Masih tingginya impor bahan baku oleh industri manufaktur lantaran industri hulu dan antara dalam negeri belum mandiri.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Industri manufaktur dalam negeri saat ini bak dikeroyok pukulan dari berbagai arah. Depresiasi rupiah yang datang bersamaan dan saling berkelindan dengan ketegangan geopolitik di Timur Tengah seakan bekerja sama untuk menekan industri manufaktur domestik.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat (19/4/2024) ditutup pada level Rp 16.280 per dollar AS. Angka ini melemah 371 poin atau 2,33 persen jika dibandingkan dengan perdagangan pada 1 April 2024 yang berada pada level Rp 15.909 per dollar AS.
Melemahnya nilai tukar rupiah ini jelas langsung menekan industri manufaktur. Sebab, bahan baku industri manufaktur mayoritas masih harus dipasok dari impor. Hal ini tecermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, di mana pada Januari-Februari 2024 total impor bahan baku atau penolong mencapai 72,47 persen dari total impor yang nilainya 36,93 miliar dollar AS.
Bahan baku dan bahan penolong itu diimpor lalu diolah menjadi produk jadi hasil industri manufaktur dalam negeri. Masih tingginya impor bahan baku oleh industri manufaktur lantaran industri hulu dan antara dalam negeri belum sepenuhnya mandiri. Masih banyak jenis bahan baku yang belum bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.
Ketika nilai tukar rupiah melemah, maka ongkos biaya bahan baku pun meningkat. Ongkos biaya bahan baku ini mencakup 5-15 persen dari ongkos produksi. Besarannya beragam tergantung pada jenis industrinya. Semakin besar ketergantungan mereka akan pasokan bahan baku impor, maka depresiasi rupiah akan semakin mengerek naik ongkos produksi.
Adapun sektor industri yang bergantung pada impor bahan baku adalah industri yang sektor hulunya masih lemah sehingga belum bisa memproduksi bahan baku yang diperlukan untuk hilirisasi industri. Mereka antara lain industri kimia hulu, farmasi hulu, tekstil hulu, elektronik, dan sebagian industri makanan-minuman.
Kondisi ini diperparah dengan ketegangan geopolitik yang memanas antara Israel dan Iran. Ketegangan negara di Timur Tengah itu langsung memantik persoalan beruntun. Ketegangan itu diperkirakan langsung mengerek harga minyak dunia. Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 0,5 persen menjadi 83,14 dollar AS per barel. Sementara minyak berjangka Brent naik 0,3 persen menjadi 87,33 dollar AS per barel. Bahkan, harga minyak sempat menembus 90 dollar AS per barel.
Ketegangan tersebut oleh pasar diperkirakan bakal mengganggu pasokan minyak dunia. Ketika pasokan menurun, sedangkan permintaan tetap, maka harga barang akan naik. Apabila konflik kian memanas, menurut perkiraan para ekonom, bukan tidak mungkin harga minyak bisa menembus titik keseimbangan baru, yakni di atas 100 dollar AS per barel.
Kenaikan harga minyak ini juga berdampak pada kenaikan ongkos energi. Ongkos energi rata-rata berkontribusi 5-15 persen dari total ongkos produksi.
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga akan mengganggu distribusi barang dan jasa dari dan menuju sekitar kawasan tersebut. Industri yang sangat terpengaruh dengan gangguan rantai pasok di kawasan itu adalah industri kimia hulu atau petrokimia. Sebab, nafta, sejenis minyak yang jadi bahan baku industri ini, pemenuhannya harus diimpor dari negara-negara di Timur Tengah.
Perang di kawasan itu akan membuat pasokan terganggu. Kalaupun pengiriman bahan baku tetap berjalan, durasi pengirimannya akan memakan 2-4 pekan lebih lama. Biaya distribusi pun bakal turut terkerek. Rantai produksi yang terjadwal pun menjadi terganggu.
Padahal, industri kimia hulu atau petrokimia adalah salah satu dari dua industri induk (mother of all industry) bersama industri baja. Hilirisasi industri petrokimia menghasilkan berbagai jenis produk mulai dari plastik, kemasan, obat-obatan, komestik, mainan anak, komponen otomotif, komponen konstruksi bangunan, dan lain-lain.
Semua hal di atas adalah uraian dampak dari sisi dunia usaha atau pasokan. Padahal, ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga berdampak pada sisi permintaan. Ketika harga minyak dunia naik, maka inflasi dunia akan terkerek. Inflasi yang meningkat bisa menggerus daya beli masyarakat yang berarti konsumsi bakal melemah. Dampaknya terjadi perlambatan ekonomi dunia. Perlambatan ekonomi dunia, termasuk negara-negara mitra dagang Indonesia, artinya menurunkan permintaan ekspor.
Mengandalkan pasar dalam negeri bisa menjadi solusi. Namun, kenaikan harga minyak dunia juga diperkirakan akan merembet menjadi kenaikan inflasi dalam negeri. Inflasi yang menanjak ini juga akan menggerus daya beli. Pada akhirnya, berdampak pada menurunnya omzet atau kinerja produk industri manufaktur dalam negeri.
Padahal, industri manufaktur adalah kontributor terbesar perekonomian Indonesia. Mengutip data BPS, industri manufaktur berkontribusi 18,67 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Berbagai tekanan ini bisa mengendurkan kinerja manufaktur. Padahal, Indonesia bercita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka. Salah satu caranya adalah meningkatkan kontribusi manufaktur terhadap PDB menjadi 28 persen.
Rentetan panjang tekanan depresiasi rupiah dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah ini memang harus segera diantisipasi oleh pemerintah. Sudah waktunya pemerintah kembali fokus memelototi perekonomian seusai berakhirnya pesta demokrasi.
Kementerian Perindustrian tengah membahas berbagai kebijakan untuk merespons kondisi mutakhir tersebut. Salah satunya adalah membahas insentif keringanan bahan baku impor yang berasal dari Timur Tengah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mesti menjalankan fungsinya sebagai peredam kejut (shock absorber) dari ketidakpastian global saat ini. Bentuknya beragam, bisa dengan memberikan subsidi atau penguatan pendanaan. Pemerintah juga harus bekerja sama erat dengan Bank Indonesia untuk bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu juga Otoritas Jasa Keuangan untuk bisa menciptakan stabilitas sistem keuangan dalam negeri.