logo Kompas.id
EkonomiDominasi Grup Lion di Angkasa
Iklan

Dominasi Grup Lion di Angkasa

Lion Air dikenal maskapai berbiaya rendah. Terobosan Rusdi Kirana membawa Grup Lion kini melayani semua segmen pasar.

Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
· 6 menit baca

Penumpang turun dari pesawat Lion Air jenis Boeing 737-900 ER di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (21/4/2023). Memasuki tahun ketiga pascapandemi Covid-19, industri penerbangan diharapkan terus tumbuh dan kembali pulih seperti sebelum pandemi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Penumpang turun dari pesawat Lion Air jenis Boeing 737-900 ER di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (21/4/2023). Memasuki tahun ketiga pascapandemi Covid-19, industri penerbangan diharapkan terus tumbuh dan kembali pulih seperti sebelum pandemi.

Indonesia adalah negara besar, teramat sangat besar. Jarak dari Sabang, Provinsi Aceh, sampai Merauke, Provinsi Papua Selatan, itu setara dengan jarak London, Inggris, hingga Baghdad, Irak. Sudah begitu, bentang alamnya berupa kepulauan. Tidak heran jika penerbangan diandalkan oleh warga negeri ini.

Penerbangan pula yang selama ini diandalkan warga untuk keluar-masuk wilayah Indonesia. Lokasi Indonesia di antara dua samudra membuat penerbangan menjadi moda transportasi paling efektif untuk menjangkau negara lain di Asia Tenggara dan Australia di selatan Indonesia.

Hari ini, tulang punggung penerbangan di Indonesia adalah maskapai-maskapai yang menginduk dalam Grup Lion. Total 367 pesawat menerbangkan pelanggan Grup Lion di dalam maupun luar negeri. Armada pesawat Grup Lion pun terbagi dalam Lion Air (109 pesawat), Wings Air (73), Batik Air (72), Super Air Jet (60), Batik Air Malaysia (35), serta Thai Lion Air (18).

”Dominasi Lion Group luar biasa. Market share (hampir) 70 persen sekarang. Kalau dia collapse, kita enggak bisa ke mana-mana,” kata Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Putu Eka Cahyadi di kantornya, Jakarta, awal Maret ini.

Pelaksana Harian Direktur Angkutan Jalan sekaligus Kepala Subdirektorat Angkutan Multimoda dan Antarmoda Iman Sukanda (kiri) dan Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Putu Eka Cahyadi (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (15/9/2023).
KOMPAS/AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO

Pelaksana Harian Direktur Angkutan Jalan sekaligus Kepala Subdirektorat Angkutan Multimoda dan Antarmoda Iman Sukanda (kiri) dan Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Putu Eka Cahyadi (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (15/9/2023).

Putu menambahkan, dominasi Grup Lion tambah besar setelah Super Air Jet mengudara justru saat pandemi Covid-19 menggila. Tahun 2023, Super Air Jet menempati peringkat pertama kenaikan pangsa pasar, yakni sebesar 5,5 persen. Terbang dengan Airbus A320, Super Air Jet—terlihat dari seragam awak kabinnya—menyasar segmen anak-anak milenial.

Super Air Jet merupakan strategi terbaru Grup Lion untuk menguasai langit Indonesia. Menurut pendiri Grup Lion, Rusdi Kirana, membangun maskapai idealnya harus menguasai semua hal, A to Z. ”Fasilitas maintenance, perawatan pesawat saja kami bangun,” ujar Rusdi, ditemui di Batam Aero Technic, Batam, Kamis (21/3/2024).

Baca juga: Dua KEK di Kepri Diresmikan, Pertumbuhan Sektor Jasa dan Digital Didorong

https://cdn-assetd.kompas.id/LtVmPO0ntwsitvt5NAlOcbZRLfg=/1024x2602/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F03%2F26%2F56283105-2733-473a-b053-37e38aea170f_png.png

Ketika terbang perdana pada 30 Juni 2000, Lion Air awalnya hanya dikenal sebagai maskapai berbiaya rendah (LCC). Namun, seiring waktu, Rusdi punya strategi berbeda. Grup Lion kini melayani semua segmen. Batik Air, misalnya, menjadi mitra tanding Garuda Indonesia. Walau rasa syukur lebih banyak ditujukan bagi kehadiran Wings Air yang terbang hingga pelosok negeri.

Pelosok negeri

Agung H Riwu (35), warga asal Maumere, Kabupaten Sikka, mengatakan, kehadiran Wings Air sangat membantu mobilitas dari Maumere ke Kota Kupang, ibu kota NTT. Waktu tempuh dengan pesawat ATR 72 sekitar 45 menit. Harga tiket berkisar Rp 1 juta.

Pesawat ATR 72-600 yang dioperasikan maskapai Wings Air berada di Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, sebelum terbang menuju Ternate dan Labuha, Maluku Utara, Kamis (23/11/2023). Lion Group melalui Wings Air mendominasi rute-rute di pelosok Indonesia karena minimnya operator lain yang mau melayani rute-rute tersebut.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pesawat ATR 72-600 yang dioperasikan maskapai Wings Air berada di Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, sebelum terbang menuju Ternate dan Labuha, Maluku Utara, Kamis (23/11/2023). Lion Group melalui Wings Air mendominasi rute-rute di pelosok Indonesia karena minimnya operator lain yang mau melayani rute-rute tersebut.

Jika tidak ada penerbangan, warga Maumere yang hendak ke Kupang harus berlayar naik kapal Pelni yang melintas sekali dalam dua minggu. Pelayaran dari Maumere ke Kupang mendekati 20 jam dengan singgah dulu di satu hingga dua pelabuhan. Adapun harga tiket Pelni pada jalur itu tidak lebih dari Rp 250.000.

Dengan alasan hemat waktu, ia memilih terbang. ”Kalau pesawat tidak jalan karena cuaca buruk atau seperti saat pandemi, banyak pekerjaan saya terbengkalai,” kata aktivis sosial itu.

Kalau pesawat tidak jalan, banyak pekerjaan saya terbengkalai

Di Nusa Tenggara Timur, kota kecil seperti Larantuka, Lembata, dan Bajawa, hanya dilayani oleh Wings Air. Maskapai lain juga hadir di beberapa kota lain di NTT meski jadwalnya tak menentu.

Kondisi serupa terjadi di Labuha, ibu kota Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang juga hanya dilayani Wings Air, dengan satu penerbangan dalam satu hari. Selama ini akses menuju Labuha mengandalkan transportasi laut selama 6-7 jam dari Pelabuhan Bastiong di Ternate.

Penumpang pesawat udara tiba di Bandar Udara Oesman Sadik, Labuha, Maluku Utara, Kamis (23/11/2023). Bandar Udara Oesman Sadik menjadi pintu gerbang jalur udara menuju Halmahera Selatan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Penumpang pesawat udara tiba di Bandar Udara Oesman Sadik, Labuha, Maluku Utara, Kamis (23/11/2023). Bandar Udara Oesman Sadik menjadi pintu gerbang jalur udara menuju Halmahera Selatan.

Iklan

Di beberapa kawasan, Wings Air tidak sendiri. Trigana Air Service dan Susi Air, misalnya, juga terbang hingga pedalaman meski penguasaan pasar mereka tidak besar. Pangsa pasar Wings Air mencapai lima persen (2023), sedangkan Trigana Air dan Susi Air masing-masing kurang dari 0,5 persen.

Dengan konsep hub and spoke, dengan maskapai Grup Lion yang lain sebagai pihak pengumpul, Wings Air kini melayani lebih dari 70 bandar udara di Indonesia dan Malaysia. Sebagian warga Indonesia boleh jadi tidak tahu letak Bandara Namlea, Waingapu, hingga Labuha, di peta Indonesia. Namun, rute seperti itulah yang dilayani Wings Air.

Baca juga: Supaya Tetap Beroperasi, Penerbangan ke Wakatobi Disubsidi

Daniel Putut Kuncoro Adi, Presiden Direktur Lion Group, mengakui Wings Air memang berupaya masuk dan memenuhi kebutuhan vital transportasi daerah, bahkan setingkat kecamatan. Persaingan dalam pasar ini juga lebih rendah karena minimnya operator yang bersedia melayani rute-rute tersebut.

”Dengan memasuki pasar ini, Lion Group dapat membangun kehadiran dan loyalitas merek di kalangan penduduk lokal, membuka peluang pertumbuhan jangka panjang,” ujar Daniel.

Presiden Direktur Lion Air Group Daniel Putut dalam Seminar Hari Penerbangan Nasional di Jakarta, Jumat (27/10/2023).
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA

Presiden Direktur Lion Air Group Daniel Putut dalam Seminar Hari Penerbangan Nasional di Jakarta, Jumat (27/10/2023).

Kehadiran Wings tidak hanya memutar roda ekonomi lokal, tetapi juga mendorong pertumbuhan pariwisata yang sangat bergantung pada konektivitas penerbangan.

Seribu penerbangan

Grup Lion tentu tidak lepas dari persoalan. ”Paling jadi masalah adalah jadwalnya yang suka delay,” ujar Patricia Dian (28), yang hilir mudik Pekanbaru-Jakarta-Yogyakarta.

Patricia jarang terbang dengan Lion Air meski dia setia dengan Batik Air. Dia tetap terbang dengan pesawat Grup Lion karena jadwal penerbangan lebih beragam dengan harga tiket sesuai fasilitas pesawatnya.

Menurut Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie, tantangan manajemen sistem keselamatan setiap maskapai sesungguhnya serupa. Namun, persoalan Grup Lion terkesan banyak karena penerbangannya yang juga banyak. ”Namun, makin besar perusahaan, perlu sistem pengawasan dan pembinaan yang lebih efektif,” kata Alvin.

Lion tidak menutup mata terhadap kekurangan itu. Keandalan jadwal penerbangannya ditingkatkan. Manajemen jadwal dan operasional, manajemen layanan darat (ground handling), serta koordinasi dengan bandara dan penyedia layanan navigasi penerbangan diperbaiki untuk meminimalkan keterlambatan.

Baca juga: Penerbangan Indonesia : Pasar Terbesar, Konektivitas Minim

”Kami berupaya mengadopsi teknologi terbaru dalam operasional dan layanan pelanggan, seperti BookCabin aplikasi mobile yang mempermudah proses booking, check-in online, dan informasi status penerbangan,” ujar Daniel.

https://cdn-assetd.kompas.id/H4KESPUItMaylol55vMuITL8ikQ=/1024x3042/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F03%2F26%2F6f0107af-3c30-4ee5-be3d-f22ddca6c95f_png.png

Sebagai pemimpin pasar, Grup Lion mengendalikan lebih dari 1.000 penerbangan per hari. Lebih dari 300 pesawat tiap hari diterbangkan, terkecuali sejumlah pesawat yang masuk jadwal perawatan.

Tingkat ketepatan waktu maskapai-maskapai Grup Lion bervariasi antara 65,43 dan 74,89 persen (2023). Pelita Air, tahun 2023, mencatatkan diri sebagai maskapai terbaik dalam hal tingkat ketepatan waktu, yakni 90,30 persen, walau Pelita Air baru mengoperasikan 11 pesawat Airbus A320, selisih banyak dengan Grup Lion.

Insiden terakhir menimpa Batik Air dengan nomor penerbangan BTK6723. Dalam penerbangan dari Kendari menuju Jakarta, berdasarkan laporan KNKT, pilot dan kopilot tertidur selama 28 menit.

”Kami telah melakukan (penerbangan) secara profesional sebetulnya, tetapi kalau kita menemukan sopir mengantuk, itu case. Saya enggak bisa terima juga,” ujar Daniel.

Simulasi penerbangan dengan simulator Boeing 737 900 ER di Lion Village Falicity di kompleks pergudangan Bandara Mas, Tangerang, Banten, Senin (12/11/2018).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Simulasi penerbangan dengan simulator Boeing 737 900 ER di Lion Village Falicity di kompleks pergudangan Bandara Mas, Tangerang, Banten, Senin (12/11/2018).

Tak sekadar emosional, Daniel memastikan setiap awak pesawat tetap fit. Ujian berkala bagi para pilot, bahkan mereka yang aktif terbang, terus dilakukan tiap enam bulan. Mereka harus melewati uji simulator untuk mengevaluasi kinerja dan kemampuannya agar tetap sesuai standar penerbangan.

Grup Lion juga menegaskan komitmennya atas rekomendasi KNKT. Pengecekan kokpit oleh pramugari yang tadinya tiap 30 menit akan dipersingkat menjadi tiap 15 menit. Pengecekan tak harus wajib masuk kokpit, tapi dapat memanfaatkan interkom.

Baca juga: Pertama Kali, Asmat Kini Dilayani Pesawat Jenis ATR

Harus diakui, Grup Lion kini telah mendominasi langit Indonesia. Duet Garuda Indonesia-Citilink masih jauh tertinggal. Namun, dengan mobilitas lebih dari 65,95 juta penumpang per tahun di dalam negeri, tentu kita berharap maskapai-maskapai nasional dapat terbang dengan lebih tepat waktu dan aman. Kita juga percaya Grup Lion lebih mampu menyempurnakan layanannya. (FRANS PATI HERIN/RADITYA HELABUMI JAYAKARNA)

Editor:
HARYO DAMARDONO, HAMZIRWAN HAMID
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000