Percepatan Perpanjangan Izin Tambang Bisa Jadi Preseden Buruk
Sektor tambang Indonesia kerap menghadapi aturan yang mudah sekali berubah. Buruk bagi tata kelola pertambangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus menegosiasikan rencana penambahan saham Indonesia pada PT Freeport Indonesia, menjadi 61 persen, serta percepatan perpanjangan izin tambang perusahaan itu hingga 2061. Namun, masih ada revisi peraturan pemerintah yang mesti dilakukan guna mendukung rencana tersebut. Pengamat menilai, perubahan aturan itu bisa membawa preseden buruk dari sisi hukum pertambangan.
Pembicaraan mengenai penambahan saham nasional sebesar 10 persen (saat ini 51 persen dimiliki Mind.id, perusahaan induk BUMN pertambangan) telah berlangsung beberapa waktu lalu. Terbaru, CEO and Chairman Freeport McMoran Inc Richard Adkerson bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/3/2024). (Kompas.id, 28/3/2024)
Seiring dengan peningkatan saham nasional itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) akan mendapat perpanjangan jangka waktu kegiatan operasi produksi, dari saat ini hingga 2041 menjadi 2061 (2 x 10 tahun). Namun, untuk melakukan itu, pemerintah harus mengubah terlebih dulu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan PP No 96/2021, permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan operasi produksi untuk pertambangan mineral logam atau batubara ditujukan kepada menteri paling cepat dalam jangka 5 tahun atau paling lambat 1 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan operasi produksi. Artinya, pengajuan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI sejatinya baru dapat dilakukan pada 2036.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim, dihubungi Jumat (29/3/2024), mengatakan, perubahan regulasi demi percepatan perpanjangan izin operasi produksi terkesan dipaksakan. Urgensinya dipertanyakan karena ada pemangkasan waktu cukup lama, yakni 12 tahun dari seharusnya permohonan perpanjangan izin bisa diajukan oleh badan usaha.
Kendati ada tujuan investasi serta peningkatan saham nasional di PTFI, hal itu mencoreng upaya-upaya perbaikan tata kelola dan kepastian hukum di bidang pertambangan. ”Ini menunjukkan pengelolaan mineral dan batubara kita tidak terkelola dengan baik atau tidak tersistem. Bisa menjadi preseden buruk dari pemerintahan saat ini untuk ke depan,” kata Akmaluddin.
Aturan yang berubah-ubah dalam bidang pertambangan, kata Akmaluddin, bukan baru kali ini. Kewajiban peningkatan nilai tambah dengan membangun smelter, misalnya, seharusnya telah diterapkan pada 2014 atau 5 tahun setelah Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terbit. Namun, terjadi pelonggaran-pelonggaran sehingga pelaksanaannya terus mundur hingga akhirnya terbit undang-undang penggantinya, yakni UU No 3/2020.
Ia menambahkan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan perubahan atau revisi satu peraturan. ”Asalkan itu dikaji atau disiapkan dengan matang. Harus ada grand design yang jelas. Perubahan regulasi pun bukan terdorong untuk memfasilitasi pihak-pihak tertentu saja, tetapi harus didasari semangat untuk memperbaiki tata kelola pertambangan secara keseluruhan,” ucap Akmaluddin.
Akmaluddin juga melihat, perubahan aturan yang berkait percepatan permohonan perpanjangan izin tambang itu belum tentu setimpal dengan apa yang akan Indonesia dapatkan. Apabila ditujukan untuk kepastian usaha dalam rangka hilirisasi, pemanfaatan hilirisasi produk tambang sejauh ini pun belum dirasakan hingga ke level masyarakat terbawah. Padahal, sejatinya pengelolaan sumber daya alam dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Turunkan kualitas
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rofik Hananto, mengatakan, Fraksi PKS berpendapat perpanjangan IUPK PTFI menjadi hingga 2061 jelas akan melanggar PP No 96/2021 yang saat ini berlaku. Mengacu pada regulasi itu, permohonan perpanjangan IUPK baru bisa diajukan pada 2036 atau masih 12 tahun mendatang.
”Seharusnya pemerintah lebih fokus untuk mengevaluasi kinerja Freeport saat ini. Sudah seberapa banyak kontribusinya kepada negara mengingat 51 persen saham adalah milik negara. Kita, kan, bukan sudah rezim kontrak karya seperti dulu sehingga pemerintah posisinya di atas dan lebih kuat. Tak boleh peraturan diubah hanya karena lobi dari badan usaha tambang,” katanya.
Ia menambahkan, jika revisi PP No 96/2021 benar-benar dilakukan, artinya pemerintah lemah dan membiarkan marwahnya jatuh di depan badan usaha. Selain memperburuk citra pemerintah, hal itu juga bakal menurunkan kualitas tata kelola industri pertambangan Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, setidaknya pada Juni 2024, Indonesia diharapkan bisa kembali menambah saham di PTFI menjadi 61 persen. Dengan kepemilikan saham 51 persen, 61 persen pendapatan PTFI masuk ke negara. Apabila Indonesia mendapatkan 61 persen saham, pendapatan PTFI yang akan masuk negara menjadi 81 persen (Kompas.id, Kamis (28/3/2024).
”Masih dalam proses negosiasi dan persiapan regulasinya, tapi saya yakin angka itu akan bisa kita dapatkan,” kata Presiden seusai acara itu.
Direktur Utama PTFI Tony Wenas mengatakan, dalam pertemuan antara petinggi Freeport dan Presiden Jokowi dibahas juga harapan perpanjangan izin ekspor tembaga yang telah diberikan pemerintah hingga Juni 2024. Kini, larangan ekspor diharapkan mundur lagi karena penerimaan negara berpotensi berkurang 2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 30 triliun pada Juni-Desember 2024.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, perpanjangan IUPK akan diberikan karena ada komitmen dari PTFI. ”(Mereka) akan bangun smelter baru lagi dan akan divestasi lagi. Yang jelas, undang-undang mensyaratkan kalau perpanjangan (jangka waktu), pemasukan ke pemerintah harus bertambah,” ujarnya (Kompas.id, 12/12/2023).