Masalah THR Tak Dibayar Dominasi Pengaduan ke Kemenaker
Sebanyak 897 laporan atau lebih dari 50 persen pengaduan yang diterima Kemenaker menyangkut THR tidak dibayar.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Total pengaduan yang diterima Posko Pengaduan Masalah THR Keagamaan 2024 yang dibuka pada 4-14 April mencapai 1.475 laporan. Dari jumlah ini, sebanyak 897 pengaduan atau lebih dari 50 persen menyangkut persoalan tunjangan hari raya tidak dibayar.
”Penyebab pengaduan THR tidak dibayar masih terus kami gali, apakah semata-mata alasan keuangan atau ada alasan lain,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi yang ditemui di sela-sela halalbihalal Kemenaker, Selasa (16/4/2024), di Jakarta.
Kemenaker membuka posko pengaduan masalah THR Keagamaan 2024 sejak 4 April 2024, sehari setelah tenggat pembayaran THR wajib dibayarkan, yakni 3 April 2024. Posko yang terintegrasi dengan posko pengaduan THR milik dinas-dinas ketenagakerjaan itu akan ditutup pada H+7 Lebaran atau Rabu (17/4/2024).
Di luar urusan THR tidak dibayar, Anwar melanjutkan, jumlah pengaduan yang masuk sampai dengan Minggu (14/4/2024) juga mencakup masalah THR dibayar dengan nominal tidak sesuai ketentuan (361) dan THR terlambat dibayar (217).
Dari sisi lokasi, pengaduan masalah THR keagamaan terbanyak datang dari DKI Jakarta. Sebanyak 462 pengaduan dari total 1.475 pengaduan berasal dari DKI Jakarta.
Terkait tindak lanjut penyelesaian pengaduan masalah THR, Anwar mengakui baru 5 persen dari total pengaduan yang berhasil diselesaikan. Setelah semua posko pengaduan tutup, Kemenaker bersama dinas-dinas tenaga kerja akan segera menindaklanjuti sampai tuntas.
Dia tidak menyebut detail target kapan sisa pengaduan dapat diselesaikan. ”Kami bersama pemerintah daerah berusaha bisa menyelesaikan tindak lanjut pengaduan. Sanksi pengabaian THR meliputi surat peringatan hingga penutupan usaha,” imbuh Anwar.
Pengawasan
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi terpisah, berpendapat, upaya yang paling penting dilakukan pemerintah ialah pengawasan pembayaran dan tindak lanjut atas pengaduan masalah THR keagamaan. Sebab, THR merupakan hak normatif pekerja setiap tahun.
”Perusahaan pada dasarnya bisa mengelak dari kewajiban memenuhi hak-hak pekerja. Kami selalu meminta pemerintah melalui pengawas ketenagakerjaan agar rutin meningkatkan pengawasan, terutama pada momen penetapan upah minimum dan pembayaran THR keagamaan,” katanya.
Endi menambahkan, sejauh ini penegakan hukum atas perusahaan yang mengabaikan hak pekerja masih jarang. Padahal, jika fungsi penegakan hukum perusahaan yang melanggar tidak dijalankan, pemerintah berarti hanya berfungsi menjalankan peran pengawasan.
Sementara itu, pengamat hukum ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi berpendapat, sejumlah sektor industri sekarang sedang menghadapi krisis permintaan karena imbas ketidakpastian global. Sebagai contoh, alas kaki. Sektor-sektor industri seperti ini sebenarnya bisa mengajukan keberatan membayar THR keagamaan asal disertai bukti-bukti keuangan yang kuat.
”Keputusan sanksi yang dibuat pemerintah terhadap masalah THR keagamaan tidak pernah berat (kebanyakan teguran). Saya belum mengamati, pemerintah mengeluarkan sanksi penutupan usaha bagi perusahaan yang tidak bayar THR keagamaan. Saya menduga, pemerintah mempertimbangkan nasib pekerja jika gara-gara tidak bayar THR perusahaan harus tutup usaha,” katanya.