BI ikut membiayai beban fiskal saat pandemi Covid-19. Tanpa mekanisme profesional, preseden ini bisa ke mana-mana.
Oleh
A.PRASETYANTOKO PENGAJAR DI UNIKA ATMA JAYA
·4 menit baca
Dinamika pasang surut perekonomian (business cycle) telah mengakibatkan perubahan arah kebijakan (politik) ekonomi. Pandemi Covid-19 membuat tingkat utang pemerintah di seluruh dunia melonjak. Sementara tekanan harga (inflasi) semakin sulit dikelola. Inflasi banyak dipengaruhi faktor non-ekonomi sehingga kenaikan suku bunga (saja) tak efektif menurunkan harga.
Berbagai persoalan lain menambah kerumitan kebijakan ekonomi, mulai dari isu geo-politik hingga perubahan iklim. Majalah Finance & Development terbitan Dana Moneter Internasional (edisi Maret 2023) mengulas arah baru kebijakan moneter di tengah dominasi fiskal. Suku bunga rendah bertahun-tahun telah membuat tingkat utang membubung tinggi.
Perilaku investor sering tak mengindahkan arah kebijakan bank sentral, sehingga tingkat efektivitas kebijakan moneter juga melemah.
Dan kini, kebijakan moneter harus berputar arah dengan cepat guna mengatasi inflasi tinggi akibat lonjakan harga energi dan komoditas yang dipicu krisis Ukraina. Sementara itu, kebutuhan stimulus ekonomi melalui penambahan utang baru masih dibutuhkan. Kebijakan moneter menjadi sangat dilematis.
Majalah The Economist (edisi 6/4/2024) membahas tantangan kebijakan moneter ke depan di mana inflasi makin sulit diprediksi, sedangkan tingkat kredibilitas bank sentral (di seluruh dunia) cenderung menurun. Perilaku investor sering tak mengindahkan arah kebijakan bank sentral sehingga tingkat efektivitas kebijakan moneter juga melemah.
A Prasetyantoko
Di negara maju, sudah sejak krisis keuangan global 2008, bank sentral harus ikut menanggung beban fiskal dalam rangka stabilisasi ekonomi. Pandemi Covid-19 memaksa perekonomian bertumpu pada kebijakan fiskal. Satu-satunya cara mendorong perekonomian adalah menggelontorkan stimulus yang dibiayai dari penerbitan surat utang.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, bank sentral turut bertanggung jawab dengan cara menjadi pembeli surat utang yang diterbitkan pemerintah. Dengan kata lain, bank sentral turut membiayai krisis dengan cara mencetak uang. Sesuatu yang tidak pernah terjadi selama ini, dan bertentangan dengan kebijakan moneter konvensional. Realitas perekonomian mengubah arah kebijakan ekonomi (moneter).
Pengalaman tiap negara berbeda-beda. Namun, gejalanya serupa, yakni episentrum kebijakan ekonomi lebih condong pada kebijakan fiskal. Sementara kebijakan moneter cenderung akomodatif terhadap fiskal. Begitu pun pengalaman di Indonesia ketika menghadapi krisis pandemi Covid-19 lalu.
Akibat tekanan fiskal yang begitu besar, Bank Indonesia (BI) harus turut berperan dalam membiayai krisis akibat pandemi. Mekanisme sinergi antara Kementerian Keuangan dan BI dalam membiayai krisis akibat pandemi tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai burden sharing.
Pada periode 2020-2022, terjadi tiga SKB dengan total Rp 1.144 triliun. Di satu sisi, kebijakan ini merupakan inovasi dalam pembiayaan krisis. Di sisi lain, ini menjadi preseden bagi praktik kebijakan moneter di masa depan.
Pengalaman burden sharing ini kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 mengenai Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Pasal 36A menyebutkan, dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, BI berwenang untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
Di masa depan, praktik mendanai program pemerintah dengan cara mencetak uang berpeluang dilaksanakan, apalagi jika diperintahkan oleh presiden sebagaimana diatur dalam UU P2SK.
Pada Pasal 36B, diatur mengenai wewenang pemerintah untuk menerbitkan SBN dengan tujuan tertentu untuk dapat dibeli oleh BI. Dalam Ayat 2 diatur mengenai peran Presiden sebagai pihak yang menentukan situasi krisis.
Dengan begitu, praktik keterlibatan BI dalam mendanai program pemerintah memiliki pijakan hukum kuat dan tak terbantahkan. Di masa depan, praktik mendanai program pemerintah dengan cara mencetak uang berpeluang dilaksanakan, apalagi jika diperintahkan oleh presiden sebagaimana diatur dalam UU P2SK.
Meski keterlibatan BI mendanai fiskal pemerintah terbatas pada situasi krisis, tapi krisis itu sendiri semakin kompleks dimensinya. Sejak pandemi Covid-19, kita diingatkan bahwa krisis punya dimensi yang sangat luas. Di masa depan, bisa jadi dinamika sektor keuangan dipicu oleh spektrum masalah sangat beragam, mulai dari krisis geo-politik hingga perubahan iklim.
Mekanisme penentuan kapan BI harus turut serta membiayai beban fiskal harus dilakukan dengan mekanisme yang sangat ketat. Jika tidak, ada godaan untuk minta BI masuk dalam pendanaan fiskal. Misalnya saja, berbagai macam program sosial ke depan sangat mungkin meminta dukungan BI turut mendanai, mulai dari program penyelesaian Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga program makan siang gratis.
Jika tidak, ada godaan untuk minta BI masuk dalam pendanaan fiskal.
Mengingat begitu terbukanya peluang pemanfaatan mekanisme burden sharing ini, diperlukan profesionalitas dan ketegasan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai Menteri Keuangan.
Perlu diingat, perekonomian kita saat ini masih sangat mengandalkan likuiditas asing. Oleh karena itu, persepsi investor (global) tetap perlu dijaga. Sebab jika tidak, maka likuiditas asing akan hengkang sehingga biaya mendapatkan dana akan semakin mahal (suku bunga naik).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tiga kiri) bersama jajaran deputi bersiap memulai konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (17/1/2024). RDG Bank Indonesia yang berlangsung pada 16-17 Januari 2024 memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 6 persen.
Ketergantungan kita pada likuiditas asing ditunjukkan dengan masih tingginya tingkat imbal hasil surat utang pemerintah yang pada Maret 2024 berada pada kisaran 6,6 persen untuk obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun.
Salah satu penyebab mengapa rupiah terpuruk di kisaran Rp 15.800-an per dollar AS pada pekan terakhir sebelum libur Lebaran adalah kekhawatiran investor asing terhadap arah kebijakan pemerintah ke depan. Siapa menteri keuangan ke depan juga sangat ditunggu pasar karena akan menentukan arah kebijakan ekonomi masa depan.
Dibutuhkan kemampuan berdialektika tingkat tinggi dalam menjalankan kebijakan moneter di masa depan yang amat sulit, kompleks dan serba tidak pasti ini.
Di sisi lain, para pengambil kebijakan ekonomi perlu mawas diri mengantisipasi perubahan situasi. JM Keynes pernah mengatakan, seorang ekonom membutuhkan kombinasi bakat yang langka; dia harus ahli matematika, sejarah, kenegarawanan, dan juga filsafat.
Peringatan ini sangat relevan. Kebijakan ekonomi (moneter) tidak bisa lagi mengasingkan diri dari dinamika sosial-politik dan konteks kelembagaan lainnya. Berkukuh pada kompetensi teknokratis semata hanya akan membuat makin terkucil.
Dibutuhkan kemampuan berdialektika tingkat tinggi dalam menjalankan kebijakan moneter di masa depan yang amat sulit, kompleks dan serba tidak pasti ini.