Perusahaan Asing Bidik Pembelian Pasir Laut Indonesia
Pasir laut Indonesia mulai dibidik pasar luar negeri.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menerima pendaftaran 66 pelaku usaha penambangan pasir laut. Perusahaan-perusahaan itu mengajukan konsesi penambangan pasir laut sedikitnya 3,3 miliar meter kubik. Asing mulai membidik pembelian pasir laut Indonesia.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, sebanyak 66 perusahaan penambangan pasir laut, menurut rencana, akan bermitra dengan 51 perusahaan kapal isap pasir laut, serta 54 perusahaan mitra reklamasi atau pembeli pasir laut, baik dari dalam maupun luar negeri.
Direktur Jasa Kelautan KKP Miftahul Huda menjelaskan, sejumlah 66 perusahaan dari 71 perusahaan yang mendaftar konsesi penambangan pasir laut dinyatakan telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen. Tahap selanjutnya adalah klarifikasi mitra perusahaan kapal isap yang digunakan, ataupun mitra reklamasi yang akan membeli pasir laut itu.
Beberapa perusahaan calon pembeli pasir laut tercatat berasal dari luar negeri, yakni dari Singapura, China, Johor (Malaysia), dan Brunei. Sementara itu, perusahaan kapal isap asing yang diusulkan berasal dari Belanda, Belgia, Jepang, Singapura, dan China.
”Pemerintah sedang melakukan klarifikasi legalitas perusahaan, kerja sama dengan mitra kapal yang diusulkan, serta mitra (perusahaan) reklamasi yang membeli pasir laut. Ini penting agar tidak ada kepentingan pribadi,” kata Huda, saat dihubungi, Selasa (23/4/2024).
Huda menambahkan, volume penambangan pasir laut yang diajukan oleh setiap perusahaan bervariasi, mulai dari 50 juta hingga 200 juta meter kubik. Dengan demikian, permintaan volume penambangan hasil sedimentasi laut itu ditaksir sedikitnya 3,3 miliar meter kubik.
Lokasi eksploitasi pasir laut yang ditawarkan pemerintah tersebar di Laut Jawa, yakni di Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang. Selain itu, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Penerimaan negara
Huda menambahkan, pemerintah akan mengecek kesanggupan perusahaan penambangan pasir laut untuk membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahap awal terkait pemanfaatan pasir laut itu. Selain itu, diperlukan juga klarifikasi teknis dengan melibatkan tim pakar. Besaran PNBP tahap awal yang wajib dibayarkan adalah 5 persen dari nilai PNBP pemanfaatan pasir laut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, perhitungan tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri adalah 30 persen dari nilai harga patokan (HPP) pasir laut dikalikan volume pengambilan pasir laut. Adapun pemanfaatan pasir laut untuk luar negeri adalah 35 persen dari nilai HPP dikalikan volume pasir laut yang dikeruk.
Sementara itu, HPP pasir laut untuk pemanfaatan dalam negeri dipatok Rp 93.000 per meter kubik, sedangkan HPP untuk pemanfaatan di luar negeri ditetapkan Rp 186.000 per meter kubik, dengan mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024.
Sebagai ilustrasi, perusahaan yang memperoleh kuota volume penambangan pasir laut sebesar 50 juta meter kubik untuk pemanfaatan luar negeri dikenai tarif PNBP pasir laut sebesar Rp 3,25 triliun. Dari jumlah itu, PNBP awal yang wajib dibayarkan sebesar 5 persen, yakni Rp 162,75 miliar.
Menurut Huda, tahap verifikasi perusahaan dan mitra perusahaan dijadwalkan selesai pada akhir April 2024. Selanjutnya, perusahaan wajib membayar PNBP awal, serta mengurus izin dan membayar tarif PNBP Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) sejumlah Rp 18.680.000 per hektar.
Keran eksploitasi pasir laut secara masif akan berimbas pada matinya wilayah tangkapan nelayan kecil.
Selain itu, mengurus perizinan lain, seperti izin lingkungan, dan IUP penjualan. Perusahaan yang menggunakan kapal asing dan tenaga kerja asing juga harus mengurus izin penggunaan kapal asing dan izin penggunaan tenaga kerja asing.
”Proses harus diikuti. Kalaupun proses sudah sesuai, tetapi perusahaan tidak bisa membayar PNBP awal, akan batal. Kewajiban pembayaran ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi jual-beli izin,” kata Huda.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyayangkan keran eksploitasi pasir laut secara masif akan berimbas pada matinya wilayah tangkapan nelayan kecil. Mereka melaut semakin jauh. Muncul indikasi, perusahaan-perusahaan penambangan pasir laut akan menjadi alat untuk pengerukan pasir laut Indonesia untuk dibawa ke luar negeri, seperti Singapura.
Dari data KKP, potensi volume pasir laut yang ditawarkan pemerintah sebanyak 17,64 miliar meter kubik, meliputi Laut Jawa sebanyak 5,58 miliar meter kubik, Selat Makassar 2,97 miliar meter kubik, dan Laut Natuna-Natuna Utara 9,09 miliar meter kubik.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengemukakan, pemanfaatan sedimentasi laut itu akan difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Adapun PNBP yang potensial dari pemanfaatan pasir laut bergantung pada volume yang diajukan pelaku usaha.