sisi lain, penjualan produk mereka dalam bentuk rupiah.
”Mereka membeli bahan baku impor lalu diolah jadi produknya. Lalu dijual dalam harga rupiah. Ongkos produksinya bisa naik karena kurs rupiah melemah saat beli bahan bakunya,” ujar Dendi saat dihubungi pada Selasa (23/4/2024).
Ia menjelaskan, sektor industri yang akan langsung terdampak adalah farmasi. Sebab, sekitar 90 persen bahan baku industri farmasi masih harus impor karena bahan baku dalam negeri belum bisa memasok kebutuhan industri farmasi.
Selain itu, ada industri kimia hulu. Industri ini membutuhkan bahan baku produksi berupa nafta, sejenis minyak yang bisa diolah untuk produk hilir kimia. Adapun nafta ini bisa diolah menjadi berbagai produk hilir industri kimia, mulai dari plastik kemasan, mainan anak, plastik konstruksi bangunan, hingga plastik komponen otomotif.
Meski demikian, seluruh nafta yang digunakan sebagai bahan baku produksi industri kimia masih harus diimpor dari Timur Tengah. Perusahaan minyak dalam negeri memang memproduksi nafta, tetapi dipasok untuk diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Terbuka juga kemungkinan harga produksi itu bertransmisi menjadi kenaikan harga jual produknya.
Industri lainnya yang akan tertekan langsung dari pelemahn nilai tukar rupiah adalah industri tekstil hulu. Pada tahap pemrosesan benang ke kain masih banyak bahan bakunya yang impor. Sejauh ini industri hulu tekstil dalam negeri masih banyak yang belum bisa memproduksi bahan baku yang spesifikasiknya dibutuhkan untuk industri antara dan hilir.
Produksi mobil juga akan terdampak pelemahan rupiah. Masih banyak komponen otomotif yang harus dipasok dari impor, mulai dari baja hingga permesinan elektroniknya.
Nasib serupa juga dialami industri elektronika. Bahan baku industri elektronik masih banyak yang harus diimpor karena belum tersedia di dalam negeri.
Dendi menjelaskan, depresiasi rupiah akan langsung mengerek biaya produksi beragam industri tersebut. Selanjutnya sangat bergantung masing-masing industri meresponsnya, seperti apa langkah efisiensi yang dilakukan agar harga produknya tetap kompetitif. Terbuka juga kemungkinan harga produksi itu bertransmisi menjadi kenaikan harga jual produknya.
Dihubungi pada Selasa, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, depresiasi rupiah akan menekan industri manufaktur dalam negeri. Sebab, industri manufaktur masih banyak bergantung pada bahan baku impor.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Maret 2024 total impor bahan baku dan penolong mencapai 40,79 miliar dollar AS atau 72,81 persen dari total impor yang mencapai 54,89 miliar dollar AS.
Faisal mengatakan, hulu industri yang masih lemah membuat industri antara dan hilir masih harus impor bahan baku. Ketika struktur industri sudah kuat, semestinya hilirisasi atau pasokan bahan baku dari industri hulu dan antara bisa dinikmati industri hilir.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan, pihaknya mempercepat langkah-langkah pendalaman, penguatan, ataupun penyebaran struktur industri yang bertujuan untuk segera meningkatkan program substitusi impor.
”Hal ini perlu didukung dengan memperketat ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengantisipasi excess trade diversion dari negara lain ke Indonesia. Artinya, kementerian/lembaga harus lebih disiplin dalam pengadaan belanja barang dan jasa dengan menggunakan produk dalam negeri,” ujar Agus.