Sikapi Situasi Timur Tengah, Pemerintah Belum Buka Moratorium Penempatan Pekerja
Kemenaker mendorong sistem penempatan satu kanal jadi landasan semua penempatan, termasuk ke Timur Tengah.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menaruh perhatian serius pada situasi sosial, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi di Timur Tengah. Oleh karena itu, pemerintah menegaskan tidak akan membuka moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik pada pengguna perseorangan ke kawasan tersebut dalam waktu dekat.
Pemerintah juga menegaskan, apabila penempatan pekerja migran sektor domestik pada pengguna perseorangan kembali dibuka ke Timur Tengah, penempatan itu harus melalui sistem penempatan satu kanal (SPSK).
Moratorium yang dimaksud tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Dalam lampiran Kepmenaker itu tercantum 19 negara kawasan Timur Tengah yang masuk daftar moratorium.
Negara-negara tersebut adalah Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, dan Mesir. Selain itu, Oman, Palestina, Qatar, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Jordania.
”Kami terus mengamati situasi terakhir di kawasan Timur Tengah. Terkait berbagai perkembangan konflik yang terjadi di sana, kami berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri,” ujar Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi, yang ditemui di sela-sela halalbihalal Kemenaker, Selasa (16/4/2024), di Jakarta.
Menurut dia, hasil koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri itu akan dijadikan Kemenaker sebagai landasan untuk mengambil kebijakan penempatan pekerja migran Indonesia. Kalaupun kelak ada penempatan resmi kembalinya pekerja migran Indonesia sektor domestik ke kawasan itu, Kemenaker mendorong SPSK yang harus dipakai.
”Jadi, negara kawasan Timur Tengah yang dituju harus memiliki regulasi perlindungan pekerja migran terlebih dulu. Lalu, pemerintah negara bersangkutan harus mau membuat nota kesepahaman dengan Pemerintah Indonesia,” ucap Anwar.
Sejauh ini, Indonesia baru memiliki satu nota kesepahaman penempatan pekerja migran sektor domestik dengan memakai SPSK. Itu pun dengan Arab Saudi. Kedua negara pernah melakukan uji coba penempatan lewat SPSK selama enam bulan sejak 14 Juli 2023.
Jadi, negara kawasan Timur Tengah yang dituju harus memiliki regulasi perlindungan pekerja migran terlebih dulu.
Direktur Bina Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kemenaker Rendra Setiawan, yang ditemui di lokasi yang sama, mengatakan, uji coba penempatan lewat SPSK ke Arab Saudi sedang dievaluasi. Nota kesepahaman Indonesia—Arab Saudi terkait hal itu akan habis masa berlakunya pada Juli 2024. Sebelum Juli 2024, Pemerintah Indonesia berharap sudah ada pembaruan nota kesepahaman dengan Arab Saudi itu.
”Kami memang menginginkan SPSK dipakai untuk semua negara tujuan penempatan, termasuk ke Timur Tengah. Kami menilai, SPSK lebih aman bagi pekerja migran Indonesia. Perusahaan pengirim harus terdaftar dan terverifikasi di sistem, lalu pekerja migran wajib mengantongi perjanjian kerja tertulis,” katanya.
Rendra memastikan, negara-negara Timur Tengah yang memiliki konflik tidak akan jadi sasaran penempatan pekerja migran Indonesia karena risikonya tinggi. Negara seperti itu juga dipastikan tidak memiliki tanggung jawab regulasi perlindungan pekerja migran.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, saat dihubungi terpisah, berpendapat, perpanjangan masa berlaku Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 sudah tepat. Sebab, di beberapa negara kawasan Timur Tengah yang terindikasi konflik, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memprioritaskan keselamatan dan keamanan pekerja migran Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani berpendapat, jika suatu hari Pemerintah Indonesia menginginkan SPSK berlaku bagi penempatan ke negara-negara kawasan Timur Tengah, pemerintah perlu merilis daftar negara yang siap dan tidak siap. Setelah itu, pemerintah perlu menyosialisasikannya ke masyarakat sampai di perdesaan.
”Pemerintah Indonesia juga perlu memperbaiki tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia. Sebab, sampai sekarang, meski Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 masih berlaku, kami masih menjumpai kasus-kasus pekerja Indonesia ditempatkan secara ilegal,” ucapnya.