Industri Film Indonesia Akan Makin Atraktif pada 2024
Industri film Tanah Air berpotensi menyedot sampai 60 juta penonton pada 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Industri film Tanah Air berangsur-angsur pulih pascapandemi Covid-19. Setelah berhasil menarik 55 juta penonton pada 2023, industri film diperkirakan akan menyedot makin banyak pecinta perfilman Tanah Air pada 2024. Guna mencapai sukses maksimal, sejumlah tantangan mesti dibereskan.
Pengamat sekaligus peneliti film, Hikmat Darmawan, menilai, pemulihan performa film Indonesia setelah pandemi Covid-19 cukup bagus. Hal ini tak hanya ditopang film-film kuat, seperti Pengabdi Setan 2: Communion serta KKN di Desa Penari, tetapi pola penonton di bioskop telah kembali.
“Kalau dari tahun ke tahun, (saya) selalu mengasumsikan potential market kita, penonton bioskop itu 80 juta penonton. Kita belum bisa ke sana,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Baca juga: Tahun 2023, Penonton Film Indonesia Ditargetkan Pecahkan Rekor Baru
Pada tahun ini, Hikmat memperkirakan, industri film Tanah Air bisa menarik 50-60 juta penonton. Namun, ia belum dapat memastikan apakah angkanya dapat tumbuh lebih banyak lagi, karena kapasitas bioskop dalam negeri yang belum memadai.
Mengutip data Badan Perfilman Indonesia, industri film nasional berhasil menarik 51,2 juta penonton pada 2019. Akibat pandemi Covid-19, jumlah penonton anjlok ke 19 juta penonton pada 2020. Setahun setelahnya, angkanya makin turun ke 4,5 juta penonton. Baru pada 2022, industri perfilman mulai menggeliat dengan sukses menarik lebih dari 24 juta penonton.
Sentimen positif
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dessy Ruhati, menyebut, setidaknya 55 juta penonton bioskop telah tercapai pada 2023. Raihan ini dianggap memberi sentimen positif bagi pelaku investor di pasar modal untuk meningkatkan nilai subskctor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Ini rekor juga untuk 20 judul film Indonesia yang mencapai rekor 1 juta penonton per film. Daya tarik subsektor ini sangat menarik. Kita harap tenaga kerja di animasi, film, video terus bertumbuh,” kata Dessy.
Genre film yang populer pada tahun lalu masih berkisar pada horor, melodrama, dan komedi. Namun, genrenya diperkirakan meluas pada 2024.
Baca juga: Kebangkitan Dunia Film Indonesia dari Pandemi
“Genrenya yang masih banyak digemari di Indonesia itu adalah genre-genre yang masih berkaitan dengan asal-muasal orang Indonesia, seperti horor. Ada juga genre komedi dan drama. Jadi keragaman genre film 2023 ini akan berlanjut, termasuk (genre) aksi pada 2024,” tutur Direktur Utama PT Produksi Film Negara (Persero) atau PFN, Dwi Heriyanto.
Ia memproyeksikan apabila perfilaman Indonesia bisa menarik hingga 60 juta penonton pada 2024, maka perputaran uang pun akan mengalir deras. Jika harga per tiket Rp 40.000 per orang, maka omzet sepanjang tahun mencapai Rp 2,4 triliun. Angka ini belum termasuk pendapatan dari kanal media over the top (OTT), layanan berbasis internet yang berperan sebagai distributor konten.
Penjualan makanan-minuman
Dalam satu kali produksi film, butuh biaya mulai Rp 5 miliar hingga Rp 20 miliar. Dengan demikian, keuntungan tiap film bervariasi, bergantung pada biaya produksi dan jumlah penonton.
“Menurut saya kalau mau mengembangkan film-film distribusi channel di daerah itu masih sangat terbuka karena belum ada bioskop,” kata Dwi.
Hikmat dan Dwi juga mengatakan, penyangga bisnis industri film tak melulu dari penjualan tiket film. Justru pendapatan besar dari bioskop berasal dari penjualan makanan dan minumannya. Meski tak setiap penonton membeli makan dan minum ketika menonton, tetapi konsumen rela merogoh kocek berkali lipat dari harga tiket.
Nilai ekonomi yang dihasilkan dari konsumsi tersebut bahkan bisa mencapai 4 kali dari harga tiket.
Nilai ekonomi yang dihasilkan dari konsumsi tersebut bahkan bisa mencapai 4 kali dari harga tiket. Sebab, bioskop Indonesia tergolong lebih mewah dibanding bioskop negara-negara lain. Hal ini bisa jadi potensi bisnis yang bisa dikembangkan.
Sementara itu, distribusi film Indonesia kini tak hanya untuk konsumsi dalam negeri. Pasar regional mulai tertarik memasarkan film-film karya anak bangsa.
Ekspansi pasar
Hikmat mengatakan, pasar regional sudah sangat tertarik dengan film-film Indonesia. Pasar di Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, dan Vietnam, bahkan meluas hingga ke Turki dan Azerbaijan, mulai berminat pada film-film Indonesia.
“Dari jumlah produksi dan dan kualitas, Indonesia banyak (film). Jadi kalau dari Asia Tenggara berjualan ke Turki atau Azerbaijan, pasti film Indonesia banyak dibawa,” ujarnya.
Di balik industri perfilman Tanah Air yang terus berkembang, ada sejumlah masalah mendasar yang belum tuntas. Padahal, jika solusi ditemukan, maka potensi perkembangan industri ini makin terdongkrak.
Baca juga: Pesan Panjang dari Film Pendek
Hikmat mengatakan, potensi penonton film di Indonesia dapat mencapai 80 juta dengan asumsi proporsi jumlah penduduk sejak 2010. Namun, potensi itu belum tergarap maksimal karena kondisi persebaran bioskop Indonesia belum merata. Ada pula faktor rasio jumlah layar dan penduduk yang masih timpang. Daya tampung terhadap film dan penonton masih terbatas.
Pasar film Indonesia juga masih cenderung seragam, belum majemuk. Padahal ada pangsa pasar film lain, seperti film arthouse yang fokus pada film festival serta film klasik yang bisa ditayangkan pula pada bioskop dalam negeri.
Namun, kedua jenis film ini belum mendapat proporsi cukup di bioskop karena rutinitas menayangkan film-film terbaru. Padahal, hal tersebut sudah lumrah dilakukan di negara-negara lain, seperti Inggris.
Pungutan liar
Indonesia belum memiliki jalur distribusi. Alhasil, pembuat film tak hanya memikirkan konten filmnya, tetapi memikirkan pula pemasaran hingga distribusinya. Semestinya hal seperti ini bisa dilakukan pihak lain secara terpisah.
Hal serupa dikatakan Dwi. Pembuat film terbebani terlalu banyak tugas. Belum lagi ketika mereka harus berhadapan dengan sulitnya perizinan di lokasi syuting. “Banyak preman, susah sekali. Harga tak standar, sehingga menyulitkan film makers,” katanya.
Baca juga: Mekarnya Film Asia Pasifik
Dwi berharap, pemerintah perlu lebih memperhatikan dan lebih mendukung industri perfilman Indonesia. Bantuan subsidi serta insentif untuk produksi film akan sangat membantu, Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur perfilman.
Selain itu, Dwi menambahkan, regulasi yang jelas dan tak berbelit-belit diperlukan. Sejumlah distributor film asing tertarik untuk memasarkan produknya ke Indonesia, tetapi tak mengetahui jalur mana yang bisa ditempuh.
Padahal, negara lain telah menerapkan kebijakan yang memfasilitasi sistem pengelolaan satu pintu. Alhasil, mereka tahu ke mana harus memulai penjajakan kerja sama dengan negara lain.