Bank Indonesia Pastikan Uang Palsu Mudah Diidentifikasi Awam
Pemalsuan uang terjadi kapan pun dan di mana saja. Jelang pemilihan umum, uang palsu kerap dimanfaatkan untuk praktik politik uang sehingga masyarakat yang kerap bertransaksi tunai masih menjadi incaran utama.
JAKARTA, KOMPAS — Jelang pemilihan umum, fenomena uang palsu makin santer terdengar. Bank Indonesia memastikan bahwa uang palsu yang beredar mudah dibedakan dengan yang asli. Hal ini terlihat pula dari rasio temuan yang rendah antara uang yang diragukan keasliannya dan uang yang diterbitkan secara resmi.
Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim mengungkapkan, peredaran uang palsu terjadi kapan saja, tak bergantung pada momen tertentu. Namun, ia mengakui bahwa kejahatan itu bisa terjadi mendekati pemilu.
”Masyarakat juga harus mewaspadai dengan kemungkinan ada uang palsu, terutama menjelang pemilu, karena biasanya ditandai dengan meningkatnya jumlah uang beredar di masyarakat,” ujar Marlison saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Baca juga: Pengedar Uang Palsu Targetkan Pencari Investor Proyek
BI menghitung berdasarkan rasio temuan jumlah uang palsu berbanding dengan uang yang dikeluarkan. Setiap 1 juta lembar, berapa uang palsu yang ditemukan. Dalam tiga tahun terakhir, trennya menurun.
Pada 2020, uang palsu yang ditemukan 8 lembar per 1 juta lembar uang yang dikeluarkan. Angkanya menyusut menjadi 4 lembar per 1 juta lembar pada 2021-2022. Rasionya terus menurun menjadi 3 lembar per 1 juta lembar hingga Agustus 2023.
Dalam kasus yang sedang ramai saat ini, Marlison menambahkan, uang ”mutilasi” yang menggabungkan uang palsu dan asli diproduksi dengan cara konvensional. Hal itu mudah untuk diidentifikasi masyarakat.
”Dari hasil evaluasi kami, analisis dan lab kami, level pemalsuan uang (mutilasi) amat sangat konvensional,” katanya.
Turunnya rasio pemalsuan uang disebabkan sejumlah faktor. Pertama, penguatan aspek keamanan pada uang yang dikeluarkan. Kedua, aspek keamanan tersebut memudahkan masyarakat membedakan uang asli dan palsu, seperti dari sisi warna serta bahan.
Baca juga: Bank Indonesia Imbau Masyarakat Waspadai ”Uang Mutilasi”
Dari segi fisik, uang palsu diproduksi dengan kertas biasa. Uang asli yang kumal, masih bertekstur kasar, sedangkan uang palsu cenderung licin. Teknik cetak uang pun berbeda. Pelaku kejahatan hanya menggunakan mesin yang dijual di pasar, sedangkan uang asli dicetak mesin khusus yang tak dijual sembarang tempat dengan teknologi tertinggi dan terkini.
Marlison mengatakan, mayoritas masyarakat yang tertipu uang palsu biasanya karena ditransaksikan pada malam hari. Pelaku memanfaatkan kelengahan seseorang untuk mengidentifikasi uang. Targetnya biasanya orang yang kurang awas, orang tua, dan masyarakat daerah pesisir. Namun, pemalsuan uang sebenarnya terjadi di mana pun, hanya rasionya yang berbeda-beda.
BI bekerja sama dengan kepolisian terus melakukan tindakan preventif dan represif. Pencegahan dilakukan dengan penguatan keamanan dan desain. Rata-rata masyarakat sudah memahami bahwa uang yang dipalsukan biasanya pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000. Alhasil, kedua nominal itu jadi fokus utama dalam pengamanannya. Secara represif, pihak kepolisian memberi sanksi hukum tegas pada pelaku.
Politik uang
Peredaran uang palsu yang mulai marak saat ini bukanlah kali pertama terjadi. Jelang pemilu, pembagian uang tunai pada masyarakat meningkat. Hal ini berkaitan dengan politik uang (money politic).
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, peredaran uang pada masa pemilu perlu diwaspadai. Tindakan ini biasanya dimanfaatkan untuk membeli suara masyarakat yang sering dikenal ”serangan fajar”.
”Itu masalahnya yang menerima uang masih dalam bentuk uang tunai adalah masyarakat miskin, yang bahkan kemampuan membedakan uang asli dan palsu sering kali lemah,” ujar Bhima.
Baca juga: Pembayaran Tunai Masih Diminati dalam Ekosistem Digital
Fenomena uang palsu ini dilatarbelakangi pula faktor ekonomi. Tekanan biaya hidup yang makin tinggi menyebabkan masyarakat rentan tertipu. Selain itu, digitalisasi di daerah yang masih rendah turut jadi pemicu.
Data Bank Dunia dalam laporan ”Melampaui Unicorn: Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia” menunjukkan kelompok rumah tangga yang makin miskin memiliki akses internet untuk keperluan berbisnis makin rendah pula. Dalam risetnya, dari 20 persen penduduk termiskin, hanya 1 persen yang memanfaatkan internet untuk menjalankan usahanya.
Sejumlah celah yang terbuka, kata Bhima, digunakan pihak-pihak tertentu untuk menipu masyarakat sebab sasarannya kelompok menengah ke bawah.
Dampaknya, ada potensi kehilangan ekonomi yang cukup besar. Peredaran uang palsu banyak digunakan untuk transaksi pada kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), warung kecil, serta pasar tradisional.
”Artinya, nilai peredaran barang juga berkurang secara nilai karena adanya uang palsu. Selain itu, masalah ini juga menurunkan tingkat kepercayaan (masyarakat) dalam transaksi,” ujar Bhima.
Kerugian pun tak hanya secara materi, tetapi juga waktu. Pelaku usaha, misalnya, perlu mengecek kembali tiap transaksi yang diterima dengan alat pendeteksi uang palsu sehingga memakan waktu lebih lama.
Baca juga: Saat Pedagang Pasar Tradisional Menyediakan QRIS
Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah beranggapan, selama BI tak merespons khusus peredaran uang palsu, dapat dikatakan fenomena ini tak berdampak signifikan bagi sektor keuangan.
”Dari dulu kalau dilihat dari angkanya, uang palsu itu masih sangat kecil sehingga tidak mengganggu dari peredaran uang kita, apalagi (sampai) berdampak pada inflasi,” ujar Piter.
Ia mengatakan, pengamanan pada tiap nominal uang pecahan berbeda-beda. Makin tinggi nominalnya, maka pengamanannya makin ketat. Alhasil, uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 yang berisiko dipalsukan akan makin sulit karena harus melewati pengamanan yang ketat pula. Biasanya karakteristik uang dipalsukan mudah terlihat secara kasatmata.
Rekomendasi
Seiring berjalannya waktu, modus peredaran uang palsu makin beragam. Meski BI melakukan pencegahan, sejumlah upaya lain dapat dilakukan.
Bhima berharap, BI dapat menyediakan sarana pengaduan yang mudah, bahkan melakukan jemput bola langsung ke masyarakat.
Baca juga: Waspadai Inflasi Pangan akibat El Nino
Uang kertas kerap dipalsukan karena warna yang kurang mencolok antarnominal. Salah satunya pada pecahan Rp 2.000 dan Rp 20.000 yang tampak serupa sehingga membuka celah aksi kejahatan. BI dapat melakukan diferensiasi warna yang lebih kontras guna memperkecil modus peredaran uang palsu.
Program Director Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menambahkan, BI perlu terus melakukan sosialisasi pada berbagai media sosial. Media tersebut dianggap lebih banyak penggunanya dibandingkan media konvensional.
Selain itu, BI dapat menciptakan uang yang tak mudah dipalsukan. Biaya produksi uang bisa lebih tinggi dibandingkan nilai uang itu sendiri. ”Bahan dasar lebih mahal daripada nilai uang itu sendiri sehingga orang tidak mau cetak uang palsu karena biaya produksi lebih mahal,” katanya.
Terakhir, pembayaran transaksi digital perlu terus didorong. Hal itu akan menekan angka pemalsuan uang meski tantangannya adalah ekosistem tersebut yang belum terbangun.
Baca juga: Transaksi Digital Pascapandemi