Kekerasan di STIP Jakarta, Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Internal
Penambahan CCTV serta pengajaran sistem hibrida dilakukan agar tak mengganggu pemeriksaan kepolisian.
JAKARTA, KOMPAS — Meninggalnya taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, Putu Satria Ananta Rustika (19) menambah panjang daftar kekerasan pendidikan di lingkungan sekolah. Kementerian Perhubungan membentuk tim internal untuk menginvestigasi kejadian itu agar kejadian serupa tidak terulang.
”Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP) telah ambil langkah internal terhadap unsur-unsur pada kampus yang harus dievaluasi sesuai ketentuan berlaku, agar kejadian serupa tak terjadi lagi ke depan,” tutur Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (5/5/2024).
Pihaknya menyesalkan terjadinya kekerasan dalam institusi pendidikan yang berada di bawah naungan Kemenhub itu. Tim internal telah dibentuk guna menginvestigasi kejadian ini.
Seperti diketahui, Putu Satria Ananta Rustika (19), siswa STIP Jakarta, meninggal setelah dianiaya seniornya di toilet sekolah pada Jumat (3/5/2024). Ia dipukul seniornya karena berpakaian olahraga saat masuk dalam kelas. Hal itu dianggap salah para seniornya, yang kemudian menindak Putu yang merupakan taruna yunior itu.
Baca juga: Kekerasan Berujung Kematian Terulang, STIP Dievaluasi
Adita mengatakan, BPSDMP telah meminta STIP Jakarta mengambil langkah-langkah cepat guna mengusut dan menyerahkan kasus ini pada Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Utara. Kemenhub dan BPSDMP juga menyampaikan dukacita atas meninggalnya Putu. Kedua pihak menegaskan agar pihak kampus kooperatif terhadap pemeriksaan yang berlangsung. Harapannya, penanganan kasus kekerasan ini bisa diproses sesuai ketentuan hukum berlaku.
Terkait terduga taruna pelaku, lanjut Adita, BPSDMP telah mencopot statusnya sebagai taruna agar tak mengganggu proses hukum yang berjalan. Pihak kampus dari seluruh tingkatan juga ia minta bersikap kooperatif terhadap proses penyidikan yang dilaksanakan kepolisian.
Kemenhub melalui Kepala BPSDM Perhubungan juga menginstruksikan seluruh kampus di bawah naungannya untuk meningkatkan pengawasan secara ketat atas seluruh kegiatan taruna. Hal ini berlaku pula bagi seluruh kegiatan pembinaan, baik secara edukasi ataupun peningkatan moral taruna dan taruni di seluruh sekolah tinggi di bawah Kemenhub.
”(Upaya ini) untuk mencegah terulangnya kejadian serupa tersebut ke depan, sesuai dengan peraturan pola pengasuhan,” kata Adita.
Baca juga: Kematian Siswa Taruna STIP, Butuh Penanganan Serius Kekerasan di Sekolah
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPSDMP Subagiyo mengatakan, pihaknya menindaklanjuti kasus kekerasan ini dengan membentuk tim investigasi internal. Tim ini bertugas mengevaluasi kasus kekerasan yang terjadi serta mengaitkannya dengan pola pengasuhan. Hasil evaluasi pada unsur-unsur kampus STIP nantinya akan pula diterapkan pada sekolah lain di bawah naungan BPSDMP sehingga tindak kekerasan ini tak terulang.
Guna mendukung proses penyidikan Polres Jakarta Utara sekaligus tetap berjalannya proses kegiatan belajar-mengajar, STIP menerapkan sistem belajar hibrida. Sistem ini diterapkan per tingkat semester secara bergantian pada tiap pekan.
Subagiyo mengatakan, pihaknya telah menambah jumlah personel pengasuh atau pengawas yang ditempatkan di area sektor pendidikan, meliputi area kelas dan pembatasan, akses tangga dan lorong, serta toilet.
Peran pembimbing akademik dan perwira pembina taruna akan dioptimalkan dalam mendampingi dan menyediakan waktu khusus bagi taruna dalam kesehariannya. Hal ini berlaku untuk seluruh kegiatan, baik akademik maupun nonakademik. Komunikasi antara pembina dan orangtua atau wali taruna juga dibangun.
Hasil evaluasi pada unsur-unsur kampus STIP nantinya akan pula diterapkan pada sekolah lain di bawah naungan BPSDMP sehingga tindak kekerasan ini tak terulang.
Subagiyo mengemukakan, pihaknya berupaya menjamin keselamatan taruna dengan menekan risiko tindak kekerasan. BPSDMP juga menambah kamera pemantau(CCTV) pada titik-titik buta di tiap kampus. Kegiatan yang berisiko menimbulkan kekerasan pun ditiadakan. Peran pengasuh taruna serta keterlibatan aktif stakeholder ditingkatkan, khususnya yang berkaitan dengan proses pembentukan karakter, seperti ikatan alumni dan asosiasi profesi pelaut.
Harus kooperatif
Subagiyo mengatakan, BPSDMP telah menyerahkan penanganan kasus ini sepenuhnya kepada Polres Jakarta Utara. Pihak STIP Jakarta Utara perlu kooperatif, terbuka, serta transparan terhadap proses pemeriksaan yang berlangsung. Pada saat bersamaan, proses kegiatan belajar-mengajar serta pelayanan STIP Jakarta tetap perlu berjalan.
Hingga saat ini, pihak kepolisian telah meminta keterangan terhadap 36 taruna serta dua tim medis.
BPSDMP juga akan mengawal serta mengakomodasi keluarga dalam menjalankan rangkaian acara bagi almarhum hingga peristirahatan terakhir.
Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan mengatakan, pihaknya telah memeriksa saksi-saksi serta kamera pemantau (CCTV), serta melakukan pendalaman kasus selama 24 jam sejak laporan masuk ke kepolisian dari pihak keluarga korban. Kepolisian telah menetapkan satu tersangka, yakni TRS (21).
”TRS taruna STIP Cilincing tingkat 2 (tahun kedua), korban Putu Tingkat 1. Pelaku tunggal yang melakukan aksi ini,” ujar Gidion. Hasil otopsi menunjukkan, korban mengalami luka dan pendarahan pada bagian dada atau sekitar ulu hati, serta luka lecet bagian mulut.
TRS menganiaya korban guna melanjutkan tradisi penindakan taruna senior terhadap yunior yang melakukan kesalahan. Saat kejadian, Gideon mengatakan, Putu tak sendiri berada di toilet sekolah. Ada empat rekan lain yang diajak juga ke toilet untuk dihukum oleh empat taruna senior.
Baca juga: Tegar Jadi Tersangka Penganiaya Satria hingga Tewas di STIP
Gidion mendorong siapa pun, khususnya taruna yunior untuk melapor jika pernah mengalami tindak kekerasan.
Imbas perbuatannya, TRS diganjar Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto subsider Pasal 351 Ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Sementara, senior lain yang ikut menganiaya menjadi tanggung jawab sekolah untuk pendisiplinan (Kompas.id, 5/5/2024).
Berbasis nilai
Kekerasan yang terus terjadi dalam istitusi pendidikan Indonesia menunjukkan adanya persoalan klasik yang belum tuntas hingga kini.
Pemerhati pendidikan, Asep Sapaat, mengatakan, pendidikan berbasis nilai semestinya turut menjadi tolok ukur utama keberhasilan pendidikan. Murid perlu mengerti cara menjadi warga negara yang bertanggung jawab, memahami hak serta kewajibannya. ”Makin pintar dan hebat seseorang, maka harusnya bisa memberikan manfaat bagi orang-orang sekitarnya,” kata Asep.
Baca juga: Satu Siswa STIP Tewas Dianiaya Seniornya, Pelaku Diduga Lebih dari Satu Orang
Kekerasan yang telah membudaya dalam dunia pendidikan perlu dilihat pula dari sisi institusi pendidikan. Karena hal itu mencerminkan komitmen pimpinan tertinggi institusi pendidikan, tesebut pada apa yang diyakini serta disadari tentang kekerasan. Konsep serta peraturan dalam suatu institusi pendidikan tak hanya sebatas formalitas. Pendalaman perlu dilakukan guna melihat seberapa efektif hal itu diterapkan.
Kekerasan di Sekolah Kedinasan Berulang, Taruna STIP Pelayaran Diduga Dianiaya Senior hingga Tewas.
Semestinya, potensi kekerasan bisa dideteksi sejak dini dimulai dari perundungan yang terjadi, bahkan dari hal sederhana secara verbal. Konsekuensi atas tindakan itu juga harus ditegakkan, tak sekadar simbol belaka. ”Ketika itu ada, tetapi tak diungkap, tak ditelusuri, tak diungkap, maka kasus kekerasan meningkat,” ujar Asep.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta, Putri Langka menilai, kasus ini membuka pandangan perlunya meninjauan kembali seluruh sistem serta kurikulum pendidikan. Evaluasi hal-hal mendasar seperti tujuan pendidikan.
”Saya percaya, tak semuanya bermasalah dan ada yang sudah baik. Namun, kita juga tak bisa memungkiri, sering kali kita tak punya pengawasan dalam seluruh pelaksanaannya sehari-hari serta kegiatan-kegiatan pada jam tak resmi. Justru pada bagian itu riskan adanya penyalahgunaan wewenang,” tuturnya.
Baca juga: Kekerasan di Sekolah Kedinasan Berulang, Taruna STIP Pelayaran Diduga Dianiaya Senior hingga Tewas
Menurut Putri, anak-anak berusia 18-22 tahun masih memiliki keterbatasan dalam membuat pertimbangan, pengambilan keputusan serta penghitungan risiko karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman. Pencarian identitas termasuk dengan mencari pengakuan dilakukan pula pada usia ini.
”Penting untuk mendidik mereka filosofi atau pertimbangan yang mendasari sebuah keputusan,” kata Putri.
Berbeda dengan pelatih yang memiliki pengetahuan dan pengalaman guna memperkirakan hukuman yang masih bisa dijalani, anak-anak masih belajar, sehingga hanya mencontoh perilakunya. Mereka tak menghitung akibat dari perbuatannya.
Selain itu, model pendidikan asrama membentuk lingkungan eksklusif, penilaian benar-salah banyak dipengaruhi senior. Alhasil, murid perlu diberi pengetahuan mendasar tanggung jawab ketika menjadi senior, mengatur emosi, serta kemampuan toleransi.